Sekitar 92 persen bidang tanah yang akan menjadi lokasi penambangan di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, tuntas diukur. Masih tersisa 49 bidang lainnya yang diyakini tidak mengganggu tahapan pengadaan tanah berikutnya.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
PURWOREJO, KOMPAS — Pengukuran tanah yang akan menjadi lokasi penambangan batu andesit di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, telah mencapai 92 persen. Pengukuran yang dilakukan dalam dua tahap itu berhasil dilakukan pada 568 bidang. Kendati masih menyisakan 49 bidang lahan yang belum berhasil diukur, hal itu diyakini tidak akan menghambat kelanjutan tahapan pengadaan tanah.
”Mulai minggu depan, kami akan tetap melanjutkan tahapan dari proses pengadaan tanah selanjutnya dengan mengolah semua data, menginventarisasi dan mengidentifikasi hasil pengukuran,” ujar Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Purworejo Andri Kristanto, Jumat (15/7/2022).
Total bidang yang akan dipakai sebagai lokasi penambangan batu andesit di Desa Wadas terdata 617 bidang dengan total luasan lebih dari 110 hektar.
Pengukuran tahap pertama dilakukan pada 8-10 Februari 2022. Kendati diwarnai insiden penangkapan sejumlah warga dan pengepungan desa oleh aparat keamanan, pengukuran berhasil dilakukan pada 304 bidang tanah.
Pengukuran tahap kedua dilakukan pada 12-15 Juli 2022 dengan target pengukuran 313 bidang lahan. Walaupun pengukuran berlangsung lancar dan dalam situasi yang sangat kondusif, ternyata hingga hari terakhir pengukuran, Jumat, masih ada 49 hektar lahan yang masih belum dilepaskan oleh warga pemiliknya.
Andri mengatakan, pihaknya membiarkan kondisi tersebut dan menganggap hal itu dimungkinkan terjadi karena warga pemiliknya adalah warga kontra yang tidak mendukung rencana pembangunan lokasi penambangan. ”Kami biarkan saja karena kami tidak mungkin memaksa mereka,” ujar Andri, yang juga menjabat sebagai ketua tim pengadaan tanah lokasi penambangan.
Sejak awal, dia menuturkan, semua orang yang tergabung dalam tim, termasuk perangkat Desa Wadas, sudah berusaha keras melakukan pendekatan pada warga. Upaya pendekatan itu dinilainya sangat berhasil karena sebelumnya 313 bidang tanah tersebut dipertahankan oleh para pemiliknya yang bersikeras menolak rencana pembangunan penambangan.
Dalam kegiatan pengukuran lahan di lapangan, Andri mengatakan, pihaknya juga sudah bertemu dengan sejumlah warga yang semula menolak rencana penambangan, tetapi kini sudah melepaskan lahannya. Dari pertemuan dan perbincangan dengan mereka, muncul kelegaan hati mereka untuk melepaskan tanahnya untuk lokasi penambangan.
Pertemuan itu juga telah berhasil membuat jalinan silaturahmi antara sebagian warga yang pro dan kontra terhadap rencana penambangan. Hubungan mereka kini telah berhasil kembali pulih seperti semula.
Sementara itu, warga Desa Wadas yang menolak rencana penambangan, yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Pecinta Alam Wadas (Gempa Dewa), masih terus menyuarakan penolakannya, dengan menggelar aksi bisu dengan berjalan mengelilingi Desa Wadas, Kamis (14/7/2022) siang.
Aksi tersebut dilakukan oleh sedikitnya 100 warga yang berasal dari lima RT di Desa Wadas. Sembari membawa poster-poster berisi seruan perlawanan, mereka berkeliling dengan memakai besek sebagai topi dengan bagian mulut tertutup rapat oleh plakban hitam.
Siswanto mengatakan, aksi bisu ini dilakukan sebagai bentuk protes terhadap pemerintah yang selama ini tidak mengindahkan seruan warga yang sebelumnya begitu ramai, gigih menentang rencana pembangunan.
”Mulut terbuka, bersuara atau tidak, rasanya sama saja. Suara kami toh tetap tidak digubris,” ujarnya. Dalam aksi ini, warga pendemo tidak mendatangi ataupun mengganggu proses pengukuran yang sedang berlangsung.
Besek sengaja dipakai untuk mengingatkan tentang nasib kebanyakan perempuan di Desa Wadas yang selama ini bekerja sebagai penganyam besek yang nantinya akan tersingkir ketika lahan dibuka untuk aktivitas penambangan.
Dalam aksi, warga pendemo juga berkeliling membawa bibit tanaman seperti durian dan rambutan. Hal ini juga dimaksudkan untuk mengingatkan bahwa aktivitas penambangan akan merusak alam dan membuat banyak tanaman seperti tanaman buah-buahan tidak akan lagi mampu tumbuh subur dan menghidupi warga.
Selain itu, Siswanto mengatakan, Gempa Dewa merasa aksi masih perlu digelar karena mereka meminta pertanggungjawaban pemerintah atas kejadian pengepungan aparat di desa yang dilakukan pada 8-10 Februari lalu.
Dengan berbagai kekecewaan yang sudah mereka alami, warga mengatakan tidak akan tinggal diam. ”Aksi bisu yang kami lakukan kemarin (Kamis), bukan menjadi aksi terakhir dari kami,” ujarnya.