Perjalanan wisatawan menemui reptil komodo tidak selalu mudah. Terkadang, gelombang dan angin membuat seakan nyawa jadi taruhannya.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Jumat (24/6/2022) pagi, sebuah kapal motor yang mengangkut wisatawan bertolak dari pesisir Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT, ke arah barat daya. Agar kapal kayu itu tetap seimbang, penumpang diminta tidak mengganti posisi duduk. Di depan sana akan datang gelombang yang membuat kapal itu bakal oleng.
Majid (27), pemandu, menjelaskan kapal akan menyinggahi tiga lokasi wisata, yakni Pulau Padar, Pantai Pink, dan Pulau Komodo. Hanya itu. Ia tidak menerangkan prosedur penyelamatan diri jika terjadi keadaan darurat seperti kecelakaan kapal. Padahal, di dekat ia berdiri terdapat baju pelampung yang disisip di kolong bangku penumpang.
Sekitar 30 menit perjalanan, embusan angin terasa semakin kencang. Gulungan gelombang berbuih, berarak menjemput kapal berukuran panjang sekitar 10 meter dengan lebar kurang dari 4 meter itu. Saat kapal haluan menerjang gelombang, percikan air tempias masuk ke kapal dari depan dan samping.
Faldi bersama istrinya duduk di dekat haluan kapal, berusaha menangkis percikan air dengan jaket. Faldi berasal dari Manggarai, NTT, sedangkan istrinya dari Semarang, Jawa Tengah, itu mengaku tidak bisa berenang. Pasangan yang baru menikah itu sedang berbulan madu.
Wisatawan lain juga tidak bisa menyembunyikan rasa takut. Ada yang sampai berteriak keras saat haluan menukik di depan mulut gelombang yang seakan menelannya. Ada yang memilih berbalik badan sambil melihat nakhoda yang terus memutar kemudi mengarahkan haluan untuk menjinakkan gelombang. ”Aman kah?” tanya mereka kepada nakhoda.
Jimy, nakhoda yang baru berusia 19 tahun itu hanya mengacungkan jempol sambil tersenyum. Ia sepertinya ingin menguatkan hati penumpang bahwa mereka bahwa perjalanan itu akan baik-baik saja. Jimy belum lama ini menjadi nakhoda setelah mengikuti kursus pelaut selama satu bulan.
Ketika perahu motor itu sedang bergelut dengan gelombang, dari samping beberapa speedboat melaju kencang dan mendahuluinya. ”Kalau naik speedboat bayar Rp 2 juta. Kita ini modal kurang jadi pake kapal kayu saja,” ujar Cika penumpang lain sambil menunjukkan speedboat yang dalam sekejap menjauh di depan.
Dua setengah jam kemudian, kapal motor itu tiba di Pulau Padar. Wisatawan turun lalu mendaki ke puncak untuk menikmati pemandangan di sana sambil berpose selama lebih kurang satu jam. Padar menjadi tempat favorit karena bentang alamnya yang memesona.
Dari puncak, tampak punggung-punggung bukit yang memanjang dan saling bertolak belakang. Di atasnya bukit yang tersusun dari batu karang itu, tumbuh tanaman liar yang mulai kecoklatan akibat kemarau. Dari puncak juga terlihat hamparan pasir putih yang menyatu dengan laut biru bening.
Sekitar pukul 11.00, kapal motor meninggalkan Padar, mengitari pulau itu melalui sisi utara kemudian ke bagian selatan menuju Pantai Pink. Kapal melalui selat sempit dengan gelombang yang datang dari berbagai arah. Laju kapal pun mulai dikurangi untuk mengurangi benturan dengan gelombang.
Suasana kapal kembali hening dari suara manusia, hanya terdengar deru mesin. Wisatawan yang tadi masing-masing sibuk mengusap layar telepon seluler, kini memilih memasukannya ke dalam tas. Kapal semakin oleng, terus oleng ke kiri dan ke kanan selama hampir lima menit.
Saya ingat anak saya masih kecil. Untuk melihat komodo, kita pertaruhkan nyawa.
”Adu Tuhan...Ya Allah... tolong kami,” teriakan itu bersahutan keluar dari mulut mereka. Ada yang hanya diam dan merem sampai kapal melewati titik kritis itu. Kendati dengan jam berlayar minim, Jimy tepat mengambil keputusan, dengan cepat memutar kapal membelakangi gelombang besar.
”Saya hitung pas gelombang datang, yang kena itu bagian belakang. Terlambat sedikit bisa kena dari samping, dan itu repot. Di sini kapal wisata sering tenggelam dan banyak orang hilang,” kata Jimy setelah merapatkan kapal ke pesisir Pantai Pink, destinasi kedua yang disinggahi.
Disebut Pantai Pink lantaran pasirnya yang berwarna pink. Warna itu semakin tampak jelas saat pasir tersentuh air laut. Wisatawan biasa berenang menikmati jernihnya air laut. Dengan mata telajang, bisa melihat ikan meliuk di antara karang. Keindahan Pantai Pink membuat wisatawan kembali tersenyum setelah dibuat pucat oleh gelombang.
Sekitar satu setengah jam kemudian, Jimy menghidupkan mesin kapal dan meminta wisatawan segera naik karena sebentar lagi angin semakin kencang. Perjalanan terakhir ini menuju Pulau Komodo yang akan ditempuh dalam waktu sekitar dua setengah jam. Laut masih tetap bergelombang, tetapi tidak terlalu mengkhawatirkan sebab arah gelombang mendorong kapal dari belakangan.
Tiba di Pulau Komodo mereka melihat langsung reptil purba itu. Melihatnya berjalan, mengangkat kepala, membuka mulut, dan menjulurkan lidah. Potret itu seakan membawa mereka kembali ke ruang waktu masa lampau, semasa dinosaurus masih berkuasa di Bumi, seperti dalam film animasi yang mereka pernah tonton.
Melihat komodo menjadi puncak dari jalan panjang dan berisiko di perairan Pulau Komodo dan sekitarnya. Sekitar dua jam kemudian, kapal bertolak kembali ke Labuan Bajo. Hari semakin sore, angin pun bertambah kencang, dan gelombang datang dari arah berlawanan.
Kapal berlayar di tengah buih dari gelombang dengan terus menerjang. Kapal berguncang sangat keras, oleng, dan miring. Meja yang berada di titik kapal itu sampai bergeser ke pinggir. Beruntung ditahan sehingga tidak membuat kapal hilang keseimbangan. Wisatawan perempuan sudah menangis.
”Saya ingat anak saya masih kecil. Untuk melihat komodo, kita pertaruhkan nyawa,” ujar Ragil, wisatawan dari Kota Kupang. Diterjang gelombang selama lebih dari tiga jam, kapal akhirnya tiba di Labuan Bajo tepat pukul 19.00 waktu setempat. Perjalanan hari itu memakan waktu selama 13 jam.
Empat hari kemudian, datang kabar bahwa sebuah kapal wisata tenggelam di perairan yang kami lewati itu. Seorang ibu dan anaknya meninggal. Kejadian itu menambah panjang daftar kecelakaan kapal wisata di Labuan Bajo. Selain alasan cuaca, kondisi kapal dan kecakapan pengemudi sangat menentukan.
Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif NTT Zeth Sony Libing mengatakan, keberadaan kapal wisata di Labuan Bajo akan dievaluasi. Pihaknya akan melihat kondisi kapal, pengemudi, dan perlengkapan yang tersedia di dalamnya. Datangnya wisatawan ke destinasi super prioritas itu harus kembali dengan selamat serta cerita indah. Bukan malah sebaliknya, membawa duka.