BMKG terus memantau kembali menguatnya fenomena alam La Nina di Indonesia. Ini bisa berdampak pada musim kemarau yang lebih mundur.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Fenomena La Nina yang telah berlangsung selama dua tahun terakhir dan sempat melemah sejak Januari 2022 kini kembali menguat. Kondisi ini bisa berdampak pada peningkatan hujan di sebagian wilayah Indonesia dan musim kemarau lebih mundur dari prakiraan sebelumnya.
”Model prakiraan iklim jangka panjang dari beberapa lembaga pengkajian iklim internasional mengindikasikan kemungkinan La Nina dapat terus berlangsung hingga akhir tahun. Ini bisa menjadikan tiga tahun berturut-turut dengan La Nina,” kata peneliti iklim dan Subkoordinator Bidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Siswanto, di Jakarta, Minggu (29/5/2022).
Peristiwa La Nina ditandai jika indeks ENSO (El Nino Southern Oscillation) setidaknya -0,5 derajat celsius dari rata-rata selama setidaknya tiga bulan berturut-turut. Indeks ENSO ini diukur dari penurunan suhu permukaan laut di Samudra Pasifik dekat zona ekuator atau Nino 3,4 dibandingkan perairan sekitarnya. Sebaliknya, semakin positif atau panas suhu permukaan laut di perairan ini, yang terjadi adalah El Nino.
BMKG masih melakukan pemonitoran untuk memutuskan kemungkinan perlunya pemutakhiran prakiraan musim kemarau 2022.
Menurut Siswanto, Samudra Pasifik telah berada dalam fase La Nina selama dua musim panas dalam dua tahun belakangan ini. Pertama terjadi antara akhir September 2020 dan Maret 2021, yang diikuti oleh La Nina yang dimulai pada November 2021 dan masih berlangsung hingga kini.
Ia menambahkan, sebagian besar model prediksi ENSO saat ini menyebutkan, kondisi La Nina lemah bakal bertahan hingga Juni-Agustus 2022 dengan probabilitas 62 persen. Kondisi diperkirakan berlanjut hingga musim gugur di belahan bumi utara dan awal musim dingin dengan peluang 55-60 persen. ”Meskipun ada juga beberapa model yang berbeda, yaitu mengindikasikan menuju kondisi normal,” katanya.
Koordinator Bidang Analisis Variabilitas Iklim Supari mengatakan, sejak Maret intensitas La Nina semakin menguat. Pada Januari-Februari, indeks ENSO telah mencapai -0,9 hingga -0,8 yang menunjukkan bahwa La Nina sudah berkurang. Namun, pada Maret-Mei menguat kembali dan indeks ENSO berkisar -1,1 atau intensitas sedang. ”Hingga dasarian pada 2 Mei lalu, indeks ENSO -1,12,” kata Supari.
Dia menambahkan, episode berantai La Nina tahun ketiga relatif jarang terjadi. ”Dalam sejarah, dari 1950 pernah terjadi delapan kali kejadian La Nina berkepanjangan, dua di antaranya menjadi berlanjut hingga tahun ke-3, yaitu 1973, 1974, dan 1975 serta 1998, 1999, dan 2000,” katanya.
Pengaruhi musim kemarau
Supari mengatakan, La Nina yang berkepanjangan ini diprakirakan akan memengaruhi musim kemarau di Indonesia. ”Sebetulnya saat membuat prakiraan musim kemarau pada Februari 2022 lalu, kami sudah memperhitungkan adanya kondisi basah di kemarau tahun ini dan itu menyebabkan sebagian besar zona musim akan mundur musim kemaraunya," ujarnya.
Meski demikian, prakiraan waktu itu masih dengan asumsi pada semester kedua 2022 kondisi ENSO akan netral. Pemonitoran terkini menunjukkan potensi La Nina berlanjut di semester kedua dan ada indikasi bahwa musim kemarau jauh lebih mundur dari yang diperkirakan dan kondisi jauh lebih basah dari yang diprakirakan.
”BMKG masih melakukan monitoring untuk memutuskan kemungkinan perlunya pemutakhiran prakiraan musim kemarau 2022,” ucapnya.
Sebelumnya, dalam prakiraan musim kemarau yang dirilis pada Maret 2022 lalu, BMKG memprediksi, jika dibandingkan dengan rerata klimatologis dari tahun 1991 sampai 2020, sebanyak 163 zona musim atau 47,7 persen di antaranya mengalami awal musim kemarau mundur. Sebanyak 90 zona musim atau 26,6 persen mengalami musim kemarau yang sama dengan rerata tahunannya dan 89 zona musim atau 26 persen mengalami musim kemarau maju, bahkan sebagian sudah dimulai.
Siswanto menambahkan, penguatan kembali La Nina sejak awal Maret telah meningkatkan curah hujan di Indonesia. Beberapa daerah yang sesuai rata-rata iklimnya seharusnya sudah masa transisi menuju musim kemarau juga masih mengalami hujan dengan intensitas cukup tinggi. Namun, menurut Siswanto, peningkatan hujan hari-hari di sebagian wilayah Jawa, termasuk Jabodetabek, juga dipicu oleh kondisi regional dan dinamika cuaca harian.
Bibit siklon
Berdasarkan data dari BMKG, sejumlah wilayah Indonesia, termasuk Jabodetabek, mengalami hujan dengan intensitas sedang hingga lebat dalam dua hari terakhir. ”Peningkatan hujan ini terjadi sebagai dampak tidak langsung dari kemunculan dua bibit siklon di sekitar wilayah Indonesia, yaitu 92 S dan 93 W,” kata Koordinator Bidang Prediksi dan Peringatan Dini Cuaca BMKG Miming Saepudin.
Menurut Miming, bibit siklon tropis 92 S berada di Samudra Hindia selatan Jawa Barat, tepatnya di 16,3 derajat Lintang Selatan (LS) dan 108 derajat Bujur Timur (BT), dengan kecepatan angin maksimum 20 knot dan tekanan udara minimum 1005,8 mb. ”Dalam 72 jam kedepan menunjukkan bibit 92 S pergerakannya ke arah tenggara. Potensi sistem ini untuk tumbuh menjadi siklon tropis dalam 24 jam kedepan berada dalam kategori rendah,” tuturnya.
Bibit siklon ini, menurut Miming, telah memicu peningkatkan potensi hujan sedang hingga lebat di wilayah Provinsi Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Angin kencang dengan kecepatan di atas 25 knot berpotensi terjadi di wilayah Provinsi Bengkulu, Lampung, Banten, dan Jawa Barat.
Selain itu, tinggi gelombang 2,5 meter-4meter bisa terjadi di Samudra Hindia barat Lampung hingga selatan Banten, perairan barat Lampung, Selat Sunda bagian barat dan selatan, perairan selatan Pulau Jawa, serta Samudra Hindia sebelah selatan Jawa Timur. Adapun tinggi gelombang 4-6 meter bisa terjadi di Samudra Hindia selatan Jawa Barat-Jawa Tengah.
Miming menambahkan, bibit siklon tropis 93 W terbentuk di Laut Filipina, sebelah utara Papua Barat, tepatnya di 5,1 derajat LU dan 132,8 derajat BT, dengan kecepatan angin maksimum 15 knot dan tekanan udara minimum 1010,3 mb.
Diprediksi, dalam 72 jam kedepan bibit 93 W akan bergerak ke arah barat barat laut dan potensi sistem ini untuk tumbuh menjadi siklon tropis dalam 24 jam ke depan berada dalam kategori rendah. Sekalipun demikian, bibit siklon ini akan meningkatkan hujan sedang hingga lebat di wilayah Provinsi Sulawesi Utara, Maluku Utara, dan Papua Barat.