Kunjungan Wisatawan ke Candi di Malang Berangsur Membaik
Meski tidak seramai Candi Borobudur, candi-candi di kawasan Malang Raya, Jawa Timur, juga menarik minat banyak wisatawan.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS — Kunjungan wisatawan ke sejumlah candi di kawasan Malang Raya, Jawa Timur, berangsur membaik setelah ditutup hampir 1,5 tahun akibat pandemi Covid-19. Meski tidak seramai Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah, candi-candi di Malang Raya banyak menarik minat wisatawan, khususnya domestik.
Di Malang ada sekitar 20 candi yang pengelolaannya di bawah Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur. Dari jumlah tersebut, beberapa candi cukup terkenal, seperti Singosari (Singhasari), Sumberawan, Badut, Jago (Jajaghu), Kidal, hingga Songgoriti. Candi-candi berbahan batu andesit itu dibangun pada masa berbeda dalam rentang abad ke-8 hingga ke-13 M.
Juru Pelihara Candi Badut yang juga Koordinator Juru Pelihara Candi se-Malang Raya, Jayadi, Rabu (8/6/2022), menuturkan, sejak Maret 2020 praktis semua candi di Kabupaten Malang, Kota Malang, dan Kota Batu ditutup untuk umum akibat pandemi. Candi-candi itu baru dibuka kembali pada September 2021 sesuai level pembatasan sosial yang berlaku kala itu.
”Begitu candi tersebut dibuka, wisatawan langsung datang berkunjung. Namun, jumlahnya dibatasi sesuai level PPKM (pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat),” ujarnya saat ditemui di area Candi Badut, Kelurahan Karangbesuki, Kecamatan Sukun, Kota Malang.
Meski demikian, lanjut Jayadi, tingkat kunjungan wisatawan berbeda antara satu candi dengan lainnya. Tidak semua candi memiliki tingkat kunjungan serupa. Dia mencontohkan beberapa candi yang banyak dikunjungi, di antaranya Candi Singosari di Kelurahan Candirenggo, Kecamatan Singosari dan Candi Jago di Desa/Kecamatan Tumpang.
Perbedaan tingkat kunjungan wisatawan ini disebabkan lokasi kedua candi lebih mudah diakses. Singosari, misalnya, dekat dengan pusat ibu kota kecamatan dan Candi Sumberawan. Sementara Candi Jago dekat dengan Candi Kidal dan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.
Sebelum pandemi, jumlah pengunjung bisa mencapai 800-1.000 orang per bulan.
”Kalau Candi Badut ini lokasinya agak masuk sehingga pengunjungnya tidak sebanyak candi yang lain, masih sepi,” ujarnya. Jayadi mencontohkan, angka kunjungan ke Candi Badut selama Mei hanya 300-an orang. Padahal, sebelum pandemi, jumlah pengunjung bisa mencapai 800-1.000 orang per bulan.
Candi Badut didirikan oleh Raja Gajayana pada 760 M (berdasarkan Prasasti Dinoyo). Badut juga merupakan candi Hindu tertua di Jawa Timur. Kompleks Candi Badut terdiri atas candi utama berukuran 11 meter x 11 meter menghadap ke arah barat.
Di depan candi utama terdapat tiga struktur candi perwara berjajar. Bagian candi terdiri dari lapik polos, kaki, badan, dan atap candi. Pada badan candi terdapat relung utama yang berisi arca lingga-yoni dan lima relung pada fasad luar.
Pada relung selatan terdapat arca Agastya dan arca Durga Mahisasuramardhini di relung utara. Berdasarkan arca dan ukuran kepala menunjukkan candi ini bernapaskan Hindu Siwa dengan langgam Jawa Tengahan.
Candi Badut ditemukan oleh kontrolir kantor Pamong Praja Malang pada 1921. Pada tahun 1923-1926, candi ini dipugar oleh dinas purbakala Hindia Belanda di bawah pimpinan FKD Bosch dan B Den Haan. Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur juga melakukan pemugaran pada 1990-1993.
”Tahun 2017 candi ini sempat dikonservasi. Konservasi juga dilakukan pada Candi Singosari tahun 2022 ini,” ujar Jayadi. Dari pengamatan Kompas, kondisi area Candi Badut rapih, bersih, dan tertata. Bahkan, sejumlah pekerja terlihat membersihkan dan menata taman.
Menurut Jayadi, selain bersih dan tertata, candi di Malang Raya juga aman. Aksi vandalisme pada lingga-yoni Candi Badut, misalnya, pernah terjadi tahun 1977. Sementara pencurian pernah terjadi di candi lain, tetapi sudah lama. Saat ini hal itu sudah tidak pernah terjadi lagi.
”Sekarang kita sudah ada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang mengatur ke arah sana. Sanksinya berat sehingga saat ini hampir tidak ada lagi vandalisme, terutama di area candi yang sudah dipagari,” ucapnya.
Kalau tiket, semua candi di Malang Raya, pengunjung tidak pernah dipungut biaya.
Jayadi pun berharap wisatawan bisa ikut memelihara benda cagar budaya yang ada karena ini semua warisan budaya dan jati diri bangsa yang harus dijunjung tinggi karena nilai kesejarahannya. ”Jangan sampai merusak hasil karya nenek moyang kita,” ucapnya.
Senada dengan Jayadi, Juru Pelihara Candi Songgoriti, Haryoto, mengatakan, pengelolaan semua candi di Malang Raya dilakukan oleh BPBC Jawa Timur, termasuk pembangunan fasilitas dan hal lainnya di area candi. ”Kalau tiket semua candi di Malang Raya, pengunjung tidak pernah dipungut biaya. Sedangkan dana untuk pembangunan fasilitas langsung dari BPCB di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi,” ujarnya.
Candi—atau ada yang menyebut Petirtaan—Songgoriti sering dikaitkan dengan kepindahan Mpu Sindok, penguasa Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur pada abad ke-9 sampai ke-10 M. Candi Songgoriti ditemukan oleh Van Ijsseldijk tahun 1799.
Candi di lembah antara Gunung Panderman (anak Gunung Kawi) dan Gunung Banyak (anak Anjasmoro) itu kemudian dipugar pada 1849 dan 1863. Pemugaran diketuai oleh Rigg dan Brumund. Knebel kemudian melakukan inventarisasi serta pemugaran kembali tahun 1902 dan 1921-1923. Terakhir, BPCB Jawa Timur melakukan ekskavasi terhadap candi tersebut pada November 2021.