Sungai Musi Terancam Limbah Berbahaya dan Mikroplastik
Sungai Musi terancam pencemaran bahan berbahaya dan mikroplastik. Bahkan, pencemaran sudah melebihi batas toleransi. Kondisi ini membuat ikan kian sulit ditemukan dan dapat mengancam kesehatan penduduk.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Sungai Musi terancam pencemaran bahan berbahaya dan mikroplastik. Bahkan, pencemaran sudah melebihi batas toleransi. Kondisi ini membuat ikan kian sulit ditemukan dan dapat mengancam kesehatan penduduk yang tinggal di tepian sungai.
Ini merupakan temuan Tim Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN), Perkumpulan Telapak Sumatera Selatan, dan Spora Institute Palembang yang menelusuri Sungai Musi pada Minggu (17/7/2022). Peneliti Tim ESN, Prigi Arisandi, Senin (18/7/2022), mengatakan, hasil pengambilan sampel menunjukkan tingginya kadar polutan seperti logam berat mangan dan tembaga yang mencapai 0,2 ppm dan 0,06 ppm (standar tidak boleh lebih dari 0,03 ppm).
Kadar klorin dan fosfat cukup tinggi, yaitu untuk klorin 0,16 mg per liter, seharusnya tidak boleh lebih dari 0,03 mg per liter. Adapun kadar fosfat mencapai 0,59 mg per liter. ”Tingginya kadar klorin dan fosfat sangat memengaruhi sistem pernapasan ikan dan pembentukan telur ikan,” ujar Prigi.
Selain itu, ujar Prigi, di Sungai Musi juga ditemukan limbah mikroplastik dalam air. ”Dari penelitian yang kami lakukan, dalam 100 liter air Sungai Musi, terdapat 355 partikel mikroplastik,” tuturnya.
Lebih lanjut, alumnus Jurusan Biologi Universitas Airlangga, Surabaya, ini menyebutkan, mikroplastik yang paling mendominasi adalah jenis fiber atau benang-benang yang mencapai 80 persen. Adapun jenis mikroplastik lainnya adalah granula, fragmen, dan filamen.
Tingginya pencemaran di Sungai Musi, Prigi menjelaskan, disebabkan sampah plastik sekali pakai dan aktivitas industri di pinggiran sungai. Belum lagi alih fungsi lahan yang terjadi di daerah aliran Sungai Musi. ”Pembukaan lahan sawit membuat kualitas air menurun, terutama habitat ikan di air gambut atau black water, yang tentu akan terancam, ucapnya.
Dampak dari pencemaran ini dikeluhkan oleh para nelayan dan penjual ikan. Mereka menyebutkan, jumlah ikan tangkapan menurun dan ukuran ikan yang makin mengecil. Ikan-ikan khas Sungai Musi, seperti ikan baung pisang, kapiat, patin, tapah, dan belida, sudah sulit ditemukan.
Dosen Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga, Veryl Hasan, mengatakan, mikroplastik, fosfat, logam berat, dan klorin termasuk dalam kategori senyawa pengganggu hormon. Keberadaannya di sungai akan mengganggu proses pembentukan kelamin ikan.
Senyawa pengganggu hormon, seperti mikroplastik, dianggap ikan sebagai hormon estrogenik sehingga dimungkinkan terbentuk lebih banyak ikan dengan jenis kelamin betina ketimbang jantan. Jantan itu pun tidak bisa membuahi telur ikan betina sehingga terjadi penurunan populasi ikan. ”Karena tingkat polutan dan pencemaran yang sudah berbahaya, alangkah baiknya ikan direlokasi agar tidak punah,” ucapnya.
Belum lagi adanya intrusi (perembesan) air laut ke dalam sungai.
Koordinator Telapak Sumatera Selatan Hariansyah Usman menerangkan, tingginya tingkat pencemaran bahan-bahan kimia pengganggu hormon memicu gangguan reproduksi ikan. Kondisi itu menurunkan populasi ikan dan menyebabkan punahnya jenis ikan yang tidak toleran terhadap kadar polutan yang meningkat.
Tidak hanya menurunnya populasi ikan, pencemaran Sungai Musi juga bisa mengancam warga. Pasalnya, sungai ini adalah satu-satunya sumber air baku untuk kebutuhan air bersih warga Palembang.
Masalah pencemaran Sungai Musi pernah disampaikan oleh Wali Kota Palembang Harnojoyo. Pencemaran tersebut ditandai dengan keruhnya Sungai Musi yang disebabkan oleh beragam limbah rumah tangga, sampah, ataupun tumpahan batubara dari tongkang yang melintas. ”Belum lagi adanya intrusi (perembesan) air laut ke dalam sungai,” ucapnya.
Dia menyebut, setiap hari ada sekitar 1.200 ton sampah yang dihasilkan di Palembang. Dari jumlah tersebut, hanya 800 ton yang bisa diangkat, sisanya dibuang ke sembarang tempat, termasuk di antaranya di sungai. ”Kondisi inilah yang membuat sungai semakin keruh dan sangat berbahaya untuk dijadikan air baku,” paparnya.
Mengatasi permasalahan ini, ujar Harnojoyo, pemerintah sedang membangun instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Tujuannya agar limbah rumah tangga tidak langsung dibuang ke sungai, tetapi diolah terlebih dahulu sehingga tidak mencemari sungai.
Di sisi lain, edukasi kepada masyarakat diperlukan agar terus menjaga aliran sungai di wilayahnya tetap bersih. Karena itu, setiap minggu, dilakukan aksi bersih-bersih anak Sungai Musi agar pencemaran tidak bertambah parah.