Ketimpangan antara Inklusi dan Literasi Keuangan Masih Tinggi
Maraknya penawaran produk jasa keuangan di platform digital membuat inklusi keuangan Indonesia meningkat pesat. Hanya saja, kondisi ini belum dibarengi peningkatan literasi keuangan.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Maraknya penawaran produk jasa keuangan dalam platform digital membuat inklusi keuangan Indonesia meningkat pesat. Hanya saja, kondisi ini belum dibarengi peningkatan literasi keuangan. Hal itu dikhawatirkan akan membuat masyarakat dirugikan, terutama di kawasan perdesaan yang belum terakses sinyal.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso dalam acara peresmian gedung Otoritas Jasa Keuangan Regional VII Wilayah Sumatera Selatan, Senin (27/6/2022), menyebut keberadaan platform digital mendongkrak inklusi keuangan atau ketersediaan akses pada lembaga, produk, dan layanan jasa keuangan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat di Indonesia.
Saat ini jumlah warga yang menggunakan jasa produk keuangan di Indonesia mencapai 75 persen. Jumlah itu ditargetkan akan meningkat menjadi 90 persen pada tahun 2024. Peningkatan dipengaruhi oleh banyaknya produk jasa keuangan yang beredar di platform digital melalui gawai yang digunakan masyarakat.
Hanya saja, peningkatan ini belum dibarengi dengan literasi keuangan masyarakat yang saat ini masih sekitar 35 persen. Kondisi ini tentu akan sangat berbahaya mengingat bisa saja warga dirugikan.
Wimboh mengambil contoh penggunaan jasa pinjaman daring dan kripto. Banyak masyarakat yang tidak paham apakah pinjaman yang berada di media sosial itu legal atau tidak. Bahkan, banyak di antara nasabah yang merasa terancam karena terus ditagih dengan bunga yang tinggi. ”Kasus seperti ini banyak dilaporkan ke OJK,” ucapnya.
Mengantisipasi hal ini, Wimboh berharap agar calon nasabah lebih jeli dalam memilih produk jasa keuangan, terutama legalitas dari penyedia produk keuangan tersebut. ”Silakan mengakses website OJK. Jika produk keuangan tersebut tidak terdaftar, jangan gunakan,” ujarnya.
Selain itu, warga juga diharapkan tidak semata-mata percaya dengan produk jasa keuangan tersebut hanya karena menyematkan logo OJK. ”Belum tentu mereka yang menyematkan logo OJK itu legal. Jadi, harus benar-benar di periksa ke situs OJK,” ujarnya.
Jika memang ada yang merasa dirugikan dan tahu bahwa lembaga keuangan itu ilegal, dia mengimbau agar tidak membayar pinjaman. ”Kalau perlu laporkan saja ke OJK atau aparat penegak hukum. Saat ini OJK sudah berkoordinasi dengan aparat penegak hukum untuk memberantas pinjol ilegal agar tidak meresahkan masyarakat,” ucap Wimboh.
Belum tentu mereka yang menyematkan logo OJK itu legal. Jadi, harus benar-benar di periksa ke situs OJK. (Wimboh Santosa)
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru dalam sambutannya mengatakan, sampai saat ini belum semua warga di Sumatera Selatan melek produk lembaga keuangan. ”Jangankan literasi keuangan, masih ada warga Sumsel yang belum memiliki rekening,” ucapnya.
Herman mengatakan, inklusi keuangan di Sumatera Selatan sudah tergolong tinggi, sekitar 84 persen, bahkan lebih tinggi dari angka nasional, yakni 75 persen. Namun, data ini jangan membuat OJK dan lembaga keuangan berpuas diri. Karena, menurut Herman, ketika warga tidak memiliki akses ke perbankan, tentu akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut.
Herman mencontohkan anjungan tunai mandiri saja belum merata ke setiap daerah. Hal ini tentu akan menyulitkan warga dalam upaya meningkatkan taraf perekonomian mereka, termasuk upaya untuk mendapatkan bantuan permodalan dari perbankan.
Belum lagi banyaknya penawaran produk jasa keuangan yang berlalu-lalang di media sosial. Jika masyarakat tidak dibekali dengan literasi keuangan yang memadai, tentu mereka riskan menjadi korban penipuan.
Banyak yang tertarik untuk menggunakan produk jasa keuangan itu karena banyak orang yang tak sabar untuk menjadi kaya. ”Itu memang sudah kodrat. Namun, karena tidak dibekali literasi keuangan yang baik, mereka pun bangkrut,” ucap Herman.
Untung Nugroho, Kepala OJK Regional 7 Sumatera Bagian Selatan, mengakui, saat ini literasi keuangan di Sumsel masih rendah, yakni 40 persen. Warga hanya menggunakan produk keuangan, tetapi belum paham mengenai produk keuangan itu sendiri. ”Memang (literasi keuangan) Sumsel lebih tinggi dari literasi keuangan nasional yang sebesar 35 persen, tapi tetap saja rendah,” ujarnya.
Hal ini terlihat dari kebiasaan warga untuk menggunakan jasa keuangan tanpa membaca terlebih dahulu perjanjian kerja samanya. ”Jangan asal tanda tangan saja dan langsung ambil kreditnya, tetapi pahami dulu perjanjian kerja samanya,” kata Untung.
Beruntung saat ini tingkat kredit bermasalah di Sumsel masih tergolong terkendali, yakni di bawah 2 persen. Dia berharap ke depan lembaga jasa keuangan juga lebih aktif dalam menyosialisasikan literasi keuangan kepada nasabahnya. ”Karena OJK tidak bisa bekerja sendiri,” ujar Untung.
Menggunakan produk jasa keuangan tanpa memahaminya akan sangat berbahaya karena bisa saja merugikan nasabah. Karena itu, ke depan, sosialisasi mengenai produk jasa keuangan harus ditingkatkan. ”Salah satunya dengan memanfaatkan media sosial dan media arus utama,” ujarnya.