Hujan Masih Turun di NTT, Warga Belum Rasakan Dampak Musim Kemarau
Hujan mengguyur sejumlah wilayah NTT selama lebih dari satu pekan terakhir. Kondisi ini membantu memperlambat kekeringan di daerah itu.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
SOE, KOMPAS — Sejumlah daerah di NTT masih diguyur hujan dengan intensitas ringan hingga lebat lebih dari satu pekan terakhir. Kondisi ini dipengaruhi dinamika atmosfer lokal yang tidak stabil sehingga berkontribusi pada pembentukan awan hujan. Hujan saat musim kemarau sedikit banyak membantu meminimalkan beragam dampak buruknya di daerah tersebut.
Hingga Jumat (10/6/2022), hujan masih terjadi di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Malaka, dan Kabupaten Belu. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) juga menyebut, hujan turun di Kabupaten Alor, Ngada, Manggarai, dan Kabupaten Flores Timur, sisi utara provinsi tersebut.
Kepala BMKG Stasiun Meteorologi El Tari Kupang Agung Sudiono Abadi mengatakan, secara umum wilayah NTT telah berada pada musim kemarau. Namun, beberapa hari terakhir masih terjadi hujan intensitas ringan hingga lebat di sejumlah kabupaten/kota. Di beberapa daerah bahkan disertai petir dan angin kencang. Fenomena ini diprediksi masih akan terjadi hingga beberapa hari ke depan.
”Hal ini dipicu dinamika atmosfer skala lokal yang tidak stabil dengan konvektivitas yang cukup tinggi serta didukung kondisi dinamika atmosfer skala regional yang cukup aktif sehingga berkontribusi pada pembentukan awan hujan,” kata Agung.
Selain itu, kata dia, hal yang memengaruhi cuaca tersebut adalah masih hangatnya suhu muka laut di wilayah perairan NTT sehingga berkontribusi meningkatkan uap air di atmosfer. Wilayah NTT didominasi perairan seluas lebih kurang 200.000 kilometer persegi.
”Yang perlu dipahami, musim kemarau bukan berarti tanpa hujan sama sekali dalam satu bulan atau dalam periode musim tersebut. Perubahan cuaca juga tergantung sebaran awan dan interaksi dinamika atmosfer dan lautan,” ucapnya.
Kekeringan
Di sejumlah daerah, hujan ikut membantu memperlambat dampak kekeringan. Biasanya, mulai Juni, banyak warga NTT sudah kesulitan mendapatkan air bersih. Kondisi itu menyebabkan berbagai masalah, mulai dari tumbuh kembang anak hingga memengaruhi kondisi perekonomian warga.
Warga di Kabupaten Timor Tengah Selatan terus merasakan dampak buruk kemarau. Rawan kekeringan dan krisis air bersih setiap tahun, mulai Juni hingga November hingga Desember, membuat daerah ini susah payah meminimalkan kasus tengkes.
Studi Status Gizi Indonesia 2021 menyebut angka prevalensi tengkes di sana mencapai 48,3 persen atau terbesar di Indonesia. Artinya, 48 dari 100 anak balita di daerah itu mengalami tengkes. Angka ini melebihi standar Badan Kesehatan Dunia (WHO) sekitar 20 persen.
”Sekarang air di sumur masih banyak. Anak-anak kami masih mandi di rumah,” kata Rofina (42), warga Kampung Polen, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Namun, saat kekeringan datang, warga harus mencarinya hingga ke sungai yang sering kali kualitas airnya tidak layak minum.
Kekeringan juga rawan mengganggu potensi NTT sebagai daerah lumbung ternak sapi nasional. Tahun 2020, populasi sapi potong di NTT sebanyak 1,1 juta ekor atau terbesar kelima di Indonesia. Ironisnya, saat musim kemarau, peternak kerap harus mengeluarkan biaya tambahan untuk pakan.
Goris Sikas (52), peternak sapi di Kaubele, Kabupaten Timor Tengah Utara, menuturkan, hujan membuat rumput masih menghijau. Sapi masih digembalakan sekitar kebun. ”Bila kemarau tiba, kami harus membeli makanan sapi karena rumput segar sulit didapat,” katanya.