Anggota DPRD NTT Pertanyakan Kenaikan Tarif Taman Nasional Komodo
Kenaikan tarif masuk TN Komodo Rp 3,75 juta oleh Pemprov NTT dengan alasan untuk kepentingan konservasi ditolak DPRD NTT.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Kenaikan tarif masuk ke Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur, per 1 Agustus 2022 memantik pertanyaan dari anggota legislatif setempat. Kenaikan tarif dengan alasan biaya konservasi dinilai tidak tepat dan justru akan menurunkan angka kunjungan wisatawan ke TN Komodo.
Anggota DPRD Nusa Tenggara Timur (NTT), daerah pemilihan Manggarai Barat, yang membidangi masalah kepariwisataan, Yohanes Rumat, di Kupang, Senin (4/6/2022), mengatakan, kebijakan tarif masuk Taman Nasional (TN) Komodo, Manggarai Barat, yang sudah viral, membingungkan masyarakat.
Sebab, saat jumlah kunjungan wisatawan ke TN Komodo mulai menggeliat setelah Covid-19 melandai, pengelolaan kawasan wisata dan konservasi binatang yang dilindungi itu tiba-tiba diterpa persoalan lain berupa kenaikan tarif masuk. Kebijakan itu dinilai merupakan kebijakan sepihak dari Pemprov NTT. Namun, tudingan itu dibantah oleh Pemprov NTT.
Sebelumnya, Pemprov NTT menetapkan tarif masuk TN Komodo Rp 3,75 juta per orang akan berlaku pada 1 Agustus 2022. Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif NTT Zeth Sonny Libing mengatakan, ketetapan tarif Rp 3,75 juta per orang itu atas hasil analisis para peneliti atau ahli.
Biaya tersebut diprioritaskan untuk konservasi TN Komodo di samping pemberdayaan masyarakat lokal dan PAD. ”Para peneliti itu justru mematok harga Rp 2,9 juta-Rp 5 juta per orang, tetapi kami ambil yang pas saja,” kata Libing.
Rumat mengatakan, pemberlakuan tarif masuk TN Komodo, Rp 3,75 juta, mulai 1 Agustus 2022 dengan alasan untuk biaya konservasi itu tidak tepat.
”Saya pribadi, kalau alasan konservasi, jauh lebih baik TN Komodo ditutup permanen untuk pengunjung. Dengan cara ini komodo lebih leluasa bergerak dan berkembang biak. Mereka tidak diganggu oleh pembangunan penataan kawasan dan kunjungan manusia,” katanya.
Rumat menambahkan. selama puluhan tahun, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengelola TN Komodo. Namun. kebijakan konservasi di lokasi TN Komodo itu dinilai tidak sesuai harapan. Kegiatan konservasi seharusnya melibatkan kegiatan penangkaran dan perlindungan binatang komodo secara terukur.
”Setiap tahun lahir berapa ekor, lalu kenaikan populasi Komodo tahun itu berapa. Yang terjadi pencurian komodo dari kawasan TN Komodo,” katanya.
Ia mengatakan, sampai saat ini DPRD belum mengetahui alasan kenaikan tarif itu. Akan tetapi, ia memperoleh informasi dari media massa, salah satu alasannya ialah untuk kegiatan konservasi, pemberdayaan masyarakat lokal, pendapatan asli daerah, dan keamanan pengunjung. Konservasi menjadi alasan utama kenaikan tarif itu.
Rumat mengatakan, kenaikan tarif itu harus melibatkan DPRD dan disahkan melalui peraturan daerah (perda) atau peraturan gubernur (pergub). Selanjutnya, terhadap perda itu dilakukan uji publik melalui media massa. Masyarakat, terutama pelaku usaha pariwisata, juga perlu disiapkan jika pemerintah ingin menaikkan tarif masuk TN Komodo.
”Kalaupun dinaikkan, kami usulkan agar mulai berlaku 1 Januari 2023. Jika diberlakukan dalam tahun berjalan seperti sekarang akan mengganggu semua perencanaan, baik wisatawan maupun agen travel atau pelaku usaha pariwisata. Ini tidak elok dan merusak citra pariwisata Labuan Bajo yang superpremium itu,” katanya.
Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) NTT itu mengatakan, sasaran promosi destinasi premium Labuan Bajo adalah wisatawan mancanegara yang memiliki uang dan sudah jauh-jauh hari merencanakan perjalanan ke TN Komodo. Kenaikan tarif yang berlaku 1 Agustus 2022 diproyeksikan akan membuat sejumlah pesanan paket wisata, baik rombongan maupun perorangan ke Labuan Bajo, batal.
Ia menilai, kebijakan itu agak aneh. TN Komodo di bawah Kementerian LH dan Kehutanan. Jika Pempov diberi kewenangan mengelola, dan pihak kementerian pun menyetujui kenaikan tarif Rp 3,75 juta itu, sebelum diumumkan ke publik, sebaiknya kebijakan itu dibahas terlebih dahulu dengan DPRD dan ditetapkan melalui perda.
”Sekarang orang tolakdi mana-mana. Orang merasa ini mainan, sesuatu yang bombastis, dan tidak layak disampaikan ke publik.Ibaratnya ada toko milik kementerian, lalu di dalamnya ada kios yang dibuka pemprov. Tetapi kalau ada surat perintah dari kementerian untuk provinsi dan kabupaten mengelola, harus ada produk hukum yang jelas,” kata Rumat.
Kenaikan tarif itu berlaku 1 Agustus 2022. Hampir semua operator perjalanan, yakni kapal pesiar, dan grup-grup perjalanan telah memiliki kontrak kerja sama berlangsung 1 tahun, Januari- Desember 2022. Pemda dinilai tidak memperhatikan kepentingan para pengusaha lokal yang sudah menandatangani kontrak 1 tahun itu.
”Tiba-tiba di bulan Agustus 2022 itu semua berubah drastis. Di sini terjadi penyesalan dan kekecewaan para pelaku wisata dan orang-orang kecil seperti sopir mobil travel, operator kapal pesiar, karyawan hotel dan restoran yang siap menerima tamu. Dampak lain, yakni pembatalan tandatangan kontrak, pelaku usaha tidak dapat apa-apa, hotel juga batal, suvenir, akomodasi, transportasi dan semua hal terkait pariwisata. Semuanya batal karena kebijakan itu,” katanya.
Apakah dengan uang Rp 3,75 juta itu menyelesaikan soal konservasi di sana. Sama sekali tidak. ”Jangan ada udang di balik batu, lalu semua menjadi kacau balau. Jangan ada pihak yang mengambil keuntungan di balik isu konservasi ini,” katanya.
Biaya ke TN Komodo saja butuh Rp 7 juta-Rp 10 juta per orang, belum termasuk perjalanan lanjutan ke daratanFlores, seperti Waerebo, Ruteng, Ende, Ende, dan Maumere.
Menanggapi keberatan atas kenaikan tarif masuk TN Komodo itu, Zeth Sonny Libing mengatakan, tidak ada kepentingan apa pun dibalik kenaikan tarif masuk TN Komodo itu selain kepentingan konservasi dan pembatasan jumlah kunjungan ke sana, yakni 200.000 orang per tahun.
”Ini pun sesuai hasil analisis ahli. Selama ini jumlah kunjungan 300.000-400.000 orang per tahun, jumlah ini tidak layak bagi kepentingan konservasi komodo,” katanya.