Pendekatan bioakustik, analisis suara untuk memantau wilayah dan gerakan satwa, juga pemburu, dinilai efektif di tengah maraknya perburuan satwa dilindungi. Metode ini dinilai cocok di Indonesia yang kekurangan sumber daya manusia untuk menjaga habitat satwa liar dilindungi yang sangat luas.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Pendekatan bioakustik dinilai efektif di tengah maraknya perburuan oleh manusia. Metode analisis suara untuk memantau wilayah dan gerakan satwa, juga para pemburu, ini dinilai cocok di Indonesia yang kekurangan sumber daya manusia untuk menjaga habitat satwa liar dilindungi yang sangat luas.
Hal itu terungkap dalam Simposium dan Lokakarya Kolaborasi dengan tema ”Integrasi Penelitian Ekologis dan Etnologis untuk Mengembangkan Konservasi Efektif pada Bentang Alam Rungan”, di Palangkaraya, Selasa-Kamis (2-4/7/2019). Kegiatan itu diselenggarakan oleh Borneo Nature Foundation (BNF).
Antropolog Biologi dari Universitas Stony Brook, Amerika, Wendy Erb mengungkapkan, bioakustik telah digunakan di Kenya dan beberapa negara lain di Afrika untuk membantu mengawasi kawasan hutan yang memiliki banyak habitat satwa liar dilindungi. Pengawasan menggunakan suara itu dilakukan untuk mengurangi perburuan liar oleh manusia.
”Itu efektif, dari suara kami bisa mendeteksi di wilayah mana yang banyak perburuan sehingga patroli bisa diarahkan ke sana. Melalui bioakustik, kita bisa mendengar suara tembakan, gergaji mesin, dan semua aktivitas ilegal lainnya,” ungkap Wendy.
Perekam suara
Wendy menjelaskan, pendekatan bioakustik yang paling afektif adalah dengan menggunakan monitoring akustik pasif (PAM). Caranya adalah dengan menempelkan alat perekam. Semakin banyak dan menyebar alat perekam yang dipasang, semakin mudah identifikasi suara aktivitas perburuan.
Alat perekam akan mampu mengambil suara tembakan dan suara satwa yang ditembak. Dari situ bisa dianalisis, lokasi mana yang suara tembakannya paling banyak. ”Kalau sudah dapat lokasinya, kirim tim ke sana dan ditindaklanjuti,” ujar Wendy.
Wendy menjelaskan, hasil evaluasi di beberapa negara di Afrika menunjukkan ada penurunan perburuan dengan metode itu. Evaluasi itu juga didapat dari analisis suara. Setelah tim patroli banyak berjaga di lokasi tersebut, aktivitas perburuan menurun.
”Semuanya dilihat dari grafik spektogram dari alat perekam. Setelah ditindak, suara tembakan dan suara aktivitas ilegal lainnya menurun. Artinya, lokasi itu jauh lebih aman,” kata Wendy.
Metode pengawasan seperti ini, lanjut Wendy, bisa dilakukan siapa saja dan tidak banyak membutuhkan tenaga profesional untuk melakukannya. Metode bioakustik sangat cocok di Indonesia yang kekurangan sumber daya manusia untuk menjaga habitat satwa liar dilindungi yang sangat luas.
Metode bioakustik sangat cocok di Indonesia yang kekurangan sumber daya manusia untuk menjaga habitat satwa liar dilindungi yang sangat luas.
Apalagi angka perburuan di Indonesia masih tinggi. Protection of Forest & Fauna (Profauna) Indonesia mencatat bahwa sejak Januari hingga pertengahan Desember 2015 terdapat sedikitnya 5.000 kasus perdagangan satwa liar secara daring.
Jumlah satwa liar yang diperdagangkan daring itu meningkat cukup banyak dibandingkan dengan data tahun 2014, yakni tercatat sedikitnya ada 3.640 iklan di media sosial yang menawarkan berbagai jenis satwa liar. Jumlah itu belum termasuk perdagangan konvensional yang dijual di pasar-pasar.
Penelitian populasi
Metodologi bioakustik bisa digunakan untuk berbagai macam penelitian, salah satunya untuk mengukur populasi satwa. Cara itu, yang kemudian dikolaborasi dengan metodologi penelitian lainnya, telah dilakukan di Kalimantan Tengah khususnya di bentang alam Rungan untuk menghitung populasi orangutan. Penelitian dilakukan Borneo Nature Foundation (BNF) yang telah melakukan lebih dari 20 ekspedisi sejak 2017 sampai 2018.
Hasilnya, kawasan bentang alam Rungan yang luasnya mencapai 155.000 hektar terdapat sedikitnya 3.000 individu orangutan. Namun, sayang, orangutan tersebut lebih banyak tinggal di kawasan bukan lindung, seperti hutan produksi, area penggunaan lain, dan bahkan di kawasan pemegang izin konsesi, seperti hutan tanaman industri (HTI), hak pengusahaan hutan (HPH), dan perkebunan sawit.
”Untuk membuat strategi konservasi yang baik, perlu diintegrasikan berbagai jenis penelitian ini dengan melibatkan semua sektor, termasuk swasta,” kata Direktur Pelaksana BNF Bernat Ripoll.
Penelitian tersebut, lanjut Bernat, membuktikan bahwa populasi orangutan terbesar di bentang alam Rungan berada di luar kawasan lindung. Kondisi ini mengancam keberlangsungan hidup orangutan karena negara, para pemegang izin, dan pemilik kawasan tidak menyiapkan kawasan tersebut dengan baik.
Namun, aturan yang ada sudah mewajibkan perusahaan atau pemegang izin untuk membentuk kawasan high conservation value (HCV) sebelum melakukan pembukaan lahan.