Vonis 7 Tahun 8 Bulan untuk Pekerja Migran yang Bawa Kapal Limbah dari Singapura
Chosmus Palandi, pelaut migran yang membawa kapal dengan muatan limbah dari Singapura, divonis bersalah melakukan kejahatan pelayaran dan pencemaran oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Batam.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Majelis Hakim Pengadilan Negeri Batam menjatuhkan vonis 7 tahun 8 bulan kepada Chosmus Palandi, pelaut migran yang bekerja di kapal milik perusahaan Singapura. Pada 15 Juni 2021, ia ditangkap karena membawa kapal dengan muatan limbah ke perairan Batam, Kepulauan Riau. Chosmus dinyatakan bersalah melakukan kejahatan pelayaran dan pencemaran lingkungan hidup.
Sidang pembacaan vonis yang berlangsung pada Rabu (15/6/2022) itu dipimpin Yudith Irawan sebagai Ketua Majelis Hakim. Dalam perkara pertama, majelis hakim menyatakan Chosmus, warga Lampung itu, terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 317 juncto Pasal 193 Ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
Pasal 193 Ayat (1) menyatakan, selama berlayar nakhoda wajib mematuhi ketentuan yang berkaitan dengan tata cara lalu lintas, alur pelayaran, sistem rute, daerah pelayaran lalu lintas kapal, dan sarana bantu navigasi pelayaran. Atas perbuatan itu, majelis hakim menjatuhkan hukuman 8 bulan penjara dan denda Rp 50 juta subsider kurungan 3 bulan. Hukuman itu sesuai dengan tuntutan jaksa.
Dalam perkara kedua, majelis hakim juga menjatuhkan vonis bersalah kepada Chosmus yang terbukti melanggar Pasal 69 Ayat (1) Huruf d dan Pasal 106 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 69 Ayat (1) Huruf d menyatakan, setiap orang dilarang memasukkan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) ke dalam wilayah NKRI.
Oleh karena itu, majelis hakim menjatuhkan hukuman 7 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar subsider kurungan 3 bulan. Hukuman itu juga sesuai dengan tuntutan jaksa.
Menanggapi hal itu, penasihat hukum terdakwa Rustam Ritonga, Awaluddin Harahap, dan Bakhtiar Batubara menyatakan, pihaknya akan mengajukan pikir-pikir terhadap vonis hakim dalam perkara pelayaran atau perkara pertama. Namun, pihaknya akan mengajukan banding atas putusan hakim dalam perkara pencemaran lingkungan atau para perkara kedua.
”Kami menghormati putusan hakim, tetapi kami kecewa karena pembelaan kami tidak dilihat sama sekali,” kata Bakhtiar.
Kami menghormati putusan hakim, tetapi kami kecewa karena pembelaan kami tidak dilihat sama sekali. (Bakhtiar Batubara)
Pekerja migran
Kasus itu bermula pada 13 Juni 2021, saat Chosmus dan dua warga negara Indonesia (WNI) lain membawa kapal small boat (SB) Cramoil Equity berbendera Belize dari Pelabuhan Penjuru, Singapura. Manajer Direktur Cramoil Singapore Pte Ltd Tan Kim Seng memerintahkan mereka memindahkan 20.000 liter limbah B3 ke kapal tanker (MT) Tiger Star yang menunggu di perairan sebelah timur Singapura.
Akan tetapi, Chosmus tidak melaksanakan perintah Tan untuk merapat ke MT Tiger Star. Ia membelokkan rute SB Cramoil Equity ke arah perairan Batam. Ia lalu ditangkap petugas Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Batam karena dicurigai akan membuang limbah B3 di perairan Batam.
Bakhtiar mengatakan, Chosmus membelokkan rute SB Cramoil Equity ke Batam karena ia tidak tahan dengan perlakuan kerja di Singapura. Selama pandemi Covid-19, semua anak buah kapal (ABK) SB Cramoil Equity tidak diizinkan turun ke darat.
Awaluddin menambahkan, perjanjian kerja laut dan buku pelaut Chosmus juga kedaluwarsa. Ia menilai perusahaan pemilik kapal sengaja tidak memperpanjang dokumen itu agar dapat cuci tangan saat dimintai pertanggungjawaban hukum.
Pada 6 Juni lalu, dalam sidang dengan agenda pembacaan nota pembelaan, Awaluddin menyatakan, Chosmus adalah pekerja migran yang menjadi korban perbudakan di laut. Terdakwa membelokkan rute kapal ke Batam untuk mencari perlindungan hukum, tetapi justru ditangkap oleh aparat.
Sampai hari ini kapal pembawa limbah berukuran 53 GT itu masih sandar di Pelabuhan Sekupang, Batam. Mengutip Straits Times, pemilik kapal SB Cramoil Equity, yakni Cramoil Pte Ltd, pernah terjerat kasus karena membuang limbah B3 ke saluran umum. Akhir April 2018 itu, otoritas Singapura memerintahkan perusahaan pengolah limbah itu menghentikan operasi.
Perusahaan Cramoil diketahui telah berulang kali melakukan pelanggaran serupa. Sejak 2010, perusahaan itu telah melakukan 20 kali pelanggaran serupa dan harus membayar denda Rp 558 juta.