Merdeka Energi dengan Kotoran Sapi di Pelosok Limpung
Peralihan energi konvensional menuju energi baru terbarukan terus dipacu. Di Jateng, sejumlah desa berupaya menjadi desa mandiri energi dengan cara memanfaatkan energi potensial di sekitarnya, seperti kotoran sapi.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·6 menit baca
Seruan beralih dari energi konvensional menjadi energi baru terbarukan, belakangan kian masif, termasuk di Jawa Tengah. Sumber energi seperti air, angin, panas bumi, panas laut, ombak, hingga biogas dianggap lebih ramah terhadap bumi, serta berkelanjutan. Ikhtiar merdeka energi pun digapai.
Aroma wangi bumbu tumis menguar dari sebuah dapur warga di Desa Wonokerso, Kecamatan Limpung, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Rabu (29/6/2022) pagi. Di dapur itu, Roziatun (43), sedang menumis kulit melinjo. Makanan itu adalah yang ketiga dimasak setelah sebelumnya membuat sayur sop dan bacem tahu. Bahan bakar memasaknya bukan elpiji, melainkan energi biogas dari kotoran sapi.
Biogas adalah energi yang dihasilkan dari limbah organik, salah satunya kotoran ternak. Sudah tiga bulan terakhir, Roziatun mencoba beralih dari gas elpiji ke biogas. Biogas yang dipakai untuk bahan bakar kompor-kompor Roziatun itu berasal dari kotoran empat ekor sapi yang dipelihara keluarganya.
Memanfaatkan biogas juga membuatnya mampu berhemat. Sebelum beralih, ibu tiga anak itu perlu sekitar tiga tabung elpiji ukuran 3 kilogram (kg) untuk memasak selama sebulan. Setelah memakai biogas, dalam sebulan, ia hanya membeli satu tabung gas elpiji 3 kg sekadar untuk cadangan. Cadangan disiapkan karena terkadang suami Roziatun yang sibuk bekerja di sawah tidak sempat mengisi biodigester dengan kotoran sapi.
"Mayoritas kebutuhan energi untuk memasak di keluarga kami dipenuhi pakai biogas. Sejak beralih ke biogas, uang untuk membeli gas elpiji jadi berkurang," kata Roziatun, saat ditemui, Rabu.
Biasanya, Roziatun mengeluarkan hingga Rp 66.000 per bulan untuk membeli tiga tabung elpiji ukuran 3 kg. Semenjak beralih ke biogas, ia hanya perlu mengeluarkan Rp 22.000 per bulan. Sisanya digunakan membeli lauk pauk atau keperluan lain.
Roziatun menuturkan, api dari biogas sama dengan yang dihasilkan elpiji. Bahkan, api dari biogas dinilainya lebih biru. Api warna biru membuat proses memasak lebih cepat, tetapi panci atau wajan tidak lekas gosong.
Saat Roziatun sedang sibuk memasak, sekitar tujuh meter dari rumahnya, Abdul Majid (51) sibuk membersihkan kandang yang didiami enam ekor sapi miliknya. Kotoran sapi lalu disisihkan di bagian pojok kandang. Selanjutnya, kotoran sebanyak 30 kg itu diangkut menggunakan angkong menuju biodigester untuk diproses menjadi biogas. Biogas kemudian dialirkan melalui selang-selang yang tersambung ke dapur-dapur rumah warga di sekitarnya.
Sama dengan keluarga Roziatun, sudah tiga bulan terakhir, keluarga Abdul beralih dari bahan bakar elpji ke biogas. Sebelumnya, keluarga Abdul memerlukan lima tabung gas elpiji setiap bulan. Tiga tabung elpiji untuk memasak dan dua tabung untuk pemanas air di kamar mandi. "Sejak tiga bulan lalu, kami cuma beli elpiji untuk kebutuhan pemanas air. Kalau untuk masak, semuanya pakai biogas," tuturnya.
Abdul tidak mau merasakan untung sendirian. Ia pun menyalurkan biogas dari kotoran sapi miliknya untuk tiga tetangganya. Semua diberikan cuma-cuma.
Sebelumnya, Abdul tidak tahu bahwa kotoran sapi bisa dimanfaatkan sebagai energi alternatif. Ia hanya memanfaatkan kotoran sapi-sapinya untuk pupuk. Kini, kotoran sapi-sapinya itu bisa dimanfaatkan untuk energi alternatif sekaligus pupuk.
"Kotoran sapi yang diolah di biodigester itu tidak hanya jadi biogas, tetapi juga bisa menghasilkan cairan. Nah cairan itu yang bisa dipakai juga sebagai pupuk. Hasilnya bahkan lebih baik daripada kotoran sapi yang langsung digunakan, tanpa diproses dulu di biodigester," ucap Abdul.
Dalam satu kali masa tanam, Abdul butuh sekitar satu kuintal pupuk tambahan selain kotoran sapi untuk menanam padi di lahan seluas 1.200 meter persegi miliknya. Untuk membeli satu kuintal pupuk tambahan tersebut Abdul harus mengeluarkan sekitar Rp 200.000. Kini, ia hanya menggunakan pupuk cair dari biodigester saja tanpa pupuk tambahan.
Roziatun dan Abdul merasa bersyukur karena mendapat keuntungan dari program pengolahan kotoran sapi menjadi biodigester. Ia berharap, seluruh warga di Desa Wonokerso juga turut beralih menggunakan energi biogas yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Potensi ternak
Pogram pengolahan kotoran sapi menjadi biogas di desa yang berjarak sekitar 85 kilometer arah barat pusat Kota Semarang tersebut merupakan hasil pendampingan Pemerintah Provinsi Jateng melalui Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Menurut Kepala Desa Wonokerso, Muhamidin, Dinas ESDM Jateng melihat potensi pengembangan biogas karena di desanya cukup banyak peternak sapi.
"Peternak sapi di sini cukup banyak, sekitar 35 orang dalam satu desa. Masing-masing memiliki sapi mulai dari satu hingga sembilan ekor. Untuk total populasi sapi lebih dari 100 ekor," kata Muhamidin.
Menurut dia, program pendampingan pemanfaatan biogas dari Dinas ESDM Jateng dimulai tahun 2021. Mulanya, warga diberi edukasi terkait cara pengolahan kotoran sapi menjadi biogas. Setelah paham, pembuatan biodigester beserta instalasi pipa penyalur biogas mulai dilakukan. Seluruhnya dibiayai Dinas ESDM Jateng. Hingga kini, sudah ada dua unit biodigester dioperasikan. Penerima manfaat dari program ini sekitar sepuluh rumah tangga.
Program pemanfaatan biogas Dinas ESDM Jateng dimulai tahun 2021. Mulanya, warga diberi edukasi terkait cara pengolahan kotoran sapi menjadi biogas. Setelah paham, pembuatan biodigester beserta instalasi pipa penyalur biogas mulai dilakukan.
Untuk selanjutnya, jumlah biodigester di Desa Wonokerso akan terus ditambah. Setelah melihat tetangga yang sudah memanfaatkan, banyak peternak tertarik mengolah kotoran ternaknya menjadi biogas dan pupuk cair. Hal ini disebut Muhamidin sebagai upaya Desa Wonokerso menjadi desa mandiri energi.
"Kalau soal biaya, nanti bisa dengan iuran warga yang berminat. Untuk satu unit biodigester ukuran enam meter kubik misalnya, perlu biaya sekitar Rp 18 juta," imbuh Muhamidin.
Antusiasme warga Desa Wonokerso itu sejalan dengan semangat Pemerintah Provinsi Jateng dalam mewujudkan peralihan energi dari energi konvensional menjadi energi baru terbarukan. Dalam berbagai kesempatan, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo mengungkapkan tingginya potensi energi baru terbarukan di wilayahnya.
"Pelan-pelan kita harus mulai meninggalkan energi fosil. Kita harapkan ada satu proses percepatan untuk mewujudkannya. Gas alam kita banyak, di Jateng bahkan ada gas rawa yang bisa digunakan oleh masyarakat dan sangat aplikatif," kata Ganjar.
Untuk mewujudkan penggunaan energi baru terbarukan, Ganjar telah menerbitkan Peraturan Daerah Provinsi Jateng Nomor 12 Tahun 2018 yang mengatur Rencana Umum Energi Daerah. Di dalam peraturan itu, dijelaskan terkait peran pemerintah dan masyarakat dalam mewujudkan transisi menuju energi yang lebih ramah lingkungan. Target-target bauran energi baru terbarukan juga diatur. Pada 2025 misalnya, Jateng menargetkan penggunaan energi baru terbarukan mencapai 21,32 persen.
Secara terpisah, Kepala Dinas ESDM Jateng Sujarwanto Dwiatmoko menuturkan, ada dua strategi yang akan ditempuh Pemprov Jateng guna mencapai target bauran energi baru terbarukan tersebut. Strategi pertama adalah menggencarkan kampanye hemat energi kepada masyarakat dan pelaku usaha. Mereka yang dianggap berhasil menggunakan energi secara efisien akan diberi apresiasi dan penghargaan.
"Strategi kedua adalah menjelaskan potensi-potensi energi kepada masyarakat. Setelah itu, kita bisa melatih masyarakat untuk memanfaatkan energi baru terbarukan sesuai dengan potensi yang ada di sekitar mereka," kata Sujarwanto.
Di samping itu, pihaknya juga terus mendorong masyarakat perdesaan untuk berpartisipasi dalam peralihan energi melalui program Desa Mandiri Energi. Hingga kini, sudah ada sekitar 2.300 dari 8.000 lebih desa yang sudah menginisiasi menjadi desa mandiri energi di Jateng.
Sinergi warga bersama pemerintah dan swasta perlu terus didorong untuk mengoptimalkan potensi-potensi energi terbarukan di lingkungan sekitar. Dengan kemandirian energi, warga desa diharapkan lebih berdaya mengantisipasi krisis energi yang belakangan kian menghantui peradaban dunia.