Mikroplastik ditemukan di berbagai produk makanan dan minuman di Indonesia sehingga bisa masuk ke tubuh manusia. Namun, implikasinya pada kesehatan masih perlu kajian lanjut guna menentukan standar keamanannya.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
KOMPAS/ZULKARNAINI
Prigi Arisandi, peneliti dari tim Ekspedisi Sungai Nusantara, mengidentifikasi sampah yang dibuang sembarangan di area permukiman di Desa Lambaro Neujid, Kecamatan Pekan Bada, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Kamis (2/6/2022). Identifikasi sampah tersebut bagian dari riset terhadap potensi keberadaan mikroplastik pada sungai dan sumber air di Aceh Besar.
JAKARTA, KOMPAS — Mikroplastik telah ditemukan di berbagai produk makanan dan minuman di Indonesia sehingga bisa masuk ke tubuh manusia. Meskipun demikian, implikasinya pada kesehatan masih perlu kajian lebih lanjut guna menentukan standar keamanannya.
”Banyak studi menunjukkan, bahan pangan dan air minum sudah terkontaminasi mikroplastik, seperti garam, seafood, perikanan air tawar, madu, gula, buah dan sayur. Mikroplastik juga ditemukan di produk ternak, dari jeroan dan kotoran,” kata Inneke Hantoro, peneliti mikroplastik, yang juga dosen Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, dalam diskusi daring yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Kamis (16/6/2022).
Menurut Inneke, studi yang dilakukannya dari produk perikanan laut di Jawa Tengah, seperti ikan bandeng dan udang, juga telah mengandung mikroplastik.
Keberadaan mikroplastik di produk makanan dan minuman di Indonesia juga disampaikan Andreas, peneliti dari Pusat Kimia Maju Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). ”Penelitian dari kelompok kami yang diterbitkan di jurnal pada tahun 2021 menemukan ikan tongkol dari pesisir Jawa Barat bagian selatan juga mengandung mikroplastik,” katanya.
Penggunaan plastik dalam industri makanan dan minuman sangat luas dan sulit tergantikan.
Menurut dia, mikroplastik juga ditemukan dalam berbagai produk makanan kaleng, selain berbagai produk minuman, seperti susu, teh, hingga rumput laut.
Pakar mikroplastik dari Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung (ITB), Akhmad Zainal Abidin, menambahkan, ratusan air minum berbagai merek yang telah ditelitinya mengandung mikroplastik. ”Walaupun jumlahnya masih lebih kecil dari standar di Eropa,” katanya.
Inneke mengatakan, sejumlah penelitian terbaru di luar negeri juga telah menemukan keberadaan plastik di tubuh manusia, mulai dari feses, usus, plasenta, dan darah. ”Ada tiga jalan mikroplastik masuk ke manusia, yaitu melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi. Selain itu, dari pernapasan karena debu mikroplastik yang beterbangan di udara. Juga melalui kulit, lewat dari baju yang berasal dari serat sintetis,” katanya.
Penelitian Heather A Leslie dari Vrije Universiteit Amsterdam dan tim menemukan mikroplastik dari 80 persen sampel darah manusia yang diteliti. Kajian yang diterbitkan di jurnal Environment International menyebutkan, dalam setiap mililiter darah sampel ditemukan 1,6-7 mikrogram partikel plastik (Kompas.id, 25 Maret 2022).
Riset yang ditulis Kala Senathirajah dari The University of Newcastle, Australia, dan tim di jurnal Hazardous Material (2021) menunjukkan, satu orang dapat menelan 0,1-5 gram mikroplastik per minggu. Jumlah ini kira-kira seberat satu kartu kredit. Ini berarti, dalam 10 tahun satu orang bisa menelan sekitar 2,7 kg partikel plastik.
Implikasi kesehatan
Keberadaan mikroplastik di makanan, minuman, dan tubuh manusia sudah menjadi konsensus dari para peneliti dengan bukti-bukti yang semakin banyak ditemukan. Meskipun demikian, menurut Inneke, hingga saat ini masih ada tantangan pada identifikasi dan karakterisasi bahaya mikroplastik pada kesehatan manusia. ”Untuk menetapkan standar keamanan, perlu studi toksisitas lebih lanjut dari mikroplastik,” katanya.
Inneke mengatakan, studi toksisitas sejauh ini baru dilakukan pada hewan dan sel kultur manusia. ”Memang pada hewan coba terbukti mikroplastik ini berdampak buruk pada pencernaan, liver, atau sistem saraf hingga sistem reproduksi. Misalnya, larva ikan jadi berumur pendek,” katanya.
Demikian halnya, pada sel kultur manusia, keberadaan mikroplastik ini juga bersifat sitotoksik, yang berarti beracun untuk sel. ”Mengganggu sistem imun dan menembus sel barier di tubuh, stres oksidatif. Ini baru indikasi awal karena semua studi toksisitas di sel kultur konsentrasinya selalu lebih tinggi. Masih perlu data lebih lanjut untuk mengetahui dampak paparan dalam kondisi sesungguhnya,” katanya.
Menanggapi paparan dari pembicara ini, Koordinator Fungsi Industri Pengolahan Susu dan Minuman Lainnya Kementerian Perindustrian Riris Marito mengatakan, penggunaan plastik dalam industri makanan dan minuman sangat luas dan sulit tergantikan. ”Sekitar 78 persen industri minuman menggunakan plastik,” katanya.
Riris mengatakan, jika pun data penelitian menunjukkan adanya dampak paparan mikroplastik ini pada kesehatan, hal ini masih harus dilihat dari berbagai aspek lain. ”Untuk regulasi harus mempertimbangkan sisi ekonomi, daya saing, unit usaha, dan kesehatan,” ujarnya.
Direktur Industri Kimia Hilir dan Farmasi Saiful Bahri mengharapkan ada penelitian lebih lanjut terkait temuan mikroplastik di AMDK (air minum dalam kemasan). ”Apakah itu dari airnya atau ada perpindahan dari kemasan. Hal ini akan bisa menentukan langkah apa yang bisa dilakukan,” katanya.
Saiful menambahkan, industri plastik di Indonesia masih akan tumbuh. Hingga saat ini, konsumsi plastik di Indonesia sebesar 22,5 kg per kapita, termasuk paling rendah. Sebagai perbandingan, konsumsi plastik di Thailand saat ini 69 kg per kapita, Vietnam 44,3 kg per kapita, Korea Selatan 143 kg per kapita, dan Eropa Barat 88 kg per kapita.