Pembangunan suaka badak sumatera adalah bagian dari rencana aksi darurat menyelamatkan satwa lindung itu. Populasinya di seluruh dunia kurang dari 500 individu.
Oleh
ZULKARNAINI MASRY
·4 menit baca
Populasi badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) yang hanya terdapat di Indonesia di ambang kepunahan, di bawah 100 individu. Pembangunan suaka badak adalah bagian dari rencana aksi darurat menyelamatkan satwa lindung itu.
Aura optimistis terpancar dari raut wajah Bupati Aceh Timur, Aceh, Hasballah M Thaib. Dia mengawali peletakan batu pertama pembangunan suaka badak atau Sumatran Rhino Sanctuary (SRS) di Desa Ranto Panjang, Kecamatan Simpang Jernih, Kamis (11/11/2021) siang.
Memang belum banyak literasi tentang badak. Ini menjadi tantangan bagi kami untuk melakukan penelitian lebih dalam. (drh Hambal)
Seremoni pembangunan SRS berlangsung khidmat. Lebih dari 100 orang hadir menjadi saksi sejarah pembangunan suaka badak. Mereka perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Pemprov Aceh, Konsorsium Badak Utara, Tropical Forest Conservation Action (TFCA)-Sumatera, dan tokoh masyarakat. Untaian doa dan peusijuek (tepung tawari) mengiringi peletakan batu pertama agar diberkahi.
”Saya senang Aceh Timur punya badak. Ini harus kami jaga. Cukup lama kami hidup berdampingan dengan satwa lindung ini,” ujar Hasballah.
Lokasi pembangunan berada di Kawasan Ekosistem Leuser. Letak gerbang berada di areal penggunaan lain yang terhubung dengan hutan lindung.
Lokasi pembangunan cukup jauh dari pusat permukiman, butuh waktu sekitar tiga jam untuk mencapai lokasi menggunakan mobil bergarda ganda. Jalannya berupa tanah, becek, dan terjal. Satu-satunya jalan ke lokasi melalui jalan milik perusahaan perkebunan sawit.
Hasballah menuturkan, badak sumatera di hutan Aceh Timur adalah anugerah yang harus dijaga. Apalagi kini populasinya sangat sedikit. Di Leuser bagian timur jumlahnya di bawah 15 ekor, sedangkan di Leuser bagian barat di atas 15 ekor. Sisanya diperkirakan ada di Lampung dan Kalimantan. Akan tetapi, populasi di Aceh terbesar sehingga dilakukan perlindungan penuh.
Badak sumatera adalah satu dari lima spesies badak di dunia. Badak ini tergolong terkecil dengan tinggi 120-145 cm dan panjang hingga 250 cm, yang juga dikenal sebagai badak berambut. Bandingkan dengan badak jawa (Rhinoceros sondaicus), mamalia terancam punah bercula satu, yang bisa memiliki tinggi 170 cm dengan panjang 2-4 meter.
Hasballah menyampaikan komitmennya berada di baris pertama dalam menyukseskan aksi penyelamatan badak di Aceh. Dia mengajak warga Aceh Timur menjaga hutan. ”Alam menyediakan apa yang kita butuhkan, tetapi jangan tebang pohon dan jangan rusak hutan. Anak cucu kita besok berhak menikmati. Kita melakukan ini untuk mereka,” katanya.
Kini, Aceh menjadi harapan dunia untuk menyelamatkan badak. Hutan Leuser menjadi satu-satunya lanskap tempat hidup empat satwa kunci ikonik dan endemik yang disorot dunia: gajah sumatera, orangutan sumatera, harimau sumatera, dan badak sumatera.
Keempat satwa ini sebenarnya populasinya dalam kondisi sangat kritis. Namun, badak dianggap telah berada di ambang kepunahan, satu langkah menuju punah, sehingga semua energi perlu dikumpulkan untuk menjaganya.
Selain menjadi kawasan khusus badak, suaka ini direncanakan menjadi pusat pendidikan, riset badak, serta ekowisata. Suaka badak di Aceh Timur menjadi suaka kedua setelah di Way Kambas, Lampung.
Pembangunan suaka badak menggunakan biaya dari pengembalian utang negara kepada Amerika Serikat melalui program Tropical Forest Conservation Action (TFCA)-Sumatera. Besaran anggaran untuk tahap awal Rp 16 miliar. Targetnya enam bulan ke depan pembangunan tahap awal rampung, lalu dilanjutkan melengkapi berbagai insfrastruktur hingga tiga tahun ke depan.
Direktur Pengelolaan Kawasan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Jefri Susyafrianto menaruh harapan besar pada suaka badak ini untuk menjamin keberlanjutan kehidupan badak sumatera.
Survei lapangan oleh konsorsium menemukan kantong-kantong populasi badak sumatera di Pulau Sumatera. Tim juga menemukan jejak tapak, daun yang dipelintir, dan feses. Kondisi ini mengonfirmasi hutan Aceh memberikan harapan besar untuk keberlangsungan hidup badak.
”Jika kita berhasil, ini sangat menggembirakan. Kita berdoa ini sebuah keberhasilan untuk melahirkan badak lain,” kata Jefry.
Perkembangbiakan
Para pakar dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, dan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor terlibat dalam konsorsium. Diharapkan keterlibatan para peneliti akan membantu riset mendalam dan pengembangbiakan melalui teknologi.
Pakar dari Pusat Konservasi Satwa Liar Fakultas Kedokteran Unsyiah, drh Hambal, menuturkan, sifat alami badak yang penyendiri membuat mereka sulit berkembang biak. Badak di Leuser Timur harus diselamatkan karena tidak ada potensi breeding atau perkembangbiakan.
Pada era 1990-an diperkirakan populasi badak sumatera sebanyak 300-800 individu. Namun, kini hanya tersisa di bawah 100 individu. Tahun 1995, di Taman Nasional Kerinci Seblat bagian utara diperkirakan terdapat 10 individu, tetapi kini telah punah.
Hambal menuturkan, badak berperan besar menjaga ekosistem karena membantu regenerasi hutan. Badak memakan pucuk-pucuk daun dan menebar benih di jalur lintasan. Dengan berat badan hingga 800 kilogram, satwa bercula dua itu sanggup berjalan puluhan kilometer.
”Memang belum banyak literasi tentang badak. Ini menjadi tantangan bagi kami untuk melakukan penelitian lebih dalam,” katanya. Kerusakan habitat, perburuan cula, dan rendahnya kemampuan reproduksi menjadi ancaman keberlangsungan hidup badak.
Direktur TFCA-Sumatera Samedi mengatakan, Indonesia masih punya harapan untuk menyelamatkan badak sumatera. ”Kita tidak mau pada HUT Kemerdekaan Ke-100 RI, kita mengumumkan kepunahan badak sumatera,” ujarnya.
Indonesia patut berbangga punya badak ikonik dan endemik. Lepas dari berbagai sorotan, suaka adalah ikhtiar menjauh dari kepunahan.