Sebuah wadah yang mengasah keterampilan dan mempertemukan sineas dalam kerja-kerja kolaboratif terus berkibar selama satu dekade terakhir di Makassar.
Oleh
RENY SRI AYU ARMAN
·5 menit baca
Jauh sebelum geliat perfilman lokal di Makassar menggebrak layar lebar Tanah Air, sekitar 10 tahun lalu, sudah lahir wadah belajar tentang perfilman di ibu kota Sulawesi Selatan tersebut. Wadah itu bak kawah candradimuka yang mengasah sineas muda dan melahirkan ide-ide kolaboratif seputar perfilman.
Wadah itu bernama SEAScreen Academy atau kependekan dari South East Asian Screen Academy. Meskipun lahir dan berpusat di Makassar, wadah ini terbuka luas bagi sineas-sineas muda di kawasan timur Indonesia untuk belajar dan berkembang bersama dengan jangkauan di seluruh Asia Tenggara, sesuai namanya.
Pada mulanya adalah Rumata’, rumah budaya yang didirikan sutradara Riri Riza dan penulis Lily Yulianti Farid. Rumata’ dalam bahasa Bugis atau Makassar berarti rumah kita bersama. Rumah budaya ini menjadi wadah mengembangkan budaya dan kesenian. Selain itu, ia menjadi ruang yang mempertemukan seniman, budayawan, dan komunitas tak hanya di Makassar, tapi juga kawasan timur Indonesia dan daerah lainnya.
Rumata’ memiliki program-program unggulan, antara lain, Makassar International Writers Festival (MIWF) dan SEAScreen Academy. Sesuai latar belakang masing-masing, Lily banyak menukangi MIWF, sedangkan Riri menggawangi SEAScreen Academy. Sejak 2012, SEAScreen Academy aktif menggelar berbagai kegiatan pelatihan dan pengembangan perfilman. Kajian, diskusi film dan kerja kolaborasi juga menjadi bagian pentingnya.
”Awalnya pelatihan secara umum, lalu terus berkembang menjadi pelatihan dengan minat khusus, misalnya penyutradaraan, produser, penulisan naskah, dan semua aspek penting dalam film. Lalu ada lagi kegiatan yang mempertemukan sutradara dengan produser untuk berkolaborasi dan melahirkan karya,” kata Rachmat Mustamin, Direktur Program dan Kerja Sama Rumata’ ArtSpace.
Menurut Rachmat, biasanya orang-orang terpilih yang mengikuti pelatihan sudah diminta membawa ide. Nantinya saat ajang pelatihan ada sesi ”One on One”. Di sesi ini biasanya sutradara yang membawa ide dipertemukan dengan produser atau pemilik rumah produksi. Dari pertemuan ini biasanya lahir kesepakatan untuk berkolaborasi mewujudkan ide tersebut.
Salah satu kerja sama yang lahir dari ajang pelatihan di SEAScreen Academy adalah kolaborasi Halaman Belakang Production dan Fourcolours Films. Saat itu, Yusuf Radjamuda, sutradara sekaligus penulis skenario dari Palu, membawa ide cerita film Mountain Song saat mengikuti pelatihan di SEAScreen Academy. Dalam sesi ”One on One”, dia dipertemukan dengan pihak Fourcolours Films dari Yogyakarta dan kesepakatan pun lahir untuk merealisasikan film ini.
Kami bisa saling bantu dan melengkapi. Kadang ide salah satu komunitas dilengkapi komunitas lain.
Mountain Song kemudian menorehkan prestasi, salah satunya mendapatkan penghargaan Asian New Talent Award untuk penulis skenario terbaik pada Festival Film Shanghai 2019. Setahun kemudian, film ini juga memboyong penghargaan Newcomers Award untuk film terbaik dalam ajang Asian Film Festival Rome 2020.
Di SEAScreen Academy, pelatihan perfilman memang dilakukan pada seluruh aspek penting yang menunjang film. Soal kualitas dan identitas juga menjadi krusial, terutama bagi sineas muda di kawasan timur Indonesia. Itulah mengapa sineas-sineas muda dari berbagai latar belakang budaya didorong melahirkan karya yang mengangkat kekayaan Indonesia, terutama budaya.
Dalam pelatihan, mentor-mentor terbaik dihadirkan, bukan hanya dari dalam negeri, melainkan juga luar negeri. Di sini peran jejaring dan kolaborasi memang menjadi sangat penting. Mendatangkan mentor dari luar tak lagi sekadar soal transfer ilmu dan pengalaman, tapi juga mempertemukan budaya, persoalan, dan kebiasaan yang berbeda.
Dari SEAScreen Academy, banyak komunitas yang akhirnya menjadikan Rumata’ sebagai ruang berbagi ide dan berdiskusi. Sekalipun sebagian ada juga yang belum pernah ikut dalam pelatihan di SEAScreen Academy, tapi berkumpul di Rumata’, berdiskusi, berbagi pengalaman, nonton bareng, dan mengikuti kajian adalah bagian dari proses pengembangan komunitas dalam berkarya.
Khozy Rizal dari komunitas Horepictures, misalnya, adalah salah satu yang rutin berkumpul di Rumata’. Baginya, berjejaring dan berkolaborasi menjadi kata kunci agar tetap eksis berkarya. Dia memilih merawat pertemanan dan saling mendukung ketimbang bersaing. ”Kami bisa saling bantu dan melengkapi. Kadang ide salah satu komunitas dilengkapi komunitas lain. Atau ada yang butuh alat, yang lain bisa meminjamkan,” ujarnya.
Dia pun mengaku tidak terlalu khawatir bahwa membahas ide akan berakhir dengan pencurian ide karena tak mudah membuat film. Urusan biaya masih menjadi yang utama. ”Kalaupun, misalnya, ide saya dicuri oleh komunitas lain, belum tentu juga bisa mereka wujudkan. Jadi, sejauh ini lebih cair. Kami saling support,” kata Khozy.
Persoalan dana atau mencari pendana menjadi salah satu yang solusinya kadang ditemukan dari diskusi di antara komunitas. Biasanya mereka akan berbagi informasi tentang lembaga atau instansi yang punya program terkait film.
Ulfa Evitasari dari komunitas To Baine Project, misalnya, saat ini menggarap film pendek berjudul To Baine Mandar. Komunitasnya mendapat dana lebih dari Rp 200 juta dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk produksi film ini. Komunitasnya menjadi salah satu yang rutin berkumpul di Rumata’.
Komunitas yang aktif di Rumata’ umumnya aktif melahirkan karya. Rachmat Mustamin, misalnya, dari komunitas Imitation Film Project. Berdiri pada 2015, komunitas ini mulai memproduksi film setahun setelahnya. Rachmat bukanlah orang baru di film. Sebelumnya, saat berkuliah di Universitas Kebangsaan Malaysia, dia sempat magang di rumah produksi milik Hanung Bramantyo. Keinginannya menjadi sutradara membuatnya memilih pulang dan membuat film.
Beberapa karya Imitation Film Project, antara lain, Blue Side on The Blue Sky, Waliala, dan Menenggelamkan Mata. Punya komunitas film dan aktif menjadi pengurus Rumata’ menjadi kesempatan bagi dia dan rekan-rekannya untuk terus belajar dan mengembangkan diri.
Selama 10 tahun, SEAScreen yang menjadi bagian dari Rumata’ tak sekadar menjadi wadah pengembangan bagi sineas muda. Lebih dari itu, SEAScreen juga menjadi sarana untuk menumbuhkan ekosistem dunia perfilman di kawasan timur Indonesia.