Memanggungkan Lokalitas di Layar Bioskop
Lokalitas yang diangkat dalam film-film yang diproduksi pekerja film di Makassar bukanlah sekadar tontonan. Lebih dari itu, film menjadi media pembawa pesan sekaligus merawat kebudayaan.
Lima tahun terakhir boleh dikata adalah tonggak kebangkitan dunia perfilman di Makassar, terutama film komersial. Setiap tahun ada saja film dengan beragam genre dari kota ”Anging Mamiri” yang tayang di bioskop-bioskop jaringan nasional, seperti XXI atau Cinema 21.
Saat film Uang Panai’ dirilis tahun 2016, Sunarti Sain, produser eksekutif film ini, tak pernah menyangka akan mendapat sambutan luar biasa. Saat itu, antrean penonton yang membeludak membuat sejumlah film Hollywood terpaksa turun lebih cepat dari daftar tontonan bioskop.
Bahkan, ada satu hari di mana semua studio bioskop memutar Uang Panai’ pada waktu yang sama dalam beberapa kali penayangan. Namun, itu pun tak cukup karena antrean masih mengular di loket-loket pembelian tiket. Bahkan, calo tiket ikut mengambil untung.
Film ini mencatat jumlah penonton lebih dari 500.000. Sebuah angka yang cukup fantastis untuk ukuran film lokal. Lokalitas yang diangkat dalam film ini bukan hanya perihal realitas pernikahan pada suku Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan (Sulsel), melainkan juga pekerja film lokal yang berandil di belakangnya.
Di Sulsel, uang panai atau semacam uang mahar yang menjadi salah satu syarat pernikahan kerap menjadi momok. Bagi keluarga terpandang dan berada, uang panai yang besar adalah gengsi. Namun, bagi yang tak berpunya, ini menjadi hal pelik. Realitas inilah yang kemudian menciptakan relasi dengan penonton. Tema uang panai yang dipanggungkan di layar lebar seolah mewakili banyak orang. Kedekatan dengan tema cerita akhirnya membuat orang-orang berlomba menonton.
”Saya bahkan bingung dan sama sekali tak pernah membayangkan (antusiasme tinggi publik). Semula niat saya dan teman-teman saat membuat film ini sederhana saja. Mengangkat realitas lokal menjadi tontonan yang menarik dan bisa menembus jaringan bioskop besar,” kata Sunarti, Rabu (15/6/2022).
Sekitar enam bulan, Una—panggilan akrab Sunarti—bolak-balik Makassar-Jakarta hanya untuk meyakinkan pengusaha bioskop agar mau memutar film itu di layar mereka. Dengan segala upaya, film ini akhirnya diterima dan ditayangkan di jaringan bioskop nasional. Kisah sukses pun mengikuti.
Ada lokalitas dari tokoh utama serta latar belakang budaya, lokasi, yang membuat film ini bisa dekat dengan penonton, khususnya warga Sulawesi Selatan.
Film ini kemudian mendapat penghargaan Indonesian Box Office Movie Awards (IBOMA) 2017 dalam kategori penghargaan khusus sebagai film lokal terlaris. Di ajang lain, Uang Panai’ mendapat penghargaan Film Daerah Terpilih dalam ajang Piala Maya 2016. Turun dari bioskop, Uang Panai dibeli oleh salah satu televisi swasta nasional untuk ditayangkan di layar kaca.
Kesuksesan Uang Panai melecut gairah sineas-sineas Makassar lainnya untuk ikut memanggungkan lokalitas. Sejumlah film lain dengan beragam genre, mulai dari drama percintaan, keluarga, horor, hingga aksi, kemudian lahir. Sebut saja film Silariang (kawin lari), Bombe, Parakang, Anak Muda Palsu, Cindolo na Tape, Suhu Beku, Ambo Nai, Kuyang The Movie, Melawan Takdir, dan lainnya.
Ada pula film yang mengangkat kehidupan tokoh Bugis-Makassar dan epos lokal. Menyebut contoh adalah film Athirah garapan Riri Riza, yang berkisah tentang kehidupan ibunda Jusuf Kalla dengan latar belakang budaya Bugis-Makassar. Ada pula film Maipa Deapati dan Datu Museng, sebuah film kolosal yang berisi kisah percintaan dan perang.
Tema pendidikan dan kisah inspiratif pun turut diangkat, seperti dalam film Melawan Takdir. Film yang berkisah tentang anak dari keluarga sedehana di Kabupaten Bone yang kemudian sukses dalam pendidikan hingga mendapat beasiswa ke luar negeri. Film ini mengangkat kisah nyata kehidupan Prof Hamdan Juhannis yang kini menjabat Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, Makassar.
”Ada lokalitas dari tokoh utama serta latar belakang budaya, lokasi, yang membuat film ini bisa dekat dengan penonton, khususnya warga Sulawesi Selatan. Ada pesan pendidikan juga yang dibawa di dalamnya. Walau film ini tak meledak seperti film lain, kami yang ikut terlibat di dalamnya tetap bersyukur bahwa film lokal ini bisa diproduksi dan tayang di bioskop,” kata Andi M Fadli, salah satu pemain Melawan Takdir yang juga kru film.
Merawat budaya
Dr Hadawiah, pengajar komunikasi budaya Universitas Muslim Indonesia yang juga kerap mengkaji film lokal, mengatakan, kehadiran pegiat film yang mengangkat realitas lokal ikut berperan merawat budaya dan tradisi.
”Selama ini bioskop dibanjiri film luar. Kalaupun ada film Indonesia, itu juga dari luar Makassar. Lalu film-film lokal hadir memberi nuansa berbeda. Budaya, sejarah, dan tradisi yang diangkat juga beragam. Pesan moral juga ada. Ini adalah sesuatu yang positif. Film menjadi media komunikasi untuk lebih mengenalkan budaya pada generasi sekarang,” katanya.
Dia menambahkan, mengangkat lokalitas dalam perfilman, terutama terkait budaya, bisa menjadi tontonan menarik sepanjang dikemas dengan apik. Ini juga akan lebih bisa diterima pasar secara umum. ”Dipoles dan dikembangkan bisa saja, tetapi orisinalitas juga penting untuk dipertahankan,” ujarnya.
Selama ini bioskop dibanjiri film luar. Kalaupun ada film Indonesia, itu juga dari luar Makassar. Lalu film-film lokal hadir memberi nuansa berbeda. Budaya, sejarah, dan tradisi yang diangkat juga beragam. Pesan moral juga ada. Ini adalah sesuatu yang positif. Film menjadi media komunikasi untuk lebih mengenalkan budaya pada generasi sekarang.
Intinya, dia melanjutkan, bagaimana mengemas sebuah tema yang lekat dengan kehidupan atau budaya, tetapi tetap menarik ditonton, termasuk oleh generasi muda. Bisa jadi ada banyak kearifan dan tradisi yang selama ini sudah jarang dilihat, tetapi kemudian bisa ditonton di film. ”Ini juga seperti kerja merawat budaya,” kata Hadawiah.
Baca juga: Tampilkan Keberagaman Indonesia pada Film
Memang pada akhirnya tak semua film yang mengangkat isu lokal bernasib baik seperti film Uang Panai, sekalipun penggarapannya cukup bagus. Dalam film Melawan Takdir, misalnya, hingga usai diputar di layar lebar, penontonnya hanya sekitar 4.000. ”Bisa jadi karena pemain yang terlibat semuanya serba lokal. Menurut saya, mengambil bintang yang sudah punya nama menjadi pemeran utama sedikit banyak akan berpengaruh pada jumlah penonton,” kata Fadli.
Namun, bagi Sunarti yang rumah produksinya sudah membuat lebih dari 15 film dalam lebih lima tahun terakhir, hal ini tidak sepenuhnya berlaku. Dia mengakui, sejumlah film yang diproduksinya memang tak untung. Beberapa bahkan buntung. Namun, persoalannya bukan pada pemain.
”Kami memproduksi film Anak Muda Palsu yang pemainnya 90 persen lokal. Nyatanya masih bisa mencatat 300.000-an penonton. Ada juga film di mana kami memakai pemeran bintang ternama, toh hasilnya tak memuaskan. Saya percaya kekuatan cerita dan penggarapan yang baik akan lebih berperan menarik minat penonton,” tuturnya.
Untung dan buntung dalam produksi film memang hal lumrah. Kabar baiknya, ada saja pemerhati atau orang berduit yang memiliki minat pada film. Mereka bersedia mengeluarkan dana yang tak sedikit untuk membiayai produksi.
Baca juga: Film Berbahasa Daerah, Merajut dan Merawat Keindonesiaan
”Bersyukur masih banyak orang atau investor yang benar-benar punya passion pada film. Mereka mau ’membakar’ uang membiayai produksi, padahal kadang kami sendiri pun tidak bisa memastikan sebuah film akan untung atau tidak. Ada film yang berakhir merugi hingga Rp 1 miliar. Tapi, itu tidak menyurutkan semangat untuk berkarya,” tutur Sunarti.
Hal lain yang membuat pekerja film tetap semangat berkarya adalah hadirnya platform digital yang memungkinkan film dibeli dan ditayangkan. Beberapa di antaranya adalah Netflix, Iflix, WeTV, dan Vidio. ”Platform penyedia layanan streaming film seperti ini menjadi harapan bagi pekerja film. Setidaknya saat film sudah turun dari bioskop, masih ada harapan untuk ditawarkan ke beragam situs tontonan. Beberapa film yang kami produksi sudah masuk ke berbagai situs,” kata Sunarti.
Bagi Sunarti dan banyak pekerja film lainnya, kreativitas tak boleh mati walau acap kali keadaan menjadi sulit.