Maggot, ”Sang Asisten” Pengendali Sampah Rumah Tangga
Bergerak dari kebutuhan dan inisiatif sendiri, para pembudidaya maggot menyerukan gerakan memilah sampah kepada lingkungan sekitar. Gerakan massal ini diharapkan terus berkembang sehingga dapat mengurangi volume sampah.
Percayakan urusan sampah organik kepada maggot. Apa pun dan berapa pun sampah rumah tangga, semua bisa diatur, tuntas dibersihkan dalam sekejap. Harapan baru pengelolaan sampah domestik ini belakangan semakin menggejala di kalangan warga Kota Magelang, Jawa Tengah.
Bukan nama mesin, bukan pula nama petugas kebersihan. Maggot adalah larva lalat jenis black soldier fly (BSF). Sejak menetas dari telur, larva ini terus makan dan mengonsumsi bahan-bahan organik, termasuk sampah sisa makanan hingga sekitar 27 hari sebelum masuk fase prepupa, tahapan menjelang perubahan menjadi lalat.
Setelah mendapat informasi peran penting larva tersebut, Retno Rini (60), warga Kelurahan Kramat Selatan, Kecamatan Magelang Utara, Kota Magelang, menyadari bahwa maggot adalah ”asisten” terbaik untuk menyelesaikan masalah sampah dapur.
”Maggot itu ibarat asisten tanpa ribet. Langsung efektif bekerja tanpa arahan dan tidak perlu digaji,” ujarnya, Rabu (1/6/2022), sembari terkekeh.
Retno merupakan salah satu pengurus dan anggota kelompok petani/peternak ikan Mina Asa di Kelurahan Kramat Selatan. Manfaat penting maggot diketahuinya setelah bersama beberapa anggota kelompok mengikuti kegiatan sekolah sampah pada Desember 2021.
Setelah itu, Kelompok Mina Asa sepakat membudidayakan maggot mulai Januari 2022. Selain untuk mengurangi sampah di lingkungan sekitar, termasuk rumah sendiri, inisiatif mengembangkan larva muncul karena hasil panen maggot berguna sebagai tambahan pakan budidaya ikan.
Sejak itu, Retno dan rekan-rekannya memperlakukan maggot serupa binatang peliharaan di rumah. Setiap kali makan, baik di rumah maupun saat beraktivitas di luar, mereka memiliki kebiasaan baru mengumpulkan sisa-sisa makanan.
”Setiap kali makan di luar, saya tidak hanya berpikir menu makanan yang disantap, tetapi juga bagaimana cara membawa sisa-sisa makanan,” ujar Nurilawati (62), Sekretaris Kelompok Tani Mina Ikan. Biasanya, mereka mempersiapkan wadah sendiri dari rumah untuk sisa makanan.
Tidak hanya berhenti di rumah atau di lingkup internal kelompok, kesadaran untuk memilah sampah dan mengumpulkan sampah organik juga dikampanyekan Kelompok Mina Asa. Sasarannya terutama kalangan ibu-ibu yang berkegiatan PKK dan arisan RT/RW. Dari kegiatan itulah, sembilan anggota kelompok kini berhasil mengumpulkan sampah dari sekitar 30 warga lainnya dari lingkup perumahan mereka.
Maggot itu ibarat asisten tanpa ribet. Langsung efektif bekerja tanpa arahan dan tidak perlu digaji. (Retno Rini)
Gerakan mengumpulkan sampah organik disuarakan pula oleh pengurus dan anggota Bank Sampah dan Kampung Organik Bougenvile di Kelurahan Jurangombo Utara di Kecamatan Magelang Selatan.
Baca juga: Tingginya Produksi Sampah di Bukittinggi Dipengaruhi Kunjungan Wisatawan dan Perkantoran
Enti Sri Hardani (59), Manajer Keuangan Bank Sampah dan Kampung Organik Bougenville, sejak akhir tahun lalu, aktif memberitahukan kepada setiap orang yang dikenalnya bahwa ia kini menerima sampah organik untuk kebutuhan budidaya maggot.
”Kini, setiap hari kami menerima 20-30 kilogram sampah organik dari warga lintas RT, RW, dari lingkungan sekitar,” ujarnya.
Setiap hari, tumpukan sampah-sampah organik itu biasanya langsung diletakkan di teras rumah Enti, yang sekaligus menjadi ”kantor” dan ruang aktivitas Bank Sampah dan Kampung Organik Bougenville.
”Semua pemilik warung, pedagang makanan keliling, mulai dari tukang bubur hingga tukang jamu, selalu kami dekati. Kami meminta izin apakah sampah mereka bisa kami ambil atau tidak,” ujarnya. Pedagang makanan tersebut rata-rata memperbolehkan sampah sisa makanan diambil dan dimanfaatkan untuk maggot.
Saat ini Bank Sampah dan Kampung Organik Bougenville telah bekerja sama dengan sedikitnya empat penjaja makanan di kampung dan lima restoran di sekitar kampung. Mereka menjadi mitra, pelanggan penyetor sampah.
Di luar itu, Enti dan suaminya, Bambang Edi Nugroho (65), juga berkeliling mencari restoran atau rumah makan baru yang bisa menjadi sumber, penyetor sampah baru untuk kebutuhan mereka.
”Setiap melihat restoran baru, saya biasanya akan melakukan pendekatan melalui tukang parkirnya, meminta izin agar bisa dibantu untuk mengangkut sisa sampah makanannya ke rumah,” ujar Bambang yang juga Direktur Bank Sampah Bougenville.
Dengan gerakan mengumpulkan sampah dari lingkungan rumah tangga, warung, dan restoran ini, volume sampah organik yang terkumpul bisa mencapai satu ton sampah per bulan.
Semangat dan gerakan mengumpulkan sampah juga dilakukan Yuswinto (50), warga Kelurahan Rejowinangun Selatan, Kecamatan Magelang Selatan. Jika Enti dan Kelompok Mina Asa ”bergerilya” mencari sampah dari tetangga dan restoran, Yuswinto berkeliling mencari sampah organik dari para pedagang di Pasar Rejowinangun. Pasar itu berada dalam lingkup satu kelurahan dengan tempat tinggalnya.
Baca juga: Sejumlah Pemda di Indonesia Belum Peduli Masalah Sampah
Makanan ”istimewa”
Maggot memang mengonsumsi sisa makanan. Namun, terkadang, larva ini juga mendapatkan sisa makanan yang ”istimewa”.
”Pernah ada tetangga yang berulang tahun dan maggot peliharaan kami pun ikut ’berpesta’, menikmati sisa kue ulang tahunnya,” ujar Retno.
Enti juga mengaku kerap mendapatkan suplai makanan ”mewah” untuk maggot dari restoran steik di dekat rumahnya. ”Sisa steik sirloin, tenderloin, daging ayam, sering kali juga menjadi sajian untuk maggot kami,” ujarnya. Suplai sisa steik tersebut biasa didapatkannya dua hari sekali.
Oleh karena pasokan makanan yang berbeda itulah, Enti bangga akan hasil panen maggot yang didapatkan. Saat dibandingkan dengan milik pembudidaya lain, maggot produksi Bank Sampah Bougenville selalu dipuji gemuk, berukuran lebih besar, dan berwarna putih cerah.
Pemasaran maggot
Kelompok Mina Asa melakukan budidaya maggot untuk keperluan pakan ikan di satu hektar kolam. Sementara Bank Sampah dan Kampung Organik Bougenville memanen maggot untuk dijual sebagai pakan kepada pembudidaya ikan, peternak unggas, dan pengepul maggot.
Yuswinto tidak hanya membudidayakan maggot, tetapi juga membeli dari pembudidaya lain untuk dijual. Maggot dari hasil budidayanya mencapai 200 kilogram per bulan. Ia juga membeli dalam jumlah yang sama dari pembudidaya lain.
Maggot biasa dipanen 10-20 hari sekali. Harga maggot segar hasil panen Rp 6.000-Rp 8.000 per kg. Telur lalat dijual Rp 4.000 per gram, prepupa dengan harga Rp 40.000 per kg, dan pupa Rp 60.000 per kg.
Maggot yang dikumpulkan lantas dijual kepada 10 pelanggan rutin, serta 5-10 pelanggan baru. Mereka berasal dari wilayah Kota dan Kabupaten Magelang.
Maggot biasa dipanen 10-20 hari sekali. Harga maggot segar hasil panen Rp 6.000-Rp 8.000 per kg. Selain itu, dia juga menjual telur lalat Rp 4.000 per gram, prepupa dengan harga Rp 40.000 per kg, dan pupa Rp 60.000 per kg.
Kepada para pelanggan maggot, Yuswinto juga sering kali mengajari dan mendorong mereka untuk ikut membudidayakan magot sendiri. Selain agar mereka bisa membantu mengolah dan mengurangi sampah di lingkungan, upaya ini diharapkan juga dapat sekaligus menciptakan munculnya pembudidaya baru yang bisa membantu menjadi penyetor maggot saat Yuswinto mendapatkan tambahan permintaan.
Kepala Bidang Pengelolaan dan Penanganan Sampah Dinas Lingkungan Hidup Kota Magelang Widodo mengatakan, volume sampah di Kota Magelang rata-rata 80 ton per hari dengan 60-70 persen di antaranya sampah organik. Upaya mengurangi sampah rumah tangga diupayakannya dengan terus mengampanyekan budidaya maggot dalam kegiatan sekolah sampah pada Desember 2021.
Ide budidaya maggot ini cukup direspons dengan baik. Pada Januari 2022, produksi maggot di Kota Magelang mencapai 150 kg per hari. Pada Maret 2022, volume produksi bertambah menjadi 370 kg per hari dan pada April 2022 menjadi 400 kg per hari.
Kini, jumlah pembudidaya maggot terdata 90 orang. Tidak sekadar memproduksi maggot segar yang dipanen 15 hari sekali, sebagian di antaranya bahkan menjual dalam bentuk kering dan dijual di pasar daring.
Widodo mengatakan, maggot ini sudah terbukti efektif mengurangi sampah organik. Di salah satu RT, misalnya, keberadaan maggot berhasil mengurangi 40-60 persen sampah organik yang dihasilkan setiap hari.
Jika masyarakat mau memilah, memelihara magot untuk mengatasi sampah organik dan menjual sampah anorganik ke bank sampah, menurut dia, 80 persen masalah sampah di Kota Magelang sebenarnya teratasi.
Sayangnya, upaya untuk mengubah perilaku masyarakat itu hingga kini masih sulit dilakukan. Edukasi perlu terus dilakukan untuk memantik kesadaran mereduksi sampah.