Usaha Sablon dan Konveksi Bandung Belum Rasakan Pemulihan Ekonomi
Manisnya pemulihan ekonomi di tengah pandemi tahun ini masih belum dirasakan oleh pelaku UMKM bidang pakaian di Bandung. Mereka masih kesulitan mendapatkan pelanggan.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
Pemulihan ekonomi saat pandemi Covid-19 terkendali masih belum dirasakan oleh pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah sektor pakaian di Kota Bandung. Transaksi yang terjadi masih jauh di saat sebelum pandemi dan belum bergeser sejak 2022.
Ibrahim Subagio (56), pengusaha sablon kaus dari kawasan sablon Muararajeun, Kecamatan Cibeunying Kaler, Kota Bandung, masih belum merasakan manisnya pemulihan ekonomi saat ini. Hingga pertengahan 2022, pesanan sablon kaus tidak meningkat sama sekali.
Selama setahun terakhir pandemi, dalam sebulan, Ibrahim hanya menerima pemesanan 2.000-3.000 helai kaus per bulan. Jumlah ini merosot jauh dibandingkan dengan sebelum pandemi yang mencapai lebih dari 10.000 helai per bulan.
Bahkan, jumlah pelanggan tetap pun menyusut. Ibrahim berujar, saat ini hanya sekitar dua sampai tiga pelanggan dari merek baju yang masih menggunakan jasa sablon miliknya.
”Biasanya, kami memegang sablon dari 10 brand. Sekarang dua atau tiga saja sudah syukur. Ada juga partai kecil, biasanya untuk acara yang jumlahnya lusinan. Tapi, itu juga masih belum banyak,” ujarnya.
Hal yang sama juga dirasakan oleh Wisnu (27), pelaku UMKM di bidang pengepakan dan pemotongan pakaian di Ujung Berung, Kota Bandung. Dalam sebulan, dia hanya mendapatkan pesanan sekitar 1.500 helai pakaian yang akan dipotong dan dikemas.
Jumlah ini jauh lebih rendah dibandingkan saat sebelum pandemi. Dia berujar, jika dilihat pada 2019, dia bisa mendapatkan pesanan hingga 5.000 helai pakaian sebulan. Apalagi, jumlah ini selalu meningkat menjelang Lebaran.
Namun, di tengah pandemi, dia mendapatkan manisnya keuntungan tersebut. Selama dua tahun pandemi di tahun 2020 dan 2021, jumlah pemesanan saat Lebaran tidak terlalu jauh dibandingkan hari biasanya.
”Tahun ini lumayan ada peningkatan, tetapi tidak terlalu signifikan. Saat menjelang Lebaran, pesanan yang datang sekitar 2.000 helai,” ujarnya.
Dalam dua tahun terakhir, Wisnu pun kehilangan pelanggan tetapnya. Jika sebelum pandemi mereka rutin mendapatkan pesanan dari tiga merek, saat ini hanya ada satu merek yang mereka layani.
”Satu brand itu dari Lampung. Yang dari Bandung, sudah tidak rutin lagi memberikan pesanan. Saya berharap bisa kembali normal,” ujarnya.
Pemasaran daring
Di tengah pandemi, Ibrahim juga menduga para pelanggan beralih mencari penjual dari media sosial dan internet. Apalagi, pembatasan pergerakan untuk mengurangi penularan Covid-29 membuat masyarakat mengandalkan pemesanan daring.
Menurut Ibrahim, hal tersebut membuat media sosial menjadi salah satu cara untuk mencari pelanggan. Hal ini jauh berbeda dibandingkan dengan sebelum pandemi, saat orang-orang bisa berpindah tanpa ada halangan sehingga bisa melihar produk yang ada secara langsung.
”Sekarang apa-apa pakai aplikasi. Di usaha konveksi juga, orang-orang sudah promosi dan jualan dari media sosial. Padahal, biasanya promosi dari mulut ke mulut juga bisa. Ada perubahan besar di sini, dan kalau tidak menyesuaikan saya bisa tertinggal,” ujarnya.
Karena itu, Ibrahim pun memutuskan untuk memiliki merek kaus sendiri. Tidak hanya untuk menambah potensi pasar, kaus yang dijual ini juga membuktikan kualitas sablon miliknya sehingga bisa kembali menarik minat pelanggan.
”Kalau sekarang memang sudah terasa perekonomian menguat, saya juga harus ambil manfaatnya. Saat saya lihat sudah banyak yang ke media sosial, mau tidak mau harus adaptasi,” ujarnya.