Orangutan yang Jalan di Jembatan Sudah Kembali ke Hutan
Orangutan viral yang jalan di atas jembatan kini telah kembali ke hutan terdekat. Pemerintah melalui BKSDA Kalteng memastikan habitatnya aman dari banjir.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PANGKALAN BUN, KOMPAS — Orangutan dewasa keluar dari hutan dan melintas di Jembatan Panjang, Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Orangutan liar itu keluar dari hutan karena habitatnya terendam banjir.
Kepala Seksi Konservasi Wilayah (SKW) II Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalteng Dendi Setiadi, di Pangkalan Bun, menjelaskan bahwa orangutan tersebut berjalan dengan santai di Jembatan Panjang, Kelurahan Kotawaringin Hilir, Kecamatan Kotawaringin Lama. Menurut dia, dari pantauan fisik, orangutan dewasa itu berumur 15-20 tahun lebih.
”Tim kami sedang di lokasi untuk memantau orangutan tersebut,” kata Dendi pada Sabtu (2/7/2022).
Video orangutan di jembatan itu viral di media sosial. Dalam video berdurasi 1 menit 30 detik itu, orangutan dewasa itu terlihat berjalan di atas sandaran atau (hand rail) pada jembatan atau pile slab itu.
Terlihat juga beberapa penduduk dan anggota TNI setempat menggiring orangutan itu agar keluar dari jembatan dan masuk kembali ke habitatnya. Peristiwa itu terjadi pada Jumat (1/7/2022) pagi.
Menurut Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalteng Nur Patria Kurniawan, orangutan dewasa itu keluar dari hutan lantaran banjir yang dalam seminggu terakhir ini melanda beberapa wilayah di Kotawaringin Barat. Habitatnya diserang banjir, sedangkan di sekitar habitatnya itu tidak banyak pohon tinggi.
Intinya, kami semua bekerja untuk menjaga orangutan di alam, bukan di kandang, karena namanya orangutan, bukan orang kandang.
”Sudah dua hari di sana, itu kan banjir. Hutannya tidak ada pohon-pohon yang tinggi menurut laporannya sehingga orangutan itu keluar. Karena banjir, dia cari tempat yang kering,” ujar Nur Patria.
Orangutan merupakan satwa arboreal, yang artinya mereka hidup dari pohon satu ke pohon yang lain. Aktivitasnya lebih banyak di atas pohon. Jika tutupan hutannya tidak baik, orangutan akan keluar karena daya jelajahnya tinggi.
Nur Patria menjelaskan, lokasi orangutan berjalan di pinggir jembatan itu berdekatan dengan Hutan Kemasyarakatan Masorarian. Orangutan itu kini masuk ke dalam kawasan hutan tersebut.
”Orangutan itu masuk ke kawasan hutan kemasyarakatan itu dan tidak keluar lagi. Kawasan itu jauh lebih aman karena lebih kering,” ungkapnya.
Ia meminta kepada masyarakat, jika menjumpai satwa yang dilindungi seperti orangutan, hendaknya jangan disakiti atau ditakuti karena dapat memicu kemarahan hewan tersebut.
”Imbauan kami, kalau ada yang seperti itu, segera laporkan ke BKSDA. Bisa melalui call center atau langsung ke petugas,” katanya.
Di luar kawasan
Sebelumnya, Borneo Nature Foundation (BNF) melakukan penelitian penyebaran orangutan di Kalimantan Tengah. Hasilnya, populasi orangutan terbesar hidup di luar kawasan lindung.
BNF melakukan penelitian tersebut di bentang alam Rungan untuk menghitung populasi orangutan. Penelitian tersebut dilaksanakan dalam 20 ekspedisi sejak 2017 sampai 2018. Hasilnya, di kawasan bentang alam Rungan yang luasnya mencapai 155.000 hektar terdapat sedikitnya 3.000 orangutan.
Namun, orangutan tersebut lebih banyak tinggal di kawasan bukan lindung, seperti hutan produksi, area penggunaan lain, dan bahkan di kawasan pemegang izin konsesi, seperti hutan tanaman industri (HTI), hak pengusahaan hutan (HPH), dan perkebunan sawit.
Kondisi ini mengancam keberlangsungan hidup orangutan karena negara, para pemegang izin, dan pemilik kawasan tidak menyiapkan kawasan tersebut dengan baik.
Namun, aturan yang ada sudah mewajibkan perusahaan atau pemegang izin untuk membentuk kawasan high conservation value (HCV) sebelum melakukan pembukaan lahan.
Sementara itu, Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS) memiliki lebih kurang 400 orangutan di Kalimantan Tengah dan di Kalimantan Timur. Semuanya masih dalam pengenalan habitat untuk bisa liar kembali.
Ketua Pengurus Yayasan BOS, Jamartin Sihite, menyebutkan, dari 400 orangutan setidaknya terdapat 100 lebih orangutan yang tidak bisa dilepasliarkan ke hutan asli karena berbagai faktor, mulai dari cacat, punya penyakit, hingga sudah tidak bisa diliarkan lagi.
”Intinya, kami semua bekerja untuk menjaga orangutan di alam, bukan di kandang, karena namanya orangutan, bukan orang kandang,” kata Jamartin.