Kompetisi Pasar Kian Ketat, Produsen Khawatirkan Dampak Tren ”Thrifting”
Baju bekas impor dijual dengan harga miring sehingga membuat produsen tekstil sulit bersaing. Di sisi lain, alih-alih mengurangi limbah, Indonesia malah berpotensi jadi ”empat pembuangan” baju bekas dari negara lain.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tren berbelanja baju bekas atau thrift shopping yang semakin marak memicu kekhawatiran pelaku industri tekstil dalam negeri. Kegiatan menjual dan membeli baju bekas yang sejatinya untuk mengurangi limbah tekstil itu dapat membuka keran impor pakaian bekas yang merugikan industri dalam negeri dan justru membawa masuk ”sampah” baru.
Dewasa ini, budaya mengonsumsi baju bekas telah menjadi tren yang menyebar di kalangan masyarakat perkotaan, khususnya anak-anak muda. Kebiasaan itu berkembang seiring dengan tumbuhnya kesadaran konsumen untuk mengurangi sampah tekstil dan mendorong mode berkelanjutan (sustainable fashion).
Direktur Eksekutif Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (Ikatsi) Riza Muhidin mengatakan, meskipun tren tersebut berawal dari niat baik untuk mengurangi limbah dan menjaga lingkungan, pada praktiknya pasar yang tercipta akibat budaya thriftingitu justru membuka keran baru perdagangan impor pakaian bekas yang menggerus industri lokal.
Sebagai gambaran, Badan Pusat Statistik mencatat, sepanjang tahun 2021, nilai impor barang tekstil sudah jadi lainnya, pakaian bekas dan barang tekstil bekas, serta gombal atau kain tua (HS 63) mencapai total 328,2 juta dollar AS atau setara dengan Rp 4,7 triliun (kurs Rp 14.493 per dollar AS).
Nilai impor tersebut meningkat selama lima tahun terakhir. Pada 2020, nilai impor HS 63 adalah 308,7 juta dollar AS (Rp 4,4 triliun), pada 2019 mencapai 164,5 juta dollar AS (Rp 2,3 triliun), tahun 2018 sebesar 133,3 juta dollar AS (Rp 1,9 triliun), dan tahun 2017 senilai 114,9 juta dollar AS (Rp 1,6 triliun).
Di pasaran, baju bekas impor yang umumnya bermerek dijual dengan harga miring sehingga membuat produsen tekstil dalam negeri, khususnya yang berskala kecil dan menengah, semakin terdesak. Selain harus bersaing dengan derasnya arus impor pakaian baru, mereka juga harus berkompetisi dengan laju impor pakaian bekas.
Padahal, berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015, impor pakaian bekas sebetulnya dilarang karena tidak higienis dan berpotensi membahayakan kesehatan. Pakaian bekas yang telanjur tiba wajib dimusnahkan dan importir yang memperdagangkannya dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Pasal 47 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan juga mengatur bahwa setiap importir wajib mengimpor barang dalam keadaan baru meskipun dalam keadaan tertentu, Menteri Perdagangan dapat menetapkan barang yang diimpor dalam keadaan tidak baru.
Di pasaran, baju bekas impor yang umumnya bermerek dijual dengan harga miring sehingga membuat produsen tekstil dalam negeri, khususnya yang berskala kecil dan menengah, semakin terdesak.
”Kalau sampai memunculkan importasi ilegal, sudah tidak sehat sebetulnya. Pasar domestik jadi dipenuhi pakaian bekas, industri dalam negeri sulit bertumbuh, dan kesehatan masyarakat juga terancam,” kata Riza saat dihubungi, Rabu (8/6/2022).
Sampah baru
Menurut Analis Kebijakan Industri dan Perdagangan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Farhan Aqil Syauqi, alih-alih mengurangi limbah tekstil, Indonesia malah menjadi ”tempat pembuangan” pakaian bekas dari negara lain. Cita-cita awal untuk mendaur ulang pakaian pun tidak tercapai karena limbah baru justru tercipta melalui impor pakaian bekas itu.
Hal itu karena impor pakaian bekas umumnya dilakukan dalam bentuk bal (karung) yang tidak diketahui dengan jelas isi dan asal-usulnya. ”Karena pedagang membeli dalam bentuk bal-balan, isinya tidak diketahui. Bahkan, ada karung yang isinya ternyata pakaian dalam atau baju lentur yang tidak bisa dijual lagi. Ujung-ujungnya, kita jadi mengimpor sampah baru,” ujarnya.
Aqil menambahkan, sebenarnya ada solusi lain yang dapat ditempuh untuk mengurangi limbah dan mendorong terwujudnya mode yang lebih berkelanjutan. Misalnya, mendorong pengembangan industri daur ulangproduk tekstil.
Saat ini, penggunaan serat berbahan baku daur ulang, seperti polyester recycled, sudah banyak dikembangkan, termasuk oleh industri dalam negeri. ”Konsumen bisa memilih baju dengan bahan baku recycled ini. Asalnya dari botol plastik bekas yang nantinya dijadikanchip kembali dan dipintal menjadi benang untuk memproduksi kain baru layak pakai,” kata Aqil.
Kajian analisis impor pakaian bekas oleh Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP) Kementerian Perdagangan pada 2015 sebenarnya sudah menyoroti imbas buruk dari impor pakaian bekas, baik dari sudut hukum, ekonomi (industri), maupun kesehatan.
Dari sudut industri, impor pakaian bekas mengganggu pasar domestik yang merupakan pangsa pasar utama bagi industri garmen kecil dan konveksi, yang mendominasi sektor TPT. Industri kecil menengah yang umumnya tidak berorientasi ekspor itu harus berbagi pasar dengan impor pakaian bekas dan kalah bersaing dengan harga miring dan merek besar yang ditawarkan.
Adapun dari sudut kesehatan, uji sampel yang dilakukan Kemendag terhadap 25 pakaian bekas yang ada di Pasar Senen menemukan ada beberapa jenis mikroorganisme, seperti bakteri Staphylococcus aures, bakter Escherichia coli (e-coli), dan jamur kapang. Kandungan berbagai mikroba dan jamur itu bisa mengakibatkan gangguan pencernaan, gatal-gatal, dan infeksi.