Pengelola Ponpes Al Mukmin Ngruki Bantah Abdul Qadir Hasan Baraja sebagai Pendiri
Pengelola Pondok Pesantren Islam Al Mukmin Ngruki membantah berita soal sosok Abdul Qadir Hasan Baraja sebagai salah seorang pendiri pondok itu. BNPT diminta lebih akurat dalam menyampaikan informasi ke publik.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
SUKOHARJO, KOMPAS —Pengelola Pondok Pesantren Islam Al Mukmin Ngruki membantah beredarnya informasi soal sosok Abdul Qadir Hasan Baraja sebagai salah seorang pendiri dari pondok tersebut. Keduanya disebut tidak ada sangkut paut. Hanya saja, sosok pendiri pondok kebetulan punya kesamaan nama belakang dengan pimpinan organisasi Khilafatul Muslimin tersebut.
Abdyl Qadir Hasan Baraja ditangkap aparat kepolisian dari Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya, di Lampung, Selasa (7/6/2022). Penangkapan dilakukan di daerah yang menjadi kantor pusat Khilafatul Muslimin. Organisasi tersebut diduga melakukan kegiatan melanggar hukum dan bertentangan dengan ideologi Pancasila.
Dalam beberapa pemberitaan, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BPNT) menyebut, Abdul Qadir sebagai salah seorang pendiri dari Pondok Pesantren Islam Al Mukmin Ngruki. Mendengar pemberitaan itu, pengelola pondok pesantren tersebut langsung berupaya untuk berkontak dengan BPNT. Selanjutnya, mereka diminta melakukan klarifikasi atas kekeliruan beredarnya berita tersebut.
”Beliau (Abdul Qadir) bukan salah satu pendiri (pondok pesantren). Ada enam pendiri pondok ini. Hampir semuanya sudah meninggal dunia. Hanya Ustaz Abu Bakar Ba’asyir yang masih hidup,” kata Direktur Pondok Pesantren (Ponpes) Islam Al Mukmin Ngruki, Yahya, di kompleks ponpes tersebut, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Rabu (8/6/2022).
Selain Abu Bakar Ba’asyir, para pendiri ponpes tersebut ialah Abdullah Sungkar, Abdullah Baraja, Yoyok Rosywadi, Abdul Qohar Daeng Matase, dan Hasan Basri. Yahya menduga, sosok Abdul Qadir dianggap sama dengan Abdullah Baraja. Pasalnya, keduanya sama-sama memiliki nama belakang Baraja.
Meski memiliki nama belakang yang sama, Yahya menegaskan, keduanya merupakan orang yang berbeda. Terlebih lagi, Abdullah Baraja sudah meninggal dunia sejak 2007. Kegiatan yang dilakukan sosok tersebut juga lebih terfokus ke dalam yayasan ponpes saja.
”Orangnya hanya konsentrasi dalam yayasan. Beliau kebetulan seorang pengusaha juga. Kalau keterlibatannya (dalam organisasi Khilafatul Muslimin) saya yakin tidak ada. Ini orang yang berbeda dengan yang ditangkap. Namanya sudah beda,” kata Yahya.
Yahya menambahkan, Abdul Qadir juga sama sekali tidak terkait dengan keberadaan ponpes tersebut. Sewaktu masih menjadi santri, ia belum pernah bertemu dengan sosok tersebut. Menurut dia, sosok tersebut juga tidak pernah menjadi pengajar di ponpes itu.
Di sisi lain, Yahya menyebutkan, Abdul Qadir juga tak terkait dengan Abu Bakar Ba’asyir. Pada 2000, Ba’asyir sempat mendirikan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Memang, sekali waktu, Abdul Qadir pernah meminta agar MMI berada di bawah Khilafatul Muslimin. Namun, Ba’asyir menolaknya.
”Ustaz Abu (Ba’asyir) menolak. Tidak mau menerima karena dari persyaratan, terkait syariat, tidak ada. Jadi, beliau tidak ada kaitannya dengan Ustaz Abu (Ba’asyir),” kata Yahya.
Akurasi informasi
Humas Ponpes Islam Al Mukmin Ngruki Muchshon menyampaikan agar BNPT meralat informasi perihal Abdul Qadir yang dikaitkan dengan ponpes tersebut. Pihaknya juga meminta lembaga negara tersebut mengevaluasi perihal akurasi data mengenai berbagai hal yang hendak disampaikan ke publik. Diharapkan, peristiwa kekeliruan data tersebut menjadi yang terakhir kali.
”Hendaknya menghindari hal-hal yang berpotensi membuat gaduh dan berpolemik di masyarakat maupun media sosial,” ucap Muchshon, saat membacakan klarifikasi dari ponpes tersebut.
Mengenai Khilafatul Muslimin, sebelumnya, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Hengki Haryadi mengungkapkan, kelompok tersebut dianggap menyebarkan ideologi khilafah melalui video ceramah di Youtube. Penyebaran ideologi juga dilakukan lewat penyebaran buletin di wilayah Polda Metro Jaya. Konten tersebut dijadikan barang bukti guna penyelidikan perkara. Sejumlah pihak seperti ahli agama Islam, ahli dari Kementerian Hukum dan HAM, hingga ahli pidana dilibatkan dalam pengusutan perkara tersebut.
”Setelah kami analisis dari penyelidikan ini, kami temukan peristiwa pidana. Ternyata kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh kelompok ini sangat bertentangan dengan Pancasila,” kata Hengki.
Saat ini, Abdul Qadir juga ditetapkan sebagai tersangka. Ia dikenai Pasal 59 Ayat 4 juncto Pasal 82 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Lalu, dikenai pula Pasal 14 Ayat 1 dan 2, dan atau Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.