Investasi ekonomi hijau terus didorong di Jateng melalui sejumlah upaya. Selain lebih ramah lingkungan, investasi ini dinilai membawa keuntungan jangka panjang. Infrastruktur pendukung akan disiapkan.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·4 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Tren investasi di Jawa Tengah masih didominasi oleh sektor industri pengolahan serta sektor listrik, gas, dan energi. Ke depan, investasi akan mulai diarahkan menuju ekonomi hijau yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Dengan demikian, kesejahteraan yang timbul dari investasi bisa dirasakan hingga jangka panjang.
Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Jateng mencatat, sepanjang tahun 2021, penanaman modal dalam negeri (PMDN) di wilayahnya mencapai Rp 31,31 triliun. Angka ini tumbuh 2,30 persen dari PMDN tahun 2020. Sementara itu, penanaman modal asing (PMA) mencapai Rp 21,24 triliun atau tumbuh 7,50 persen dari tahun sebelumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa para investor mulai merealisasikan investasinya di Jateng, seiring dengan iklim investasi yang kondusif dan perekonomian yang mulai membaik.
Tahun ini, target nilai investasi, baik dari segi PMDN maupun PMA di Jateng ditargetkan sebesar Rp 65,54 triliun. Untuk mewujudkan hal tersebut, Pemerintah Provinsi Jateng akan memberikan pendampingan dan menawarkan kemudahan-kemudahan bagi para investor.
”Dari sisi perizinan akan lebih mudah, cepat dan tidak berbelit-belit. Tidak hanya cukup dengan menunggu, kalau perlu kita jemput mereka karena kita butuh. Selain itu, Pemerintah Provinsi Jateng juga akan memaksimalkan kawasan ekonomi khusus, kawasan industri terpadu, dan beberapa kawasan industri lain untuk memfasilitasi calon investor,” kata Sekretaris Daerah Jateng Sumarno, seusai mengikuti Central Java Investment Business Forum di Kota Semarang, Selasa (7/6/2022).
Kepala DPMPTSP Jateng Ratna Kawuri menuturkan, untuk PMA, investasi yang masuk didominasi dari sektor energi, tekstil, dan alas kaki. Sementara itu, PMDN didominasi sektor transportasi, akomodasi, dan industri makanan. Ke depan, investasi akan mulai diarahkan menuju sektor ekonomi hijau.
Investasi ekonomi hijau yang dimaksud adalah investasi bagi sektor industri yang tidak menyebabkan kerusakan lingkungan. Biasanya, kegiatan dari industri hijau ini sirkular atau tidak menyisakan sampah.
”Tantangannya adalah menyiapkan ekosistem investiasinya. Selain itu juga perlu adanya kesiapan infrastruktur, daya dukung sumber daya alam, dan sumber daya manusianya,” ujar Ratna.
Untuk memantapkan kesiapan menyambut ekonomi hijau dan ekonomi sirkular, Bank Indonesia Jateng menyelenggarakan investment challenge. Dalam kegiatan yang diikuti seluruh kabupaten/kota se-Jateng tersebut, lima peserta dengan konsep investasi ekonomi hijau terbaik akan didampingi dalam membuat proposal hingga menjadi proyek.
Tantangannya adalah menyiapkan ekosistem investasinya. Selain itu juga perlu adanya kesiapan infrastruktur, daya dukung sumber daya alam, dan sumber daya manusianya.
Peserta yang terpilih antara lain, dari Kota Tegal dengan program pengolahan limbah B3, Kota Pekalongan dengan program technopark perikanan, Banjarnegara dengan industri mocaf, Boyolali dengan industri pengolahan ikan lele, dan Jepara dengan industrialisasi garam. ”Nantinya, mereka diharapkan mampu mendorong kepeminatan dan realisasi investasi, serta meningkatkan kesiapan Jateng dalam menyambut green and circular economy untuk perekonomian yang inklusif dan berkesinambungan,” kata Kepala Perwakilan Bank Indonesia Jateng Rahmat Dwi Saputra.
Transformasi menuju ekonomi hijau tak hanya untuk meningkatkan ekonomi dan mata pencarian jangka pendek, tetapi juga menciptakan kesejahteraan yang lebih panjang dan berkelanjutan. Hasil simulasi Bappenas, ekonomi hijau dapat menciptakan peluang kerja baru, terutama di sektor energi baru terbarukan. Dari kegiatan energi baru terbarukan dan restorasi lahan gambut dapat menciptakan 103.000 pekerjaan setiap tahun. Satu pekerjaan per megawatt di sektor batubara setara dengan 10 pekerjaan per megawatt di sektor energi surya (Kompas.id, 19/2/21).
Pelaku usaha
Kesiapan beralih ke ekonomi hijau juga diungkapkan para pelaku usaha di Jateng. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Kota Semarang Dedi Mulyadi berharap pemerintah turut membantu proses peralihan menuju ekonomi hijau dan sirkuler dengan menyiapkan regulasi khusus.
”Sampai saat ini belum ada regulasi, peta jalan, ataupun peraturan-peraturan daerah ramah lingkungan yang mendukung pelaku usaha agar beralih ke ekonomi hijau. Kita sudah tertinggal dibandingkan negara lain, seperti Bangladesh yang sudah memiliki 147 perusahaan yang benar-benar hijau. Tetangga yang lain, Vietnam, juga sudah mulai beralih karena buyer-buyer dari luar (negeri) itu menuntut komoditas yang kita ekspor harus produk dari ekonomi hijau dan sirkular,” ucap Dedi.
Menurut Dedi, para pembeli dari luar negeri rata-rata menginginkan agar produsen di Indonesia beralih ke energi baru tebarukan. Caranya dengan mengganti energi fosil, seperti batubara menjadi gas. Pada tahun 2024, pabrik-pabrik juga diharuskan menggunakan energi matahari, minimal 20 persen dari total kebutuhan energi di pabrik.
Untuk beralih menggunakan energi gas, harus ada infrastruktur tambahan yang bisa menyuplai gas ke titik-titik yang membutuhkan. Sementara itu, untuk memakai energi matahari, perlu ada pengecekan kekuatan atap-atap pabrik dalam menopang panel-panel surya. Jika tidak layak, harus ada penggantian atap. ”Dalam kondisi ini, kami mengharapkan adanya subsidi atau keringanan kepada pemerintah, misalnya dalam keringanan pajak,” imbuhnya.