Merawat "Naga-naga" yang Tersisa
Geliat wisata telah mengubah wajah Taman Nasional Komodo di Nusa Tenggara Timur. Perlindungan terhadap "naga-naga" yang masih tersisa di kawasan itu mesti menjadi prioritas utama.
Rahman melangkah perlahan sambil menyapu pandangan di sekelilingnya. Dari jarak 15 meter, sorot pemandu turis itu menangkap seekor komodo yang mengendap di balik semak kecoklatan. Sambil memegang tongkat kayu bercabang, ia mendekati reptil buas dari depannya.
Sambil menatap ke arah komodo, mulut pria paruh baya itu komat-kamit seperti sedang mengucapkan mantra. Binatang liar yang mengambil ancang-ancang untuk menjauh pun kembali terpaku.
”Komodo kami anggap sebagai leluhur kami. Kami hidup berdampingan dengan komodo,” kata Rahman di Pulau Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), Jumat (24/6/2022) petang.
Segeralah Rahman memberi kesempatan kepada turis untuk memotret komodo. Ada yang meminta difoto dengan latar belakang komodo dan ada pula yang berswafoto dengan komodo. Mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan langka itu, melihat binatang purba yang masih hidup di bumi.
”Ini 'naga' yang nyata. Bukan di film,” ujar Susan (40), turis asal Singapura.
Petang itu, jarang terlihat komodo yang berkeliaran di sekitar jalur yang biasa dilewati turis. Dari 1.728 ekor komodo di pulau itu—sebagaimana data Balai Taman Nasional Komodo tahun 2021—rombongan yang diikuti Kompas hanya menjumpai tiga ekor. ”Ini sudah mulai kurang karena musim kawin komodo,” kata Rahman.
Pulau Komodo merupakan satu dari lima pulau di kawasan itu yang dihuni komodo. Selebihnya ada Pulau Rinca sebanyak 1.385 ekor, Pulau Padar 19 ekor, Pulau Gili Motang 81 ekor, dan Pulau Nusa Kode 90 ekor. Total keseluruhan 3.303 ekor. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan dengan tahun 2016 sebanyak 2.340 ekor.
Rahman, yang juga warga Pulau Komodo, menuturkan, warga lokal dan komodo hidup berdampingan. Mereka tidak saling menyakiti.
Di pulau seluas 33.037 hektar itu terdapat satu permukiman, yakni Desa Komodo dengan jumlah penduduk sebanyak 1.869 jiwa. ”Pernah ada kasus orang digigit komodo, (tapi) itu karena menyakiti komodo,” ujarnya.
Doni Parera, pegiat wisata di Labuan Bajo, punya pengalaman mengesankan. Doni yang bukan warga Pulau Komodo suatu ketika mendapat tamu wisatawan asing yang datang dengan kapal pesiar.
Rombongan itu datang ketika musim kawin kamodo. Beberapa hari menjelang kedatangan, komodo tidak muncul.
Doni dan tim lalu membuat pancingan dengan menyimpan potongan daging kambing di beberapa titik. Tapi, hasilnya nihil. Tidak ada komodo yang muncul.
”Saya sudah stres. Saya akan dianggap menyebar informasi bohong karena wisatawan tidak lihat komodo di sini. Ini pasti berimbas pada pariwisata Indonesia,” kenangnya.
Doni kemudian meminta tolong kepada warga lokal untuk membuat ritual. Warga lokal yang dipimpin tokoh adat datang dan meratap di sana, seperti meratapi orang meninggal.
Setelah itu, komodo pun bermunculan. Wisatawan asing puas dengan kunjungan ke sana. Beberapa jam setelah wisatawan pulang, komodo kembali menghilang.
”Jadi ada relasi antara orang di Pulau Komodo dan reptil komodo yang tidak bisa dijelaskan dengan akal sehat. Makanya kami menolak wacana pemerintah untuk mengosongkan Pulau Komodo dengan merelokasi warga di sana,” kata Doni yang aktif mengampanyekan perlindungan terhadap komodo.
Baca Juga: Komodo Terancam Punah
Menurut dia, cara melindungi komodo adalah dengan tidak mengganggu habitat komodo. Sayangnya, pengambilan kebijakan sudah telanjur mengusik ekosistem di sana.
Di Pulau Rinca, misalnya, dibangun sarana prasarana yang menghalangi jalur komodo. Ada pula pemberian izin kepada tiga perusahaan untuk beraktivitas di kawasan itu.
Kebijakan kontroversi itu mengundang perhatian Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). UNESCO meminta proyek pembangunan dihentikan sebab mengganggu komodo yang ditetapkan sebagai warisan dunia. Kendati perwakilan UNESCO datang ke sana, pembangunan di Rinca tetap berjalan.
Pembatasan pengunjung
Dwi Putro Sugiarto, Kepala Subbagian Tata Usaha Taman Nasional Komodo, Kamis (23/6), mengatakan, pihaknya berkomitmen untuk menjaga keberlangsungan hidup komodo. Konservasi tetap menjadi prioritas di tengah potensi bisnis wisata yang menjanjikan di destinasi wisata superprioritas itu.
Bentuk perlindungan terhadap ekosistem komodo di antaranya adalah memberlakukan kebijakan untuk membatasi jumlah pengunjung. Idealnya sekitar 219.000 per tahun. Kuota kunjungan ini hampir sama dengan jumlahnya pengunjung tahun 2019 atau sebelum era pandemi Covid-19 yang mencapai 221.000.
”Setelah pandemi mulai mereda, kunjungan wisatawan semakin banyak. Nanti wisatawan yang masuk harus mendaftar terlebih dahulu agar kami bisa mengetahui jumlahnya. Jika sudah melebihi kuota harian, akan dijadwalkan. Sistem pendaftaran secara daring ini sedang kami siapkan,” kata Dwi.
Langkah lainnya adalah meningkatkan pengamanan di dalam kawasan taman nasional. Di sana masih rawan terjadi perburuan rusa dan babi hutan yang menjadi pakan komodo. Pencegahan kebakaran juga diintensifkan. Dalam catatan balai taman nasional, selama sembilan tahun terakhir terjadi 13 kali kejadian kebakaran yang menghanguskan lahan seluas 42,4 hektar.
Terkait pembangunan sarana dan prasarana wisata di Pulau Rinca yang menimbulkan reaksi negatif, lanjut Dwi, hal itu sudah dipertimbangkan secara matang.
Pembangunan itu dianggap tidak menabrak semangat konservasi. ”Buktinya tidak ada perubahan pada perilaku komodo. Komodo masih tetap bertelur seperti biasa,” ujarnya.
Cara melindungi komodo adalah dengan tidak mengganggu habitat komodo. Sayangnya, pengambilan kebijakan sudah telanjur mengusik ekosistem di sana.
Wakil Bupati Manggarai Barat Yulianus Weng juga mengingatkan perlindungan terhadap komodo tetap diprioritaskan. Ia menyadari, daerah tidak memiliki kewenangan di dalam kawasan taman nasional. Terkait izin investasi di sana, hal itu menjadi urusan pemerintah pusat. ”Kalau sampai terjadi kerusakan, apa lagi yang mau kita banggakan? Menjaga habitat itu prioritas. Tidak bisa ditawar-tawar,” ujarnya.
Ia mengakui, keberadaan komodo menumbuhkan geliat ekonomi yang tinggi di sana. Sektor pariwisata kini menjadi andalan mereka. Ia pun mendorong penguatan destinasi wisata di daerah sekitar agar wisatawan tidak menumpuk di komodo.
Sebagai contoh, di Kabupaten Manggarai, ada kampung adat Waerebo. Juga pesona Danau Kelimutu dengan keunikan tiga warna di Kabupaten Ende. Efek komodo jangan hanya terhenti di Labuan Bajo.
Keberadaan reptil komodo telah mengubah wajah daerah itu. Hendaknya, perlindungan terhadap ”naga” yang masih tersisa itu menjadi prioritas utama. Masyarakat lokal sudah hidup berdampingan dengan damai. Kini giliran pengambil kebijakan agar mengatur roda bisnis pariwisata tidak menabrak semangat konservasi.
Baca Juga: Keanggunan di Puncak Pulau Padar