Film dinilai media yang tepat untuk menyampaikan narasi kebinekaan. Sineas dinilai punya tanggung jawab moral untuk mengangkat isu yang dekat dengannya, termasuk soal Indonesia.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
Kompas
Siswa jurusan Broadcasting SMKN 1 Surabaya sedang shooting film berjudul Hari Baikmu, tahun lalu. Siswa ini sudah menghasilkan dua film pendek yang ditayangkan di stasiun televisi lokal dan nasional Jawa Timur.
Indonesia yang memiliki lebih dari 17.000 pulau, lebih dari 1.300 suku, dan 718 bahasa daerah tidak akan kehabisan cerita untuk digali dan dikembangkan. Setiap daerah, kelompok, atau individu punya kisah yang mungkin belum diketahui sesama orang Indonesia. Film dinilai sebagai medium yang tepat untuk menampilkan keberagaman itu.
Menurut produser film Mira Lesmana, jalan-jalan keliling Indonesia adalah sumber inspirasi. Interaksi dengan penduduk di sejumlah daerah bisa memperkaya perspektif. Wawasan soal Indonesia pun meluas.
”Kita perlu membuka mata, telinga, dan travel Indonesia. You have to experience and see Indonesia seperti apa,” kata Mira pada diskusi daring berjudul ”Binekaya: Berkarya dalam Keberagaman”, Jumat (29/10/2021). ”Saat mulai travelling, kita tidak akan berhenti amazed dengan Indonesia,” tambahnya.
Salah satu tantangan produksi film adalah ekspresi seni sineas kerap tidak sejalan dengan ’matematika’ lembaga pembiayaan film.
Pengalaman menjelajah negeri ia nilai dapat membangkitkan gairah bercerita. Cerita soal Indonesia ini penting disampaikan untuk memperkuat narasi kebinekaan.
TANGKAPAN LAYAR
Diskusi berjudul ”Binekaya: Berkarya dalam Keberagaman” dilaksanakan secara daring, Jumat (29/10/2021). Pembicara pada diskusi ini adalah produser film Mira Lesmana, sutradara Putratama Tuta, Direktur Utama Produksi Film Negara Judith Dipodiputro, dan komika Soleh Solihun.
Keberadaan sineas dinilai berperan penting untuk itu. Menurut Mira, sineas punya tanggung jawab moral untuk mengangkat isu atau menyisipkan nilai pada karyanya, termasuk soal keberagaman di Indonesia.
”Yang perlu dimiliki (sineas) adalah kepekaan tentang sekelilingnya, tentang manusia Indonesia,” ucap Mira. ”Kebinekaan perlu dirayakan. Ini penting agar kita menjadi manusia yang lebih baik dan mampu menerima perbedaan. Ketika tidak bisa menerima perbedaan, kita akan penuh kecurigaan (terhadap satu sama lain),” tambahnya.
Ketidakmampuan menerima perbedaan bisa memicu diskriminasi ke kelompok minioritas, misalnya difabel, penganut kepercayaan, kaum marjinal, hingga etnis tertentu. Hal ini masih terjadi di masyarakat hingga pelayan publik.
KOMPAS/RYAN RINALDY
Sebuah mobil terbakar di kawasan Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Sabtu (21/4/2018) siang. Mobil tersebut digunakan untuk proses shooting film berjudul ”22 Menit”, yang mengisahkan kejadian serangan teroris di sekitar kawasan Sarinah pada 14 Januari 2016.
Ombudsman RI mencatat 687 laporan dugaan malaadministrasi soal diskriminasi pelayanan publik selama 2014-2020. Laporan itu didominasi dugaan diskriminasi minoritas.
Intoleransi juga tampak dari data Setara Institute. Pada 2007-2018, ada 2.400 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KKB) di Indonesia. Pada 2019, terjadi 200 peristiwa pelanggaran KBB dengan 327 tindakan. Sementara pada 2020 ada 180 peristiwa pelanggaran KBB dengan 422 tindakan.
Daya film
Menurut sutradara Putratama Tuta, film bukan sekadar karya berisi gambar-gambar artistik. Film merupakan media menyampaikan gagasan. Lebih jauh, film dinilai punya daya untuk membentuk pola pikir penonton.
Ia menambahkan bahwa dengan teknik yang tepat, film tidak lagi hanya menghibur penonton, tetapi juga mengedukasi tanpa kesan menggurui. Dalam konteks tersebut, film dinilai tepat untuk menggambarkan keberagaman Indonesia.
Namun, ia menilai bahwa sebagian sineas kadang lupa menceritakan tentang Indonesia. Peran komunitas film akar rumput pun jadi penting untuk mengangkat keberagaman dari daerahnya masing-masing.
”Namun, pandemi menyebabkan kerugian besar (untuk dunia film). Komunitas film ada yang berguguran dan hilang. Padahal, mereka berperan penting untuk menjaga ekosistem film,” kata Tuta.
ARSIP BRILIAN NANDA TRISMIENANTHA
Sesi shooting oleh kru produksi besar Nol Derajat Film di Dusun Niwen, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Sabtu (19/9/2020). Pandemi tak menyurutkan Nol Derajat Film untuk tetap berkarya.
Di sisi lain, produksi film edukasi atau film ”berbobot” tidak selalu menguntungkan. Film Gie (2005) yang diproduseri Mira Lesmana, misalnya, ia sebut sulit menembus angka sejuta penonton. Film tentang sosok Soe Hoek Gie itu ditonton sekitar 400.000 orang.
Menurut Direktur Utama Produksi Film Negara (PFN) Judith Dipodiputro, salah satu tantangan produksi film adalah ekspresi seni sineas kerap tidak sejalan dengan ”matematika” lembaga pembiayaan film. Upaya menyelaraskan kepentingan sineas dan lembaga pembiayaan pun jadi penting.
Adapun PFN kini bertransformasi jadi lembaga pembiayaan. Judith mengatakan, pihaknya mendorong produksi film yang dibutuhkan negara ini walau sifat filmnya tidak komersial, misalnya film sejarah. Pihak lain diharapkan terdorong melakukan hal serupa.