Dunia film menjadi salah satu yang terdampak pandemi Covid-19, termasuk mengoyak kehidupan pekerja film. Ironi di tengah Hari Film Nasional.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Kompas/Priyombodo
Rahmadia (tengah) berlatih aksi bela diri untuk film laga di Studio Piranha Stunt Indonesia, Depok, Jawa Barat, Jumat (26/3/2021). Rahmadia adalah salah seorang pendiri Piranha Stunt Indonesia. Rahmadia yang merupakan pemeran pengganti aksi laga dan berbahaya untuk film ini mengatakan turut terdampak pandemi Covid-19 yang memukul industri film di dalam negeri.
Produksi film Indonesia sebetulnya menunjukkan grafis membaik beberapa tahun sebelum 2020, saat pandemi mulai melanda Indonesia. Sesuai data Filmindonesia.or.id, yang disarikan Litbang Kompas, pada 2017 total film Indonesia mencapai 118 film, lalu melonjak menjadi 146 film pada 2018. Total produksi 2019 menurun, tetapi lebih banyak dari 2017, yakni 130 film.
Namun, produksi film menurun drastis tahun lalu karena pandemi. Pada 2020 hanya 53 film yang dibuat. Periode Januari hingga Maret, tercatat 26 film diproduksi. Setelah itu, April hingga Juli 2020, yang notabene empat bulan pertama pandemi, produksi film nol. Produksi film menggeliat lagi mulai Agustus hingga Desember, dengan 27 film diproduksi.
Bantuan sosial pemerintah bagi mereka yang terdampak pandemi belum optimal menjangkau pekerja film.
Anjloknya produksi film domestik itu sangat menggerus penghasilan pekerja film. Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Para pekerja film, yang sebelum pandemi juga bekerja tanpa standar gaji, asuransi, dan ikatan hukum, semasa pandemi terpaksa menganggur karena tidak ada shooting.
Tak pelak, para pekerja film bekerja serabutan guna menyambung hidup. Sejumlah pekerja film yang ditemui Kompas menuturkan, sepanjang pengalamannya, tahun 2020 adalah yang terberat, karena mereka harus menganggur hingga sekitar 10 bulan. Sebagai perbandingan, saat krisis ekonomi 1998, mereka hanya menganggur sekitar empat bulan (Kompas, 29/3/2021).
Celakanya, bantuan sosial pemerintah bagi mereka yang terdampak pandemi belum optimal menjangkau pekerja film. Salah satu kendala tak lain problem pendataan jumlah pekerja yang hidup dari industri perfilman. Kondisi ini menunjukkan betapa rapuh kondisi pekerja film, terutama di tengah pandemi. Padahal, sektor ini penting mendapat perhatian mengingat film bisa menjadi identitas bangsa (Kompas, 31/3).
Rahmadia berlatih aksi bela diri untuk film laga di Studio Piranha Stunt Indonesia, Depok, Jawa Barat, Jumat (26/3/2021).
Yang layak disyukuri, masih ada beberapa peluang yang bisa dimanfaatkan insan perfilman nasional untuk bangkit kembali. Yang pertama, masyarakat masih lebih menyukai film domestik ketimbang film asing. Dalam jajak pendapat Litbang Kompas pada 16-18 Maret 2021, dengan 518 responden di 34 provinsi, sebanyak 60,5 persen menyukai film domestik. Ini modal sosial bagi pelaku industri film Indonesia.
Yang kedua, sudah mulai terlihat sejumlah upaya sineas kita untuk bangkit, salah satunya merilis film di pelantar digital, baik yang gratis maupun berbayar. Pada 2020, tercatat ratusan film Indonesia di layanan pelantar digital. Data Litbang Kompas juga menyebutkan, dari responden jajak pendapat yang enam bulan terakhir menyaksikan film Indonesia, sebanyak 56,3 persen menonton melalui pelantar digital gratis. Adapun 36,5 persen lain menonton via pelantar digital berbayar.
KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA
Seorang penonton menikmati tayangan film Space Sweepers dari layanan streaming Netflix.
Sejumlah modal kebangkitan perfilman nasional ini perlu dukungan pemerintah. Momentum peringatan Hari Film Nasional, Selasa (30/3) lalu, perlu dijadikan titik tolak kebangkitan film Indonesia sebagai tuan rumah di negeri sendiri, sekaligus menjadi sektor produksi yang menyejahterakan pekerjanya.