Dilarang Berdagang, Pedagang Asongan Borobudur Minta Pendampingan LBH Yogyakarta
Para pedagang asongan di Candi Borobudur meminta pendampingan dari LBH Yogyakarta. Hal ini dilakukan setelah mereka dilarang berjualan di area zona II candi.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·5 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Ratusan pedagang asongan di Taman Wisata Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, berencana meminta pendampingan dari Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta. Bantuan hukum diperlukan untuk membantu memperkuat posisi mereka, yang saat ini mulai tidak boleh berjualan di area zona II kompleks Taman Wisata Candi Borobudur.
Ketua Umum Serikat Pekerja Pariwisata Borobudur Wito Prasetyo mengatakan, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta akan membantu membuat kajian hukum terkait posisi dan keberadaan pedagang asongan yang sudah puluhan tahun berdagang di Taman Wisata Candi Borobudur.
”Hasil kajian hukum ini sangat kami butuhkan sebagai bekal sekaligus pegangan jika sewaktu-waktu nantinya kami para pedagang kembali mendapat perlakuan tidak menyenangkan, digugat atau diusir oleh pihak Taman Wisata Candi Borobudur,” ujarnya, Senin (13/6/2022).
Jumlah pedagang yang kini tidak lagi diizinkan berjualan lebih dari 300 orang. Para pedagang tersebut menjual 14 jenis produk, antara lain batik, kerajinan patung, kartu pos, dan aneka miniatur candi.
Semula mereka menempati area di depan Museum Karmawibhangga. Setelah sebelumnya tidak berjualan karena kunjungan wisata di Candi Borobudur ditutup selama masa pandemi, sejak awal 2022 para pedagang berupaya agar bisa kembali berjualan di dalam kompleks Taman Wisata Candi Borobudur.
Namun, setelah melalui belasan kali pertemuan, pada April lalu, pihak Taman Wisata Candi Borobudur memutuskan para pedagang asongan dilarang kembali berjualan di depan museum. Jika tetap ingin berdagang, mereka diminta bergeser ke area parkir yang sebelumnya juga sudah dihuni ratusan pedagang lain.
Wito mengatakan, pihak Taman Wisata Candi Borobudur hanya menerangkan bahwa area di depan museum tidak boleh lagi dipakai. Pasalnya, area tersebut sebenarnya bukan area komersial. Kendati beralasan demikian, pihak Taman Wisata Candi Borobudur justru membuka kedai dan menjual aneka minuman di sekitar museum.
”Melihat kenyataan di lapangan, kami berkesimpulan bahwa alasan area depan museum bukan area komersial semata-mata hanya alasan yang dicari-cari untuk menyingkirkan pedagang dan warga lokal yang ingin mengais rezeki di sana,” katanya.
Dia mencurigai upaya menggeser pedagang adalah bagian dari skenario menyingkirkan warga lokal dan memberi kesempatan kepada investor-investor besar.
”Dimulai dengan menyingkirkan pedagang asongan, bisa jadi nantinya upaya menghapuskan keterlibatan warga di wisata Borobudur merambat hingga pelaku-pelaku wisata lainnya,” ujarnya.
Kecurigaan ini muncul karena saat ini pemerintah pusat dan PT Taman Wisata Candi Borobudur bekerja sama dengan salah satu operator transportasi daring mulai gencar menggaungkan konsep wisata hijau dan meluncurkan puluhan sepeda motor listrik sebagai angkutan wisata di kawasan Borobudur. Padahal, jauh sebelumnya, masyarakat Borobudur telah memiliki kendaraan wisata yang bebas emisi karbon, yaitu andong dan becak.
Setelah sebelumnya Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi mengumumkan rencana menetapkan harga tiket candi sebesar Rp 750.000 per orang, upaya menghentikan pedagang asongan berjualan dan menghentikan pengoperasian kendaraan listrik dicurigai bagian dari upaya menciptakan wisata Borobudur sebagai wisata eksklusif dan mahal.
Puluhan tahun
Kodiran (50), salah seorang pedagang asongan yang menjual patung perunggu, mengatakan, dirinya sudah berjualan dengan cara mengasong sejak tahun 1982. Ketika itu, PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko bahkan belum berdiri.
Memulai dengan berjualan di depan Kantor Kecamatan Borobudur, dia kemudian mencoba pindah ke area parkir Taman Wisata Candi Borobudur. Namun, setelah dibangun Kantor Unit Taman Wisata Candi Borobudur di bawah manajemen PT Taman Wisata Candi Borobudur, semua pedagang asongan dipindahkan ke lokasi lain.
”Setiap kali ada pergantian manajemen di Kantor Unit Candi Borobudur, kami, para pedagang, selalu diarahkan berpindah lokasi. Kami selalu menurut, tapi sebenarnya kami pun bingung karena perpindahan itu tidak pernah didasari alasan jelas,” tutur warga Desa Ringinanom, Kecamatan Tempuran, ini.
Sekitar 300 pedagang asongan tersebut biasa berdagang di tepi jalur keluar pengunjung di depan Museum Karmawibhangga. Mereka biasanya menawarkan barang dagangan kepada pengunjung yang akan berjalan pulang.
Hal senada juga dituturkan Siyami (57). Setelah sebelumnya semua aktivitas berhenti karena pandemi, pada tahun 2022 sebenarnya dia sudah optimistis dan kembali mengeluarkan modal Rp 1 juta untuk menambah stok dagangan kaus Borobudur. Semua itu disiapkannya untuk menyambut masa liburan sekolah pada Juni-Juli ini. Namun, semuanya pupus karena para pedagang justru dilarang berjualan.
Pelaksana Harian Kepala Dinas Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata Jawa Tengah Setyo Irawan mengatakan, pihaknya sebatas akan mendata semua keluhan dan menyampaikannya kepada Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Dalam hal ini, Setyo menuturkan, pihaknya tidak bisa turut campur terlalu jauh karena segala aktivitas dalam area zona II sepenuhnya berada di bawah kewenangan Taman Wisata Candi Borobudur.
Wakil Sementara General Manager Taman Wisata Candi Borobudur Pujo Suwarno mengatakan, sesuai keputusan dari manajemen Taman Wisata Candi Borobudur, area sekitar Museum Karmawibhangga harus bersih dari pengasong.
”Selain karena area itu bukan area berdagang, kebijakan itu sengaja kami terapkan demi menjaga kenyamanan pengunjung,” ujarnya.
Para pedagang tersebut, menurut dia, sebelumnya sudah diberi fasilitas lapak dan kios di sekitar museum. Namun, karena tetap ingin mengasong, kios dan lapak tersebut justru dijual kepada pihak lain.
Ke depan, Pujo mengatakan, pihaknya berencana menempatkan pedagang untuk berjualan di desa masing-masing. Adapun para wisatawan nantinya akan ditarik datang ke desa dengan memilih paket-paket wisata khusus, yang saat ini tengah dirancang oleh Taman Wisata Candi Borobudur.
Direktur LBH Yogyakarta Julian Dwi Prasetya mengatakan, pada prinsipnya LBH siap memberikan akses bantuan hukum kepada siapa pun yang merasa diperlakukan tidak adil. Terkait masalah yang dihadapi para pedagang asongan di Candi Borobudur, Julian mengatakan, pihaknya sudah sempat berkoordinasi secara informal.
Pertemuan serius baru akan dilakukan. ”Kami baru akan bertemu langsung dengan para pedagang asongan,” katanya.