Muda, Beda, dan Berkasidah
Konser Nasida Ria, grup kasidah legendaris asal Semarang, diapresiasi warganet. Musik ini ternyata banyak digandrungi sekaligus ditekuni anak-anak muda. Bagi mereka, kasidah itu keren.
Video konser Nasida Ria, grup kasidah legendaris asal Kota Semarang di Kassel, Jerman, belakangan banyak diapresiasi di media sosial. Di antara genre lain, musik religi ini terus menggamit penggemar muda dan eksis lewat regenerasi.
Rampak bunyi rebana, darbuka, ketipung, dan tamborin mengiringi cengkok vokal Saniya (21) berdendang tembang ”Ya Khoiro Hadi”. Musik kasidah itu membahana di antara deras hujan di kompleks Universitas PGRI Semarang, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (23/6/2022) malam.
Bagi Saniya, kasidah bukan barang baru. Sejak balita, telinga Saniya akrab dengan kasidah karena musik jenis itu sering diputar di rumahnya. Kebiasaan itu yang membuat mahasiswi Jurusan Pendidikan Matematika Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) itu jatuh cinta pada kasidah.
”Dulu waktu SMA pernah ikut kegiatan kasidah di kampung. Karena masih ingin terus mengasah kemampuan berkasidah, saya pun ikut unit kegiatan mahasiswa RNA selama kuliah,” kata Saniya, asal Kota Salatiga, Jawa Tengah.
Adapun RNA atau Rebana Nurul Asatid (RNA) adalah unit kegiatan mahasiswa di bidang seni kasidah di UPGRIS. Bersama RNA, Saniya sudah puluhan kali pentas dari satu panggung ke panggung lain. Meski belia, jam terbang mereka terbilang lumayan. Dari Brebes, Tegal, Semarang, Jepara, hingga Rembang.
Ibu saya langsung menyemangati saya ikut audisi. Setelah ikut, saya pun lolos. Rasanya senang sekali.
Kecintaan pada kasidah, musik bergenre religi, sejak belia juga sudah tertanam dalam diri Makhi (21), mahasiswi Jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah Institut Agama Islam Negeri Pekalongan. Sejak SD, warga Kecamatan Wiradesa, Kabupaten Pekalongan, itu rajin berlatih menyanyi, khusunya lagu-lagu kasidah. Seperti Saniya, Makhi jatuh cinta pada musik kasidah yang hampir saban hari menggema di rumahnya.
Meski demikian, Makhi awalnya tak terpikir berkarier di dunia musik kasidah. Hingga suatu hari pada tahun 2014, dirinya mendengar pengumuman di sebuah radio lokal. Nasida Ria, kelompok kasidah legendaris asal Kota Semarang yang diidolakan Makhi, menggelar audisi untuk mencari bintang-bintang baru. ”Ibu saya langsung menyemangati saya ikut audisi. Setelah ikut, saya pun lolos. Rasanya senang sekali,” ujar Makhi, dihubungi melalui sambungan telepon, Jumat (24/6/2022).
Setelah dinyatakan lolos audisi, Makhi tak langsung bergabung dengan Nasida Ria. Ia harus menunggu sekitar empat tahun. Hingga pada 2019, salah seorang pemimpin Nasida Ria datang ke rumahnya untuk menawarinya bergabung dengan Ezzura, kelompok kasidah ”yunior” Nasida Ria.
Tanpa pikir panjang, Makhi langsung setuju. Bersama 11 orang lainnya, Makhi dilatih mengasah vokal dan kemampuan memainkan alat musik pendukung kasidah, seperti rebana, kendang, tamborin, seruling, mandolin, gitar, bas, kibor, dan biola.
Sejak bergabung dengan Ezzura, Makhi sudah ratusan kali manggung. Setelah jam terbangnya dianggap cukup tinggi, dia pun diberi kesempatan pentas sebagai personel generasi keempat Nasida Ria. Hingga kini, Makhi tercatat sudah belasan kali berpentas dengan Nasida Ria, termasuk pada acara pembukaan Documenta Fifteen di Kassel, Jerman, Sabtu (18/6/2022).
Dalam acara tersebut, Nasida Ria membawakan sepuluh lagu. Tiga di antaranya dinyanyikan Makhi, yakni ”Perdamaian”, ”Bom Nuklir”, dan ”Pantun Gembira”. ”Pengalaman ini enggak akan saya lupakan seumur hidup. Deg-degan, tapi juga senang banget bisa pentas di luar negeri bersama Nasida Ria untuk pertama kali,” ujarnya.
Menjalani kuliah sambil berkarya di bidang musik kasidah diakui Makhi tak mudah. Ada perjuangan agar keduanya bisa berjalan seiring. Kebetulan, Nasida Ria dan Ezzura lebih banyak berlatih dan pentas di akhir pekan. Itu membantu Makhi dan anggota lain yang masih berkuliah atau bersekolah agar tetap bisa ikut.
Baca juga : Hati Gembira dan Hidup Lebih Lama dengan Musik
Relevan
Kecintaan para belia pada musik kasidah menjadi fenomena saat sebagian milenial cenderung suka pada genre pop, rock, jazz, folk, atau K-pop. Fathul Amin (23), misalnya. Kegandrungannya pada musik kasidah disebut karyawan swasta asal Jakarta Timur, DKI Jakarta, itu bermula sejak dirinya berusia lima tahun.
”Anak umur lima tahun biasanya, kan, suka kartun. Saya justru senang musik-musik kasidah. Kalau pas ikut ibu ke pasar, saya selalu minta dibelikan kaset-kaset kasidah, terutama Nasida Ria. Saya enggak tahu persis kenapa bisa begitu,” ucap Fathul.
Bahkan, meski tahu beberapa lagu kasidah, keluarga Fathul pun tak sefanatik dirinya. Sejak punya kaset-kaset Nasida Ria, saban hari, Fathul tak pernah absen memutarnya. Seiring waktu, koleksi kaset-kaset kasidahnya kian banyak. Ia punya 36 album lengkap Nasida Ria. Itu belum termasuk album kompilasi dan top hits Nasida Ria lainnya. Di rumahnya juga terpampang sejumlah foto, poster, hingga kalender-kalender Nasida Ria.
”Beranjak dewasa, saya baru menyadari alasan saya ngefans Nasida Ria. Mereka itu keren. Isinya perempuan-perempuan keren yang punya kemampuan musik luar biasa. Satu personel bisa menguasai hingga lebih dari tiga alat musik. Lagu-lagunya bagus semua, related (berkaitan) banget sama saya sampai sekarang,” katanya.
Dari Nasida Ria pula, Fathul termotivasi belajar alat musik. Secara otodidak, Fathul kini bisa bermain suling, kibor, dan biola. Dia pun tergabung dalam sebuah kelompok penggemar Nasida Ria, yakni Sobat Nasida Ria, sejak 2012.
Sebagai die-hard fans, Fathul getol menonton pentas-pentas Nasida Ria. Pentas pertama yang ditonton, tahun 2012 di Jakarta Utara. Kala itu ia masih SMP. Ia mengenang, awalnya ia bertekad berangkat sendiri. Namun, karena jadwal tampil Nasida Ria malam, kakaknya tidak tega. Ia pun diantar dengan sepeda motor.
”Sejak itu, kalau Nasida Ria pentas di sekitar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, saya selalu nonton. Selain ingin bertemu bunda-bunda Nasida Ria, saya ingin memberikan dukungan dengan datang langsung,” katanya.
Baca juga : Konser Musik Bersemi Kembali
Selain mendengarkan lagu-lagu Nasida Ria, Fathul juga gemar menyimak lagu-lagu kelompok lain, seperti Ezzura, Nida Ria, dan El Hawa. Mewakili anak muda penggemar kasidah lain, ia meyakini eksistensi musik itu tak akan lekang oleh waktu.
Road Manager Nasida Ria, Zuhad Mahdi, mengatakan terus mengupayakan regenerasi pada Nasida Ria yang tahun ini berumur 47 tahun melalui kelompok-kelompok penerusnya, yakni Ezzura dan Qasidah Tanpa Nama (QTN). Awalnya, orang-orang yang berminat belajar kasidah direkrut menjadi anggota QTN. Mereka diasah kemampuannya dengan diikutkan les vokal dan bermain alat musik. Setelah mumpuni, mereka bisa ”naik kelas” menjadi personel Ezzura, lalu Nasida Ria.
Riset berjudul ”Eksistensi Grup Musik Kasidah Nasida Ria Semarang dalam Menghadapi Modernisasi” oleh Umi Cholifah dalam jurnal Komunitas Universitas Negeri Semarang (2011) menunjukkan, Nasida Ria tetap eksis karena masih tampil baik di televisi maupun berbagai acara. Namun, inovasi dan pemanfaatan teknologi informasi dibutuhkan agar musik kasidah terus relevan dengan khalayaknya.