Film Berbahasa Daerah, Merajut dan Merawat Keindonesiaan
Film berbahasa daerah memunculkan kesadaran dan keyakinan sineas lokal dan nasional, untuk tibalah saatnya kita menampilkan keluhuran budi, kearifan, keunikan, dan keistimewaan daerah ke tingkat nasional/internasional.
Oleh
NOORCA M MASSARDI
·4 menit baca
Heryunanto
Ketika keberagaman, kebinekaan, dan kebudayaan Indonesia terancam ideologi radikal yang berniat mengharamkannya, sejumlah sineas Indonesia sesungguhnya telah melakukan ”perlawanan” dengan halus dan genius. Tak hanya terhadap ancaman hegemoni Barat dengan kapitalismenya, tetapi juga terhadap ideologi lain yang bersifat radikal, ekstrem, dan sektarian. Antara lain, dengan memproduksi film-film berbahasa daerah dengan latar budaya, adat, kearifan, dan tradisi lokal.
Memang, pada mulanya, film berbahasa daerah semata dibuat karena keterbatasan dan kepentingan pasar. Terutama, mengingat insan film daerah merasa tidak mampu, dan memang tidak perlu, melawan industri film Barat dan film nasional yang cukup massif. Selain itu, insan film di daerah, dengan sumber daya dan sumber dana terbatas, ingin membuat film dengan tema dan setting lokal untuk konsumsi lingkungan sekitarnya. Sementara, sistem dan distribusi film bioskop saat ini belum memungkinkan film berbahasa daerah diedarkan secara nasional, mengingat sedikitnya pengguna bahasa daerah tersebut.
Toh, yang terjadi pada Uang Panai (karya Asril Sani dan Halim Gani Safia, 2016), produksi Makassar dan berbahasa Bugis-Makassar, telah melahirkan fenomena tersendiri. Film itu tak hanya box office di Makassar atau Provinsi Sulawesi Selatan, tetapi juga di beberapa kota dan provinsi lain. Para sineas lain pun kemudian terilhami untuk membuat film daerah.
Yo Wis Ben (Fajar Nugros, 2018), yang sebagian besar menggunakan bahasa Jawa Timuran, juga menghasilkan fenomena tersendiri. Bukan hanya karena pengguna bahasa Jawa (timuran) sekitar 40 juta jiwa–terbesar kedua di Indonesia–melainkan karena pilihan tema dan ceritanya universal. Tak aneh apabila kesuksesan Yo Wis Ben melahirkan empat sekuel berikutnya.
Secara bisnis, meraih penonton film berbahasa daerah di provinsi masing-masing, sesungguhnya tidaklah sulit. Apabila perolehan box office film nasional berada pada kisaran satu juta hingga 10 juta penonton, maka film berbahasa daerah dengan target 300.000 penonton, sangatlah mungkin. Sukses Uang Panai di Sulawesi Selatan, dengan populasi sekitar 9 juta pengguna bahasa Makassar/Bugis, mencatat rekor 500.00 penonton dalam beberapa bulan.
Kompas/Nina Susilo
Presiden Joko Widodo memasuki bioskop Cinemaxx di Malang Town Square, Rabu (28/3) malam. Presiden menonton film berbahasa Jawa Timuran, Yo Wis Ben, dan mengapresiasi keragaman budaya yang tampil di film itu.
Film-film berbahasa daerah dengan tema, cerita, dan setting lokal, dalam pelbagai genre, memang memiliki potensi kuat karena kedekatan sosial dan psikologisnya dengan para (calon) penonton lokal. Apabila melihat populasi Jawa Barat (berbahasa Sunda), yang terbesar di Indonesia (50 juta jiwa), atau 38 juta warga Jawa Tengah dan Yogyakarta yang berbahasa Jawa, atau 15 juta warga Sumatera Utara yang berbahasa Batak, maka alangkah luas dan potensialnya jumlah penonton film berbahasa daerah itu.
Fenomena film berbahasa dan berbudaya daerah, sebagaimana Yuni (Jawa/Serang, 2021) dan Before, Now & Then (Nana) (2022) yang berbahasa Sunda–keduanya karya sutradara perempuan Kamila Andini–tidak hanya mampu menampilkan keragaman budaya Indonesia di tingkat nasional, tetapi juga di kancah internasional, pada ajang festival film terkemuka. Demikian pula sebelumnya dengan Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak (Mouly Surya, 2017) yang berbahasa daerah NTT, Siti (Eddie Cahyono, 2014) yang berbahasa Jawa, Liam dan Laila (Arief Malinmudo, 2018) yang berbahasa Minang, Turah (Wicaksono Wisnu Legowo, 2016) yang berbahasa Jawa/Tegal, Ziarah (BW Purba Negara, 2017) yang berbahasa Jawa, atau Ambo Nai Sopir Andalan (Andi Burhamzah, 2022) yang berbahasa Bugis.
Film-film yang dibuat dengan kesadaran penuh menggunakan dan menampilkan kultur lokal, bahasa daerah tersebut, memang baru menguat dan menjadi tren positif pada era pascareformasi ini.
Film-film yang dibuat dengan kesadaran penuh menggunakan dan menampilkan kultur lokal, bahasa daerah tersebut, memang baru menguat dan menjadi tren positif pada era pascareformasi ini. Walau pada awalnya dibuat semata demi kepentingan dan kedekatan pasar, pada akhirnya memunculkan kesadaran dan keyakinan sineas lokal dan nasional, untuk tibalah saatnya kita menampilkan keluhuran budi, kearifan, keunikan, dan keistimewaan daerah ke tingkat nasional/internasional.
Di luar kepentingan bisnis, kebangkitan dan kesadaran para sineas pusat dan daerah untuk memproduksi dan menciptakan film-film daerah dengan muatan tema dan cerita berdasarkan adat, tradisi, budaya, kearifan, dan bahasa lokal, dalam pelbagai genre, itu harus dibaca pula sebagai salah satu ”senjata mumpuni” untuk menangkal dan memadamkan pengaruh budaya asing. Terutama, paham yang berkeinginan menghapus bahkan mengharamkan kekayaan budaya Indonesia. Apalagi, kekayaan dan keanekaragaman suku, agama, ras, dan golongan di negeri ini merupakan rahmat Tuhan yang tiada duanya di muka bumi. Kekayaan lokal yang tidak pernah dimiliki oleh Benua Eropa, Amerika, Afrika, Australia, dan Asia, bahkan apabila seluruhnya digabungkan menjadi satu.
Negeri ini, yang memiliki 34 provinsi, dengan 300 kelompok etnik/suku bangsa, dan 700 lebih bahasa daerah, yang meliputi 270 juta populasi nasional, telah dianugerahi potensi materi yang sungguh dahsyat. Terutama, bagi industri perfilman saat ini dan ke depan. Kekayaan dan keberagaman budaya daerah, itu tidak hanya akan memperkaya konten perfilman dan media sosial di tingkat lokal dan nasional, tetapi juga akan sangat berpengaruh secara global. Dan, pada gilirannya, dapat memperkaya keragaman industri dan sejarah perfilman dunia.
Singkat kata, karya seni dan budaya daerah di NKRI ini sungguh tidak ada batasnya. Dan, tidak akan ada satu kekuatan pun yang mampu membunuhnya. Tinggal bagaimana para kreator dan seniman, terutama sineas, sastrawan, penari, perupa, pegiat teater kita, mampu dan bersungguh-sungguh memanfaatkan peluang dan tantangan yang tidak hanya sangat luas, tetapi juga memiliki kedalaman nilai-nilai luhur kebudayaan yang sangat universal. Sok atuh. Monggo. Sila. Gih…!
Noorca M Massardi, Budayawan dan Anggota Lembaga Sensor Film (LSF)