Pakaian bekas tak harus dibuang. Generasi muda kini tak malu berburu pakaian bekas bermerek lewat tren ”thrift shopping”. Mendapat pakaian bermerek dengan harga miring seperti berburu harta karun.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·5 menit baca
Bekas tak harus dibuang. Seperti halnya pakaian seken bermerek yang belakangan digandrungi kalangan anak muda, termasuk di Surakarta, Jawa Tengah. Demi berhemat, mereka pilih berburu ”harta karun” di antara tumpukan dan gantungan baju bekas demi tampil trendi.
Leoni Aliyah (22) berjalan cepat menghindari terik matahari yang menyengat di area Pasar Klithikan Notoharjo, Kota Surakarta, Rabu (8/6/2022). Langkah mahasiswi Institut Seni Indonesia Surakarta itu mantap menuju kumpulan los pedagang di sisi timur pasar. Sesampainya di lorong los penuh gantungn pakaian, kacamata hitamnya dilepas. Matanya berbinar. Dan, perburuan dimulai.
Dengan cekatan, ia mengintip satu per satu pakaian bekas, mulai dari kaus, kemeja, jaket, hingga celana. Ada yang bermerek terkenal di dunia outfit kasual olahraga, ada juga yang tidak. ”Wah, keren juga. Kayaknya hari ini barangnya lagi bagus-bagus. Jadi bingung mau ambil yang mana,” kata Leoni.
Kebingungan dengan maraknya pilihan, Leoni melanjutkan petualangan di antara ”rimba” gantungan pakaian. Meski sekilas, matanya awas mencermati. Total, dua jam ia berkeliling ke puluhan los penjual pakaian bekas tersebut. Pilihannya jatuh pada sebuah celana jogger. Setelah mengecek lewat internet, ia memastikan barang tersebut asli sehingga semakin mantap membelinya.
”Awalnya, ini dijual Rp 125.000. Terus saya coba tawar, akhirnya dapat Rp 85.000. Senang rasanya. Memang budget (anggaran) Rp 100.000. Soalnya, kan, masih kuliah juga. Jadi, uangnya mepet, he-he-he,” ujar Leoni seraya tersenyum.
Bagi gadis asal Sidoarjo, Jawa Timur, itu tawar-menawar menjadi hal penting dalam rumusan berburu pakaian bekas. Sebab, keberhasilan membeli pakaian dengan harga murah akan menjadi kepuasan tambahan, selain mendapat barang bermerek atau berkualitas. Rasa lelah berkeliling pasar sambil memilih dan memilah pakaian yang tergantung terbayar lunas.
Berbelanja demi mendapat harga barang lebih murah dan barang yang tidak biasa, seperti selera pasar saat ini atau belakangan ngetren dengan istilah thrift shopping atau thrifting, sebenarnya baru diikuti Leoni dua tahun terakhir. Semula, ia diajak kakak-kakak tingkatnya ke Pasar Notoharjo. Lama-lama, ia ketagihan. Pasar menjadi pilihan utamanya meski festival lapak pakaian bekas belakangan marak di Surakarta.
”Di pasar lebih seru. Lebih dapat feel-nya. Bisa tahu-tahu dapat apa begitu. Misalnya, kaus-kaus ’Dickies’. Pertama kali diajak itu tidak menyangka juga. Ternyata banyak harta karun di sini,” kata Leoni.
Sensasi berburu harta karun pakaian bekas bermerek lebih menyenangkan dilakukan di pasar. Terkadang, hasilnya berbuah kejutan. Harganya pun biasanya lebih murah.
Pengalaman senada diungkapkan Agustinus Cyto Kurniawan (25), warga Surakarta. Menurut dia, sensasi berburu harta karun pakaian bekas bermerek lebih menyenangkan dilakukan di pasar. Terkadang, hasilnya berbuah kejutan. Harganya pun biasanya lebih murah.
”Saya pernah dapat jaket zipper bergaya Jepang. Sampai pernah ditawar orang harga Rp 200.000. Aku enggak lepas karena memang suka jaketnya. Itu dapatnya juga dari ngawul atau yang sekarang banyak dikenal dengan istilah thrifting,” kata Cyto.
Sebenarnya, Cyto sudah mengenal kegiatan berburu pakaian bekas sejak kanak-kanak. Namun, ia baru benar-benar ikut menjadi pemburu pakaian bekas setelah duduk di bangku kuliah, pada 2015. Barang buruannya adalah jaket dengan model sweater, crewneck, hoodie, hingga varsity.
Lebih klasik
Meski begitu, bagi Cyto, pakaian bekas yang dibeli tak harus bermerek. Yang terpenting cocok dengan gaya personalnya, yaitu retro, vintage, atau lawas. Kelawasan itulah yang sering ditemukannya pada pakaian bekas ketimbang pakaian baru yang dipasarkan di toko modern.
”Soalnya pakaian bekas ini, kan, memang barang-barang lama di luar negeri. Jadi, gayanya pasti lawas. Model yang klasik begini aku suka. Di samping harganya miring,” ujarnya.
Sejak 2020, Cyto juga rajin membuat konten media sosial Tiktok. Semula, kontennya berisikan meme dan tarian. Pada 2021, ia terinspirasi membuat konten berpakaian lawas. Ternyata banyak yang menyukai. Sampai-sampai, citra lawas itu melekat dan menjadi identitasnya kini.
Jika Cyto dan Leoni gemar thrifting di pasar, Erik Sihombing (30), warga Sragen, mengaku lebih memilih festival lapak pakaian bekas. Baginya, di ajang seperti itu, pilihan yang disajikan sudah dikurasi sehingga kualitasnya biasanya lebih baik.
Dalam sepekan, Erik bisa dua sampai tiga kali mengunjungi festival lapak pakaian bekas. Ia juga selalu menargetkan pakaian-pakaian bekas merek wahid. ”Tetapi, tergantung koleksi yang ditawarkan juga. Kalau enggak bermerek tetapi cocok, ya, saya angkut juga,” ucapnya.
Kebiasaan berburu pakaian bekas, lanjut Erik, dilakukan untuk mendukung pekerjaannya sehari-hari sebagai pembawa acara yang menuntutnya selalu tampil beda dan menarik. Belanja pakaian bekas berkualitas menjadi alternatif mengirit isi kantong.
”Pengalaman paling menarik, dulu pernah dapat jaket merek The North Face, yang memang sudah saya pengin banget. Dari harga Rp 350.000, saya dapat Rp 265.000. Harga barunya Rp 500.000-Rp 600.000,” kenang Erik.
Pegiat lapak festival pakaian bekas di Surakarta, Tetuko Bayu Aji (26), yang karib disapa Bobby, mengatakan, secara khusus, berburu pakaian seken punya filosofi. Bukan semata-mata mencari barang berharga murah, melainkan bagaimana memberi nilai tambah atas barang yang diperoleh.
Untuk itu, kadang ada barang tertentu yang bisa dijual kembali dengan harga berjuta-juta rupiah dan masih saja ada pembelinya. Mereka biasanya kolektor yang menilai pakaian bekas tersebut punya histori panjang. Di sini, pakaian bekas diposisikan sebagai memorabilia. Harga akan berpotensi melangit jika barang sudah tak diproduksi lagi dan sangat sedikit pemiliknya.
Bagi Bobby yang juga penggagas festival lapak pakaian bekas bertajuk Solo Market Fest, salah satu esensi thrifting adalah bagaimana menghargai setiap produk meski sudah dalam bentuk bekas. Metodenya pun selayaknya mencari harta karun yang bagi setiap orang punya nilai beragam. Ada yang mencari barang bagus dengan harga murah atau barang langka di kumpulan yang acak. Pengalaman ini jauh berbeda dibandingkan belanja barang baru yang sudah pasti ada stoknya.