Jelang Idul Adha, Hewan Kurban di Surabaya Terindikasi Sakit
Pemerintah Kota Surabaya perlu meningkatkan pengawasan terhadap lalu lintas dan penjualan hewan kurban yang kian intens jelang Idul Adha untuk mencegah potensi wabah penyakit mulut dan kuku memburuk.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO, AGNES SWETTA PANDIA
·4 menit baca
Warga melihat sapi kurban yang didatangkan dari Kabupaten Kediri yang dijual di daerah Semolowaru, Kota Surabaya, Jawa Timur, Jumat (24/6/2022). Menyambut Idul Adha, para penjual hewan kurban dari luar kota mulai berdatangan ke Kota Surabaya. Penjualan hewan kurban berlangsung di tengah serangan penyakit mulut dan kuku (PMK). PMK kini telah menyebar ke 215 kabupaten/kota di 19 provinsi di Indonesia.
SURABAYA, KOMPAS — Tim kesehatan hewan Surabaya, Jawa Timur, menemukan setidaknya 10 sapi yang sedang dijual untuk Idul Adha terindikasi terserang penyakit mulut dan kuku (PMK) yang sedang mewabah. Penjualan hewan kurban kian marak dan tidak bisa dilarang karena hari raya mendekat. Namun, protokol ketat perlu dilaksanakan untuk mencegah wabah PMK meluas di Surabaya.
Penjualan hewan kurban, terutama sapi dan kambing, kian marak karena Idul Adha yang diperkirakan jatuh pada 9 Juli 2022 tersisa kurang dari dua pekan.
Di Surabaya, penjualan hewan kurban diatur secara ketat karena situasi di Jatim masih darurat wabah PMK. Protokol yang secara ketat dilaksanakan itu, antara lain, pemeriksaan menyeluruh terhadap hewan kurban yang sedang dijual.
Lokasi penjualan hewan kurban mulai bermunculan di sepanjang Jalan Ir Soekarno (MERR), Jalan Gayungsari, serta beberapa permukiman, perumahan, dan jalan protokol. Paling tidak saat ini, menurut Kepala Dinas Ketanahan Pangan dan Pertanian Kota Surabaya Antiek Sugiharti, ada 15 lokasi penjualan hewan kurban.
Dari pemeriksaan dua hari ini atau sampai Rabu (29/6/2022), tim Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Surabaya menemukan 10 sapi dalam kondisi sakit di lokasi penjualan hewan kurban.
Di kawasan lingkar tengah timur (MERR), tim memeriksa 69 sapi dan 139 kambing. Di sini, terlihat 5 sapi terindikasi sakit. Di Kelurahan Ploso diperiksa 181 sapi dan ditemukan 5 sapi di antaranya diduga sakit.
Antiek mengatakan, sakit yang dialami oleh sapi-sapi yang diperiksa itu memperlihatkan gejala PMK, yaitu hipersativasi atau mengeluarkan air liur berlebih dan berbusa sehingga tumpah ke lantai kandang. Selain itu, terus berbaring atau lesu dan lemah.
Adapun ciri umum ternak terkena PMK ialah demam tinggi, lendir berlebih dari mulut dan berbusa, serta terdapat luka seperti sariawan pada rongga mulut dan lidah. Ternak kehilangan nafsu makan, pincang, luka pada kaki, kuku lepas, sulit berdiri, gemetar, napas cepat, kurus, dan atau produksi susu anjlok.
Mengisolasi
Antiek melanjutkan, tim segera mengisolasi hewan yang sakit dalam kandang berbeda. Selanjutnya, sapi-sapi yang sakit diberi vitamin dan obat agar segera pulih. Hewan yang sakit juga dicatat, dipantau perkembangan kesehatannya, dan tidak boleh dijual sampai dinyatakan sehat. Hewan dan kawasan penjualan disemprot disinfektan.
”Tim juga menemukan sejumlah hewan kurban yang sakit, tetapi bukan indikasi PMK,” katanya. Ada sapi dan kambing yang terlihat lesu karena kehilangan nafsu makan atau diare.
Jika bukan karena PMK, sakit yang dialami hewan kurban itu mungkin terkait dampak perjalanan jauh dari daerah asal ke Surabaya dan perbedaan cuaca serta situasi lingkungan.
Menurut Antiek, pemeriksaan terhadap hewan kurban yang sedang dijual menjadi keharusan untuk menekan risiko wabah PMK meluas. Di Surabaya, semua ternak yang dijual harus dalam kondisi sehat.
Penjual harus dapat memperlihatkan surat keterangan kesehatan hewan atau surat veteriner dari daerah asal yang menyatakan kondisi ternak sehat atau tidak terkena PMK.
Meski demikian, tim di Surabaya tetap memeriksa kembali ternak yang sudah ada SKKH itu. Pengecekan kembali untuk memastikan ternak yang dijual memang sehat sekaligus memenuhi protokol pencegahan wabah PMK.
Tim juga menemukan sejumlah hewan kurban yang sakit, tetapi bukan indikasi PMK. (Antiek Sugiharti)
Penjual hewan kurban harus mendapat izin lokasi dari lurah dan camat serta rekomendasi dari DKPP. Penjual harus mematuhi sejumlah syarat, misalnya hewan tidak boleh berdesakan di kandang, menyediakan kandang khusus isolasi/karantina, dan sistem sterilisasi, yakni penyemprotan hewan, kandang, kendaraan operasional, dan kotoran ternak.
”Hewan yang dinyatakan sehat mungkin saja ketika tiba di Surabaya menjadi sakit sehingga harus dipisah, dipantau, dan diberi vitamin serta pakan yang baik,” kata Antiek. Jika kemudian diperiksa ternyata tidak kena PMK, ternak-ternak yang telah sehat itu dapat dijual kepada konsumen guna kepentingan Idul Adha.
Secara terpisah, Direktur Utama Perusahaan Daerah Rumah Potong Hewan Surabaya Fajar Isnugroho mengatakan, situasi wabah PMK masih gawat di Jatim. Namun, dengan protokol yang ketat, wabah bisa tidak akan mengganggu ketersediaan daging, terutama hasil penyembelihan di RPH. Semua ternak yang akan disembelih di RPH harus memiliki SKKH dan diperiksa kembali kesehatannya.
”Jika ada yang terindikasi kena PMK tidak akan disembelih,” kata Fajar. Protokol sterilisasi juga dilaksanakan di RPH, yakni penyemprotan terhadap hewan yang datang, kendaraan angkut, kru, dan seluruh petugas penyembelihan.
Dari laman resmi https://siagapmk.id/, wabah paling gawat menerjang Jatim. Wabah telah menyerang 38 kabupaten/kota atau seluruh wilayah provinsi berpopulasi sapi potong, sapi perah, kerbau, kambing, dan domba terbanyak se-Indonesia.
Di Jatim, wabah telah menyerang 115.478 ternak mayoritas sapi. Wabah mengakibatkan kematian 635 ternak dan 877 ternak dipotong bersyarat.
Di Surabaya, kasus PMK sejauh ini ditemukan pada 34 sapi dan semuanya telah sembuh. Ibu kota Jatim memang bukan sentra budidaya sapi, tetapi menerima pasokan ternak atau daging yang terbesar di Jatim.
Dari Surabaya, ternak atau daging dikirim untuk memenuhi kebutuhan daerah lain di Indonesia. Situasi PMK di Surabaya terendah ketiga sementara ini. Yang terendah ialah Kota Mojokerto (2 kasus) dan Kabupaten Madiun (28 kasus).