Kiprah para pembatik anyar menjadi kisah baru dari Singkawang, Kalimantan Barat. Di ”Kota Seribu Kelenteng” ini, muda dan tua ikut melakukannya. Ada yang awalnya sekadar meluangkan waktu hingga membangun percaya diri.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·5 menit baca
Kiprah para pembatik anyar menjadi kisah baru dari Singkawang, Kalimantan Barat. Di ”Kota Seribu Kelenteng” ini, muda dan tua ikut melakukannya. Mencanting pada kain, mewarnainya, dan menunggu hasilnya setelah dijemur di bawah matahari. Ada yang awalnya sekadar meluangkan waktu hingga membangun percaya diri saat keluar dari penjara.
Kegembiraan terpancar dari wajah anak-anak muda saat belajar membatik di Kota Singkawang, Sabtu (25/6/2022). Bagi mereka, kesempatan kali itu adalah pertama kalinya mengikuti beragam prosesnya.
Mereka memulainya dengan belajar menggoreskan canting dengan lilin pada pola yang telah dibuat sebelumnya pada kain berukuran 25 sentimeter x 30 sentimeter. Anak-anak itu kemudian bersama-sama mewarnai kain. Prosesnya lantas berlanjut dengan merendam kain dengan water glass (sodium silikat). Tujuannya, mengikat dan menguatkan warna agar tidak luntur.
Rampung dengan itu, giliran sinar matahari mengambil peran. Panasnya diandalkan untuk mengeringkan kain.
Namun, proses itu belum usai. Setelah kering, kain-kain itu direbus untuk melepaskan lilin dan menghasilkan kain batik siap pakai.
”Ini pengalaman pertama belajar membatik. Hasilnya bisa dijadikan baju, tas, sandal, dan sepatu,” ungkap Sumi (13), siswi salah satu SMPN di Singkawang.
Hari itu, Sumi kebagian peran membuat motif batik. Bentuknya berupa garis lurus, melengkung, serta bentuk segi tiga dan segi empat.
Untuk membuatnya lebih cantik, dia membubuhkan beragam warna, seperti ungu, merah, biru, hijau, dan kuning.
”Membatik perlu kesabaran. Kelak saya ingin memiliki usaha batik,” ujarnya.
Membatik juga menjadi pengalaman pertama bagi Caca (12), siswi salah satu SDN di Singkawang. Caca menyukai warna-warna cerah yang dituangkan dalam motif kain.
Wiliam (13), siswa SMPN di Singkawang, juga takjub dengan karya miliknya. ”Senang bisa melihat hasilnya. Warnanya bisa lebih jelas sekarang,” ujar William.
Mendengar dan melihat keceriaan anak-anak itu membuat Priska Yeniriatno (34) ikut gembira. Pemilik Galeri Kote Singkawang yang mendampingi kegiatan itu berharap membatik bisa menjadi bekal anak-anak itu di masa depan.
Kain karya mereka, katanya, bisa dikombinasikan menjadi bahan pembuatan sandal dan jenis kerajinan lainnya. Semua berpotensi bernilai ekonomi baru.
”Peserta kegiatan ini sebagian besar berasal dari keluarga kurang mampu. Semoga membatik bisa menjadi bekal ilmu baru. Ke depan, mereka bisa membagikan ilmu ini kepada lebih banyak orang di sekitarnya,” kata Priska.
Komunitas pembatik
Mendampingi anak-anak membatik bukan hal baru bagi Priska. Awal 2022, Priska sudah membentuk Komunitas Pembatik Cilik Singkawang.
Priska membuka pendaftaran di media sosial. Ada 19 orang yang datang.
Namun, ada lima di antaranya bakal mendapatkan beasiswa. Mereka akan diikutsertakan dalam kegiatan membatik di Yogyakarta pada bulan ini.
”Mereka dipilih karena kualitas gambar yang bagus. Awalnya, setiap pendaftar diberi kertas dan tiga pilihan warna, lalu mereka diminta menggambar. Mereka punya potensi membatik lebih besar,” kata Priska.
Namun, bagi Priska, membatik lebih dari sekadar perkara bagus atau tidak. Batik punya peran lebih besar dari itu.
Dia mencontohkan saat batik menjadi sarana terapi proses penyembuhan pembatik yang sakit. ”Kebetulan, dia memerlukan terapi bermain dengan warna, menggambar lewat batik menjadi salah satu cara ampuh,” katanya.
Priska juga mengatakan membatik ikut membangkitkan rasa percaya diri warga yang baru keluar penjara.
”Saya mengajarkannya membatik untuk membangkitkan kembali rasa percaya dirinya sekaligus cara mendapatkan penghasilan baru,” katanya.
Pemberdayaan
Selain anak, ibu-ibu pembatik juga bermunculan di Singkawang. Beberapa di antaranya di Kecamatan Singkawang Timur, Singkawang Selatan, dan Kecamatan Singkawang Barat. Saat ini, tercatat ada 31 ibu aktif membatik di sana.
Erlin (38), pembatik Singkawang Timur, misalnya, dengan bangga memperlihatkan batik motif Dayak. Sebagai masyarakat Dayak, ia membuat banyak motif ukiran.
Selain itu, ada sentuhan motif naga karena sangat diminati di Singkawang. Terkadang, dia juga membuat motif anggrek hutan.
”Saya belajar membatik dari Priska pada 2019. Awalnya gemetar saat proses penyantingan. Setelah dijalani, membatik ternyata asyik juga,” tutur Erlin.
Keti (33), warga Singkawang Timur lainnya, awalnya membatik adalah kegiatan asing bagi dia. Ia menganggap batik identik dengan masyarakat Jawa.
Namun, populer di antara rekan-rekannya, ia akhirnya mau belajar membatik mulai tahun 2021. Hatinya dengan mudah tertambat pada batik.
Prosesnya yang membutuhkan kesabaran membuatnya jatuh hati. Semuanya dianggap terapi untuk melatih ketenangan hati. ”Bagian yang paling saya sukai adalah menggoreskan canting. Hati ini menjadi tenang sekali,” katanya.
Fisanti (37) dan Henima (61), pembatik dari Singkawang Barat, punya motif lainnya. Tinggal dekat pantai dan hutan bakau, motif andalannya seperti kegiatan menjala ikan dan pohon bakau.
Namun, bukan proses mudah bagi mereka belajar membatik. Banyak waktu dan tenaga yang dikeluarkan sebelum benar-benar cinta.
Henima, misalnya, banyak meluangkan waktu sendiri saat membatik. Dari awalnya tidak paham, dia perlahan memelihara bakatnya menggoreskan canting pada kain.
”Sejak awal, saya memang suka menggambar, terutama hal-hal yang terkait busana tradisional. Ketika ada yang mau mengajarkan membatik, saya senang sekali. Sejak lama ingin belajar membatik,” kata Henima.
Keterlibatan ibu-ibu itu, kata Priska, lebih dulu dilakukan ketimbang mendampingi anak-anak. Semua bermula saat memenangi kompetisi industri kreatif yang diselenggarakan salah satu perusahaan swasta.
Kemudian, perusahaan swasta tersebut memberi tantangan. Priska ditantang memberdayakan masyarakat tiga wilayah tersebut.
Tantangan diterima. Beragam ilmu membatik dia berikan kepada ibu-ibu di sana.
Priska lantas membimbing ibu-ibu tersebut membatik. Selain ilmu dasar, beragam tata cara produksi disampaikan. Hasil karya mereka lantas memberikan penghasilan tambahan.
Penghasilan yang mereka terima dari Priska tergantung motif dan proses. Untuk pengerjaan hanya sampai pencantingan, mereka mendapatkan Rp 70.000-Rp 150.000 per helai kain berukuran 2 meter.
Harganya bakal berbeda apabila prosesnya dilakukan hingga proses pewarnaan. Setiap ibu bisa mendapatkan Rp 300.000 per helai dari Priska.
Batik lebih dari sekadar kegiatan menggoreskan canting. Di tangan yang tepat, pesonanya bisa memberikan kesejahteraan dan menyelamatkan jiwa.