Konsistensi di Jalan Konservasi
Dedy Yansyah (39) memilih jalan konservasi sebagai cara mengabdikan diri. Atas upayanya, dia mendapat penghargaan Whitley Fund for Nature yang baginya itu apresiasi sekaligus tuntutan untuk konsisten di jalan konservasi.
Dedy Yansyah (39) merasa Tuhan menuntun langkahnya di jalan konservasi hingga kini. Atas konsistensi dan dedikasinya dalam gerakan penyelamatan Badak Sumatera di Aceh dia diganjar penghargaan Whitley Fund for Nature. Kecintaan Dedy terhadap dunia konservasi sudah tumbuh sejak masak kanak-kanak lewat memelihara burung, ayam, hingga kucing.
Di sekolah menengah atas dia memilih jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) kemudian saat kuliah Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, dia memilih jurusan Biologi.
Baca Juga: Aksi Terakhir Selamatkan Badak Sumatera
Sebagai mahasiswa yang aktif, dosen dan seniornya kerap melibatkan Dedy dalam kegiatan konservasi. Dia mulai terbiasa keluar masuk Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Dia belajar tentang satwa lindung, seperti gajah, harimau, orangutan, dan lainnya. Dia kian cinta pada urusan konservasi.
Beberapa kali dia ajak mengunjungi Leuser. Saat berada di hutan yang lebat, Dedy merasa ada kedamaian. Dia ingin berlama-lama berada di dalam pelukan Leuser.
”Setelah mengenal Leuser lebih dekat saya semakin tertarik terlibat dalam kegiatan konservasi,” kata Dedy saat ditemui Kompas, Minggu (12/6/2022).
Karena alasan itu pula dia mengambil topik identifikasi pakan gajah di Leuser sebagai penelitian skripsi sarjana. Dia mendapat beasiswa penelitian dari Unit Manajemen Leuser (UML).
Selama lima bulan, Dedy menetap di Stasiun Penelitian Sikundur, Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) di Langkat, Provinsi Sumatera Utara untuk mengumpulkan bahan penelitian.
Saban hari dia menelusuri jalur jelajah gajah untuk mencatat jenis tumbuhan yang di makan. Namun, lucunya, tidak sekalipun Dedy bertemu dengan gajah. Padahal, dia sangat berkeinginan melihat gajah liar secara langsung.
Baca Juga: Populasi Kurang dari 100 Individu, Suaka Badak Sumatera Dibangun di Aceh
Sangking bersemangat ingin bertemu dengan gajah. Dedy mengikuti jejak satwa lindung itu hingga dia kehilangan jejak untuk pulang ke stasiun. Dedy tersesat di belantara Leuser.
Dalam keadaan takut Dedy berjalan mencari jalan pulang hingga akhirnya dia menyerah. Dia membayangkan wajah orangtua di rumah.
”Saya baru sadar manusia terlalu kecil di alam. Saya berdoa kepada Tuhan untuk bisa kembali. Mungkin ini doa paling tulus selama hidup,” ujar Dedy.
Seusai berdoa dia merasa seperti ada kekuatan lain yang menuntun langkahnya menuju stasiun. Di sana, kawan-kawannya sedang bersiap berangkat mencari Dedy.
Pada malam terakhir penelitian, Dedy tidur di tenda di lingkungan stasiun. Tengah malam dia terbangun dan menemukan seekor gajah menatapnya. Dedy nyaris tidak percaya gajah liar itu justru mendatanginya. Namun, saat hendak mengambil kamera, gajah itu menghilang di kegelapan malam.
”Dia seperti mau menyampaikan salam perpisahan. Saya merasa suatu hari akan kembali ke sini,” kata Dedy.
Baca Juga: Menyelamatkan Badak Sumatera
Manager stasiun
Tahun 2004, sebelum sang ayah meninggal dunia, Dedy sempat ditanyai mau bekerja di mana setelah sarjana. Tanpa pikir panjang Dedy bilang mau kerja di Leuser.
Kata-kata adalah doa, benar adanya. Setahun kemudian dia diterima sebagai staf di Yayasan Leuser Internasional dan ditempatkan sebagai Manager Stasiun Sikundur.
Dedy merasa Tuhan menuntun langkahnya untuk kembali ke Leuser. Dia kian sering terlibat dalam penelitian satwa lindung.
Tahun 2008, Dedy bergabung dalam Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BP KEL). Dia ditunjuk sebagai koordinator lapangan. Kini hari-hari lebih banyak dihabiskan di Leuser. Bersama tim rangers, dia terlibat dalam operasi pencegahan perburuan satwa lindung.
Sebagai hutan hujan tropis, KEL dengan luas, 2,6 juta hektar menjadi rumah besar bagi ragam satwa lindung. Leuser menjadi satu-satu tempat di dunia yang menjadi tempat hidup bersama gajah sumatera, harimau sumatera, orangutan sumatera, dan badak sumatera.
Ke empat satwa kunci itu kini terancam punah. Mereka diburu untuk diperdagangkan. ”Kalau tidak diproteksi satwa-satwa ini akan punah,” ujar Dedy.
Perburuan satwa lindung di Aceh masif. Catatan Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh sepanjang 2020-2021, penegak hukum menangani 18 perkara kejahatan terhadap satwa lindung. Jumlah tersangka ada 42 orang, tetapi sebanyak 9 orang masih buron. Perburuan banyak terjadi di kawasan Leuser.
Baca Juga: Jika Dibiarkan, Badak Sumatera Punah 20 Tahun Lagi
Perburuan menjadi ancaman besar terhadap populasi satwa lindung. Dedy merasa sedih setiap kali ada kasus kematian satwa lindung.
Dedy menjelaskan keberadaan satwa lindung menandakan hutan tersebut masih sehat dan sebaliknya hutan rusak menyebabkan satwa dalam ancaman kematian. Satwa lindung bagian dari tatanan ekosistem.
Akhir 2012, Gubernur Aceh membubarkan BP KEL. Asa melanjutkan merawat Leuser nyaris luntur. Namun, Dedy dan para pegiat konservasi tidak mau berlama-lama dalam kegalauan. Mereka sepakat membentuk sebuah lembaga nirlaba bernama Forum Konservasi Leuser (FKL). Di bawah bendera FKL semangat kerja konservasi kembali bergelora.
Dedy diberi mandat menjadi koordinator ranger. Bersama ranger sesekali Dedy ikut patroli di Leuser. ”Bekerja di Leuser sangat menyenangkan, seperti wisata, bermain di alam," ujar Dedy.
Di sisi lain Dedy merasa sedih melihat kerusakan di dalam Leuser. Perambahan, alih fungsi, dan perburuan menjadi ancaman besar. "Akses masuk ke Leuser semakin mudah. Membuat tantangan melindungi semakin besar," kata Dedy.
Data yang pernah dirilis oleh Yayasan Hutan Alam Lingkungan Aceh, sejak 2015-2019 luas tutupan hutan KEL berkurang 42.184 hektar. Penyusutan tutupan hutan sama dengan habitat satwa lindung rusak. Dampaknya ancaman keberlangsungan hidup satwa lindung kian terancam.
Selamatkan badak
Salah satu satwa lindung yang terancam adalah badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis). Saat ini diperkirakan populasinya di bawah 100 individu. Sebagian besar berada di dalam KEL.
Gerakan penyelamatan badak dari kepunahan sudah dimulai dengan membangun suaka badak atau Sumatran Rhino Sanctuary (SRS).
Lokasi pembangunan di Desa Ranto Panjang, Kecamatan Simpang Jernih, Kabupaten Aceh Timur. Dedy dipercaya sebagai Koordinator Konsorsium Badak Utara. Peletakan batu pertama dilakukan pada Kamis (11/11/2021).
Pembangunan suaka badak menggunakan biaya dari pengembalian utang negara kepada Amerika Serikat melalui program Tropical Forest Conservation Action (TFCA)-Sumatera. Besaran anggaran untuk tahap awal Rp 16 miliar.
Dedy merasa bangga jadi bagian penyelamatan badak sumatera. Di sisi lain, dia khawatir proyek ini tidak berjalan seperti yang dirancang. ”Bismillah saja, saya harus terlibat penuh dalam aksi penyelamatan badak sumatera,” kata Dedy.
Baca Juga: Setelah 8 Kali Keguguran Akhirnya Rosa Melahirkan Bayi Betina
Kini dia harus pulang pergi Banda Aceh-Aceh Timur untuk mengawasi pembangunan SRS di Leuser, jauh dari permukiman. Untuk menuju lokasi harus menggunakan mobil bergardan ganda.
Atas kontribusi untuk konservasi, khususnya dalam aksi penyelamatan badak sumatera, Dedy dianugerahkan Whitley Fund for Nature (WFN) 2022, sebuah badan amal di London, Inggris.
Bagi Dedy penghargaan itu memiliki dua makna: apresiasi dan tuntutan untuk terus konsistensi di jalan konservasi. Meski demikian, Dedy yakin jalan konservasi adalah pilihan Tuhan untuknya.
Biodata:
Nama: Dedy Yansyah
TTL: 24 Januari 1983
Alamat : Kabupaten Aceh Besar
Pendidikan terakhir: S-1 MIPA Biologi, Universitas Syiah Kuala
Penghargaan: Whitley Fund for Nature 2022
Istri: Ina Fauziana Syah
Anak: A Yusuf Maulana
Rayyan Faturrahman