Udang Ungkit Kehidupan Warga Pesisir Teluk Tomini
Pembudidaya tambak udang di pesisir Teluk Tomini, Kabupaten Parigi Moutong, Sulteng, menghadapi berbagai kendala. Butuh intervensi strategis agar usaha mereka makin berkembang.
Tambak udang tradisional di pesisir Teluk Tomini, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, menjadi pengungkit ekonomi warga untuk menggapai kesejahteraan. Usaha tersebut cukup menguntungkan. Namun, sejumlah kendala menghadang pembudidaya, seperti pasokan pupuk dan minimnya penerapan teknologi.
Usman (40) duduk santai bersama Bakri (47), temannya, di pondok, Sabtu (14/5/2022) siang. Ia beristirahat setelah menyemprotkan racun di tambaknya. Ia menyemprot racun di tambak (empang) yang sebagian besarnya kering agar tidak tumbuh rumput liar dan binatang lainnya yang bisa mengganggu tambak. ”Lahan masih diistirahatkan sebelum ditabur benur lagi,” ujar warga Desa Sejoli, Kecamatan Moutong, yang tambaknya terletak di Desa Sialopa, Kecamatan Moutong, Parigi Moutong, itu.
Usman mengistirahatkan lahan tambaknya setelah panen dua minggu lalu. Dari luas tambak 3,8 hektar, ia memanen 500 kilogram udang vaname. Total ia mengantongi Rp 27 juta dari penjualan udang tersebut. Dikurangi biaya produksi, antara lain, pembelian benur (udang anakan), racun, dan pupuk, bapak dua anak itu membungkus Rp 18 juta-Rp 20 juta.
Udang dijual dengan harga bervariasi tergantung ukuran (size). Udang dengan ukuran 100 ekor untuk 1 kilogram seharga Rp 43.000 per kg dan ukuran 80 ekor dengan harga Rp 47.000 setiap kg. Rata-rata masa pemeliharaan 2-3 bulan. Udang dijual kepada pengepul setempat untuk selanjutnya didistribusikan ke Palu, ibu kota Sulteng, atau Makassar, Sulawesi Selatan.
Dengan panen lima kali dalam dua tahun, Usman bisa mendapatkan Rp 100 juta. ”Dari usaha tambak, bisalah saya mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Saya memang fokus di tambak,” ujarnya.
Hampir separuh hidup Usman dihabiskan di tambak. Seiring waktu, Bapak dua anak tersebut sudah merasakan manfaat mengelola tambak. Dari tambak udang, ia bisa membangun rumah beton untuk keluarganya di Desa Sejoli. Rumah selesai dibangun tahun lalu. Rumah merupakan salah satu fokus Usman dalam beberapa tahun terakhir karena sebelumnya ia tinggal di pondok sekitar tambak.
Meskipun masih belum terlalu menguras tabungan, berkat usaha tambak juga anaknya, Aditia (14), tanpa khawatir duduk di bangku sekolah menengah pertama saat ini. Usman masih terus menyisihkan pendapatannya dari tambak untuk kelanjutan pendidikan anak sulungnya itu dan juga persiapan biaya pendidikan anak keduanya, Asmi (7).
Dari penjualan udang pula Usman bisa menambah aset. Tiga tahun lalu ia membeli lahan untuk ditanami cengkeh. Cengkeh yang ditanam di lahan seluas 2.500 meter persegi tersebut tumbuh baik. ”Alhamdullilah dari usaha tambak saya berkecukupan,” kata suami Asyiriani (36) itu.
Sekitar 1,5 kilometer dari tambak Usman, Rusli (35) di Desa Boloung Olonggata juga merasakan dampak positif usaha tambak udang. Tujuh tahun menggeluti tambak udang, Rusli cerah memandang masa depan. Ia telah menyiapkan dana pendidikan untuk kedua buah hatinya, Nur Hikmah (3) dan Mohammad Paik (2). ”Juga saya bersyukur dari usaha tambak bisa bantu orangtua di Gorontalo,” ujarnya.
Pada akhir April, Rusli memanen 800 kilogram udang dari 75.000 benur yang ditabur 2,5 bulan sebelumnya di tambak seluas 5 hektar. Dengan modal kerja sekitar 8 juta, Rusli mendulang Rp 28 juta. Untuk setahun, dengan musim tabur dua kali, bapak dua anak itu bisa mendapatkan Rp 56 juta.
Tambak udang vaname yang kadang ditabur bersamaan dengan ikan bandeng telah menjadi warna kehidupan ekonomi masyarakat pesisir Teluk Tomini di Parigi Moutong. Dari ujung timur Kecamatan Moutong hingga ke utara di Kecamatan Torue, tambak udang menyebar.
Baca juga: Perlambatan Produksi Udang Hambat Ekspor
Tak terhindarkan, mangrove menjadi tumbal pembangunan tambak tersebut. Namun, pada sejumlah tambak, mangrove masih tersisa sebagai benteng hidup antara pantai dan tambak.
Tambak udang dan ikan bandeng mulai digarap sejak 1974 di Parigi Moutong. Saat itu, tambak dikerjakan warga perantauan dari Provinsi Sulawesi Selatan di Desa Dolago, Kecamatan Parigi Selatan. Sejak saat itu, tambak terus meluas.
Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Parigi Moutong pada 2018, ada 7.118 hektar tambak yang dikelola warga secara tradisional. Tambak tersebut rata-rata memproduksi 500 kg udang vaname per hektar untuk satu siklus panen. Dari produksi 500 kg dan harga jual rata-rata Rp 45.000 per kilogram, satu musim panen berputar Rp 160 miliar dari empang di Parigi Moutong.
Berbagai kendala
Tentu proyeksi putaran uang Rp 160 miliar per siklus panen tidak selalu terwujud. Petambak tradisional bergelut dengan berbagai masalah dalam mengelola tambak, seperti ketersediaan pupuk dan sistem budidaya yang minim teknologi.
Usman, misalnya, harus memastikan terlebih dahulu ketersediaan pupuk sebelum menabur benur. Jika pupuk cukup, ia baru berani menabur benur. Dari produksi 500 kilogram udang, ia menghabiskan 10 karung pupuk (500 kg). Padahal, idealnya dibutuhkan 1 ton pupuk.
Kalau pupuk nonsubsidi, harganya Rp 300.000. Ini cukup berat untuk kami.
Pembudidaya membutuhkan pupuk untuk menumbuhkan pakan alami, yakni plankton atau mereka menyebutnya ”lumut”. Plankton merupakan makanan udang dan ikan. Pupuk yang dibutuhkan jenis urea dan terutama pupuk NPK. Petambak jarang menggunakan pakan industri.
Masalahnya, pupuk, terutama yang bersubsidi, sangat sulit didapat. Para petambak membeli pupuk subsidi secara kucing-kucingan dengan harga yang sudah melebihi batas. Dengan harga pupuk subsidi Rp 150.000 per karung, petambak membelinya Rp 160.000 per karung. Bahkan, ada pula yang nekat membeli hingga Rp 200.000 per karung. ”Kalau pupuk nonsubsidi, harganya Rp 300.000. Ini cukup berat untuk kami,” kata Bakri (47), petambak lainnya di Desa Sialopa.
Karena kebutuhan pupuk jauh dari ideal, petambak biasanya tidak menunggu lama untuk panen. Udang rata-rata dipanen paling lama tiga bulan atau dengan ukuran 80-100 ekor per kg. Bahkan, ada petambak yang menjual saat masih berumur 45 hari. Hal itu berpengaruh terhadap harga udang. Ukuran 80 ekor, misalnya, dijual Rp 47.000 per kg. Makin singkat masa produksi udang, harganya makin murah.
Kelangkaan pupuk itu pula yang memaksa petambak sangat berhati-hati menabur bibit bandeng. Masa panen bandeng yang bisa satu tahun tentu membutuhkan pupuk lebih banyak untuk menumbuhkan plankton.
Kendala ketersediaan pupuk diperunyam dengan masalah lainnya, yakni penyakit udang. Petambak masih bergelut dengan penyakit yang menyebabkan udang mati. Penyakit yang menyebabkan udang berwarna merah itu biasanya menyerang pada saat udang berumur 1 bulan. ”Dari berbagai kendala itu, rata-rata tak sampai separuh dari total benur yang ditabur hidup hingga dipanen. Ini yang kami minta diperhatikan pemerintah, terutama ketersediaan pupuk subsidi,” ujar Usman.
Baca juga: Tambak Udang Tradisional Plus Perlu Digenjot
Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan Parigi Moutong Made Kornelius mengakui kelangkaan pupuk subisidi untuk sektor perikanan (tambak). Hal itu buntut dari kebijakan nasional yang sejak 2021 tak lagi mengalokasikan pupuk subsidi untuk sektor perikanan.
Masalah tersebut sudah disampaikan ke Kementerian Kelautan dan Perikanan pada awal 2022. Pihaknya telah menyerahkan data luas tambak dan kebutuhan pupuk. Namun, hal itu belum ada tindak lanjutnya. Made menyatakan, pihaknya berusaha agar petambak tak bergantung pada pupuk subsidi. Ia mengingatkan, dalam aturannya, pupuk subsidi di sektor perikanan diperuntukkan bagi petambak dengan luas lahan maksimal 1 hektar. Di luar itu, harusnya menggunakan pupuk nonsusidi.
Altenatif lainnya, petambak didorong untuk menggunakan probiotik sebagai pengganti pupuk untuk menumbuhkan pakan alami (plankton). Pemakaian pupuk organik hasil fermentasi, seperti kotoran kambing, juga bisa dilakukan.
Dinas kelautan dan perikanan terus berupaya meningkatkan produktivitas tambak tradisional. Pola budidaya harus mulai pelan-pelan diubah. Tambak-tambak tradisional yang digarap minim teknologi saat ini didorong untuk dikelola menjadi tradisional plus dan semiintensif dengan penggunaan teknologi dasar, seperti pemakaian pompa untuk mengatur air dan penggunaan pakan untuk makanan udang atau ikan.
Dengan mesin pompa, kebutuhan air di tambak bisa diatur sekaligus bisa mempercepat pengeringan untuk produksi berikutnya. Dengan sirkulasi yang diatur, kondisi tanah menjadi lebih baik, terutama tingkat keasamannya yang bisa diatur. Tingkat keasaman tanah yang tinggi sering memicu penyakit.
Baca juga: Tumbuh Subur, Sumbar Mulai Tata Tambak Udang Vaname
Dengan beralih ke tambak semiintensif, ditargetkan produksi udang vaname bisa mencapai 1 ton per hektar. Itu memberikan nilai lebih besar untuk pembudidaya. Sebagai komparasi, tambak udang yang dikelola secara intensif milik PT Parigi Aquakultura Prima di Des Sejoli menghasilkan 70 ton udang vaname per hektar. Tambak tersebut dioperasikan dengan sentuhan teknologi tinggi, seperti pemakaian kincir untuk sirkulasi udara di tambak, filter air laut, dan alas membran.
Tambak telah menjadi warna cerah untuk kehidupan sebagian warga di pesisir Teluk Tomini, Parigi Moutong. Kendala-kendala yang mereka alami harusnya segera diselesaikan agar warna tersebut makin mentereng, yakni kesejahteraan generasi saat ini dan mendatang.