Kasus Kebahasaan Terus Meningkat, Balai Bahasa Sumut Dorong Resolusi Konflik
Rata-rata setiap bulan ada 13 kasus hukum yang berkaitan dengan bahasa, seperti kasus ujaran kebencian, penghasutan, atau pencemaran nama baik.
Oleh
AUFRIDA WISMI WARASTRI
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Kasus kebahasaan di media sosial marak di Sumatera Utara. Dalam sebulan, Balai Bahasa Sumatera Utara mengirimkan belasan anggota stafnya untuk menjadi saksi kebahasaan guna membantu penegakan hukum. Balai Bahasa Sumut mendorong keadilan restoratif untuk menuntaskan kasus-kasus kebahasaan.
”Sebagai pimpinan, saya hampir dua hari sekali menandatangani izin staf menjadi saksi ahli kasus kebahasaan,” kata Kepala Balai Bahasa Sumut Maryanto, Rabu (11/8/2021). Rata-rata setiap bulan ada 13 kasus hukum yang berkaitan dengan bahasa seperti kasus ujaran kebencian, penghasutan, atau pencemaran nama baik. Penanganan kasus-kasus itu dibantu oleh ahli bahasa dari Balai Bahasa.
Dibandingkan daerah lain, kasus kebahasaan di Sumut sangat tinggi. Kasus muncul karena kemampuan penutur yang rendah, di samping juga ketidakmampuan membedakan bahasa tutur dengan bahasa tulis. Logika yang campur aduk itu membuat banyak orang dilaporkan ke penegak hukum.
Selain itu, bahasa belum sepenuhnya digunakan untuk tujuan keilmuan, tetapi justru memunculkan konflik. Untuk itu, penyelesaian dengan mekanisme keadilan restoratif terus didorong dengan mendudukkan pelaku dan korban. Pihaknya mendorong penyelesaian yang adil dengan menekankan pada pemulihan, bukan pada pembalasan dendam.
Meskipun tingkat kemajemukan masyarakat di Sumut sangat tinggi, lanjut Maryanto, kebanyakan konflik dapat selesai dengan baik. Hal itu menumbukan optimisme. Konflik telah menjadi bagian kehidupan warga untuk bertumbuh.
Pihaknya mendorong penyelesaian yang adil dengan menekankan pada pemulihan bukan pada pembalasan dendam.
John Fawer Siahaan, pendiri Literaci Coffee, mengatakan, sebenarnya ujaran-ujaran yang vulgar banyak berseliweran di linimasa. Hanya saja, ada yang melaporkan atau tidak.
Pelaporan terjadi karena sudah ada konflik sebelumnya dengan pihak yang bermasalah. Sementara pihak yang dilaporkan tidak mengerti bahwa ungkapan di media sosial bisa dilaporkan.
”Baru-baru ini, saya ditelepon teman dari Balige (Toba) terkait ungkapan di Facebook yang dilaporkan ke kepolisian. Jika dirunut, sudah ada konflik sebelumnya yang terjadi antara terlapor dan pelapor. Pelapor mencari kelemahan terlapor di media sosial,” kata John.
Di tengah banyaknya kasus hukum, gerakan-gerakan literasi pun terus bertumbuh. Literaci Coffee yang berdiri sejak 2017 itu terus melakukan penguatan literasi dengan melakukan diskusi terbatas seminggu dua kali.
Pihaknya juga menyediakan 4.000 hingga 5.000 buku, kebanyakan bertema Sumatera, untuk dipinjamkan. ”Sudah ada 300-an mahasiswa yang menggunakan buku-buku di sini untuk penelitian mereka,” kata John.
Adapun pegiat Literasi di Medan, Ranggini Triyono, mengatakan, dirinya tergerak untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak pinggiran di Kota Medan, salah satunya karena kurangnya dampingan anak-anak menghadapi perkembangan teknologi.
Anak-anak putus sekolah dan besar di jalan tumbuh dengan bahasa-bahasa pasaran dan keras. Mereka mempraktikkan hal itu dengan sesama teman mereka. Mereka juga mendapatkan contoh bahasa-bahasa yang tidak pantas untuk anak-anak di media sosial dan menggunakannya di media sosial.
Menurut Ranggini, banyak anak-anak yang ia temukan membuat status di media sosial tidak etis dan bahkan diunggah pada dini hari saat jam tidur. Selain membawa hal baik, media sosial juga memberi dampak kurang baik jika tanpa pendampingan dari orangtua.
Puluhan anak mendapat pendidikan tambahan seminggu tiga kali di kediamannya di Kompleks PWI, Deli Serdang. Mereka mendapat pelajaran bahasa, kesenian, hingga pertanian. ”Kami juga bekerja sama dengan Duta Bahasa Balai Bahasa untuk mengajarkan bahasa Indonesia ke anak-anak,” kata Ranggini.
Dalam setiap kesempatan selalu disisipkan meteri tentang budi pekerti, sikap dan perilaku, toleransi, bertutur kata yang baik, selain juga pemberian gizi tambahan. Kegiatan dilakukan dengan penerapan protokol kesehatan di samping juga pendidikan tentang kesehatan itu sendiri.