Keping Keberanian Difabel Perjuangkan Kesempatan yang Sama
Kesempatan untuk bekerja hingga berkarier sangat penting bagi penyandang disabilitas. Tidak hanya untuk menyambung hidup, pemberdayaan ini juga membuktikan mereka bisa hidup setara di tengah keterbatasan.
Oleh
CORNELIUS HELMY HERLAMBANG, MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·5 menit baca
Bukan perkara mudah bagi penyandang disabilitas atau difabel untuk bekerja hingga berkarier seusai keahliannya. Stigma tidak bisa berbuat apa-apa masih membelit hidup mereka. Namun, niat baik untuk setara jelas tidak boleh berhenti diperjuangkan semuanya.
Langit mendung Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (14/7/2022), kontras dengan semangat Riska (21). Difabel tuli asal Pagarsih, Kota Bandung, itu, begitu antusias saat tiba di Plaza Gedung Sate.
Sembari menggengam amplop coklat berisi riwayat hidup dan pendidikan serta lamaran pekerjaan, langkahnya pasti menuju Festival Gerakan Disabilitas Muda Berdaya dalam Bekerja dan Berkarya (Garuda Jaya). Di sana, dia dan banyak difabel lainnya sudah ditunggu puluhan stan pelaku usaha dan industri, hingga sekolah luar biasa (SLB) di Jabar.
Sesuai rencana dari rumah, Riska yang ditemani kakaknya, Ismaya (27), langsung mendatangi stan CV Triptych. Perusahaan ini menaungi Bumi Semilir Hotel and Resto serta Triptych Garden Art Coffee di Parongpong, Kabupaten Bandung Barat.
Senyum ramah petugas stan menyambut Riska. Amplopnya diterima dan diletakkan bersama lamaran kerja serupa yang lebih dulu tiba. Melihat tumpukan itu, Riska tidak gentar. Ia percaya diri dengan kemampuannya.
Dengan bahasa isyarat, Riska mengatakan, baru lulus pelatihan kerja dari Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) Cicendo, Bandung. Selama setahun, dia belajar mengoperasikan komputer dan keahlian multimedia lainnya.
”Dari pelatihan ini, saya kini bisa menggunakan komputer sehingga yakin bisa bekerja,” ujar Riska.
Melihat Riska yang semringah, Ismaya ikut bahagia. Hari itu, kekhawatiran adiknya bakal sulit mandiri perlahan lumer. Apa pun hasil dari lamaran pekerjaannya, Ismaya mengatakan, kepingan keberanian Riska hidup setara adalah yang paling utama.
Tidak hanya itu, Ismaya juga lega saat melihat banyak gerai SLB dari sejumlah daerah di Jabar ikut serta dalam festival itu. Ragam keahlian diperlihatkan anak-anak difabel, mulai dari kriya, lukis, hingga ragam kuliner tersaji.
”
Saya pernah mengira Riska bakal hidup dalam sepi seumur hidupnya. Sekarang, saya semakin yakin dia tidak akan sendiri menghadapi hidup yang tidak mudah ini,
Perwakilan Human Research and Development CV Triptych Sri Yuniati Pujiastuti mengatakan, ada dua posisi yang ditawarkan, pramusaji dan asisten juru masak. Hingga pendaftaran ditutup, ada sembilan yang sudah masuk, termasuk milik Riska.
Menurut Sri, keputusan membuka kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas merupakan langkah besar bagi perusahaannya untuk membangun nilai-nilai kesetaraan. Sejauh ini dia yakin, keterlibatan penyandang disabilitas bakal berkontribusi positif bagi banyak pihak. Tidak hanya bagi perusahaan, tapi juga kepercayaan diri difabel hingga banyak kalangan yang meragukan kemampuan mereka.
”
Ini pertama kami membuka peluang kerja bagi kawan-kawan disabilitas. Memang terbayang tantangannya, misalnya, bagaimana berinteraksi nanti. Tapi, kalau kita tidak sekarang, kapan lagi,
”
ujar Sri.
Kepala Sekolah SLBN Cicendo Wawan mengapresiasi kemauan dunia usaha memberikan kesempatan bagi difabel untuk berkarya. Dia berharap, semakin banyak yang memiliki pandangan terbuka tentang kemampuan penyandang disabilitas.
”Dalam festival ini, dari 24 stan, ada 17 gerai SLB dan tujuh dunia usaha,” kata Wawan.
Dalam acara itu, ada 20 perusahaan yang mendapat penghargaan dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jabar karena sudah memberikan pekerjaan bagi disabilitas.
Ini menjadi tugas kita bersama. Ada sedikitnya 22.000 warga disabilitas kemungkinan belum mendapatkan pekerjaan. Oleh karena itu, kami berkolaborasi dengan dinas pendidikan dan sejumlah pihak lainnya agar bekal kerja disabilitas bisa disiapkan dari SLB dan berbagai media lainnya. (Taufik Garsadi)
Kepala Disnakertrans Jabar Taufik Garsadi menyebutkan, penyandang disabilitas di Jabar yang terserap dunia kerja mencapai 1.478 orang. Jumlah ini masih terlalu kecil dibandingkan total penyandang disabilitas di jabar yang mencapai 23.566 orang.
”Ini menjadi tugas kita bersama. Ada sedikitnya 22.000 warga disabilitas kemungkinan belum mendapatkan pekerjaan. Oleh karena itu, kami berkolaborasi dengan dinas pendidikan dan sejumlah pihak lainnya agar bekal kerja disabilitas bisa disiapkan dari SLB dan berbagai media lainnya,” ujarnya.
Erwin Simangunsong, Chief of Program Implementation Save the Children Indonesia, mengatakan, Garuda Jaya memiliki banyak peran. Selain menawarkan kesempatan kerja, ajang ini digunakan untuk memperkenalkan budaya kesiapan kerja bagi SLB untuk terus memfasilitasi para alumninya akrab dengan dunia usaha. Harapannya, pelaku dunia kerja juga memiliki pengalaman dan bekal serupa saat bekerja dengan disabilitas.
”Kami berharap, disabilitas dapat mandiri secara ekonomi,” katanya.
Staf Khusus Kepresidenan Bidang Sosial Angkie Yudistia yang hadir dalam kesempatan itu mengatakan, negara ingin terus memberi kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas. Sesuai Pasal 53 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, ada kuota bagi disabilitas sebesar 1 persen di perusahaan swasta dan 2 persen untuk pegawai pemerintah, BUMN, hingga BUMD.
Akan tetapi, tantangannya saat ini tidak ringan. Stigma penyandang disabilitas tidak bisa apa-apa masih ada. Akibatnya, ada penyandang disabilitas yang enggan menyertakan statusnya di identitas kependudukan. Padahal, itu diperlukan untuk pendataan agar menjadi prioritas pemerintah.
”Ini harus menjadi perhatian banyak pihak. Mari, siswa disabilitas meningkatkan kemampuan agar bisa membuka mata dunia usaha,” katanya.
Komitmen dunia usaha dan negara dalam Garuda Jaya setidaknya membuat sebagian pengunjung ikut lega. Esti (34), ibu dari anak difabel netra asal Cianjur, misalnya, sangat menantikan kesetaraan itu lekas hadir. Dia yakin, Haidar (9), anaknya, punya potensi besar apabila stigma itu dapat dikikis.
Esti tidak asal bicara. Meski tidak bisa melihat sejak lahir, Haidar tumbuh menjadi anak yang percaya diri. Suaranya keras saat menyebutkan cita-citanya kelak.
”Cita-citaku banyak. Aku ingin jadi guru. Aku ingin jadi pemain musik. Aku ingin jadi ustaz,” ujar Haidar dengan ceria.
Keceriaan Haidar berbalas belaian hangat Esti. Sebagai orangtua, dia sempat khawatir masa depan anaknya. Namun, kerap mengikuti beragam acara yang melibatkan anak-anak difabel, sedikit demi sedikit dia juga membangun optimisme.
Di tengah keterbatasan, Esti yakin, penyandang disabilitas bisa berdaya dan berguna bagi sesamanya.