Buya Syafii, Teladan Nyata Guru Bangsa nan Sederhana
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif atau Buya Syafii telah berpulang. Kegetolannya memperjuangkan kerukunan antarumat beragama dilakoni dengan aksi nyata. Kesederhanaannya bertahan sampai akhir hayat.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·6 menit baca
Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif atau Buya Syafii telah berpulang. Publik mengenalnya sebagai guru bangsa. Kegigihannya memperjuangkan kerukunan antarumat beragama dilakoni dengan aksi nyata. Kesederhanaannya dalam hidup tersemat erat hingga akhir hayat.
Gelombang manusia terus berdatangan di Masjid Gede Kauman, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat (27/5/2022). Tak hanya pejabat tinggi negara dan tokoh agama, rakyat jelata pun hadir silih berganti. Di sana terbaring jenazah Buya Syafii yang tengah disemayamkan sementara sebelum menuju tempat peristirahatan terakhir. Orang-orang itu hendak memberikan doa sebagai penghormatan terakhir bagi sosok negarawan tersebut.
Salah seorang di antaranya Yohanes Dwi Harsanto, seorang pastor yang menjabat Vikep Kategorial di Keuskupan Agung Semarang. Ia datang dengan jubah putih, berikat pinggang hitam. Begitu tiba, ia mendekat ke jenazah Buya yang sudah berada di keranda dan berselimut kain hijau. Sesaat, Romo Yohanes berdoa sesuai keyakinannya. Setelahnya, ia mendatangi keluarga Buya untuk mengucapkan ungkapan duka.
”Saya merasa beliau ini bapak penuh perdamaian. Bapak yang damai dan mewartakan damai di mana pun. Damai yang berdasarkan keadilan dan martabat manusia,” kata Yohanes seusai melayat, Jumat siang.
Usaha Buya memperjuangkan perdamaian, jelas Yohanes, dilakukan lewat tindakan nyata, tidak terhenti pada pidato dan tulisan mencerahkan yang sekaligus menjadi suluh bagi kehidupan berbangsa. Buya dinilai mengupayakan terciptanya perdamaian benar-benar menggunakan tangan dan kakinya.
Ucapan Yohanes bukanlah omong kosong. Ia menyaksikannya sendiri pada 2018 silam. Kala itu, ada orang tak dikenal mengusik peribadahan yang tengah berlangsung di Gereja Katolik Santa Lidwina, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman. Orang tak dikenal itu masuk membawa pedang, lalu menyerang sejumlah orang. Akibatnya, lima orang terluka, yaitu seorang pastor, seorang polisi, dan tiga umat gereja.
Sesampainya di gereja, Buya membuat pernyataan sikap demi menenangkan banyak pihak untuk menjaga kerukunan umat beragama.
Setelah kabar itu tersiar, Buya langsung mengayuh sepeda dari rumahnya menuju ke gereja tersebut. Kebetulan rumah Buya tak terlalu jauh. Hanya berjarak lebih kurang 1,3 kilometer. Sesampainya di gereja, ia membuat pernyataan sikap demi menenangkan banyak pihak untuk menjaga kerukunan umat beragama.
”Beliau justru datang pertama kali, bahkan mendahului saya. Ketika teman-teman wartawan datang di sana, beliau membuat konferensi pers untuk mengutuk si teroris. Jadi, hubungan antaragama tetap tenang dan damai. Masyarakat tetap bisa fokus untuk mengusahakan hidup bersama dengan lebih baik,” ujar Yohanes.
Tokoh lintas agama yang juga ikut melayat ialah Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Gomar Gultom. Pada Jumat itu, kebetulan PGI tengah mengadakan rapat di Kota Surakarta. Begitu menerima kabar berpulangnya Buya, ia menyempatkan diri untuk melayat. Sebab, menurut dia, Buya punya jasa begitu besar memastikan kerukunan umat beragama lewat dialog-dialog yang kerap kali melibatkan persekutuan tersebut.
”Mendengar kabar ini, kami hentikan rapat sebentar untuk bisa melayat. Kami ingin memberikan penghormatan terakhir kepada beliau,” kata Gomar.
Gomar mengenal Buya sebagai sosok yang punya komitmen tinggi bagi kerukunan antarumat beragama. Perhatian Buya terhadap generasi muda juga begitu tinggi, khususnya agar anak-anak muda meneladani Pancasila. Itu semua agar kehidupan berbangsa tetap berjalan damai meski dalam alam keberagaman yang tinggi.
”Bahkan, kami mengusulkan agar beliau diangkat menjadi pahlawan nasional. Ini karena beliau telah membuat begitu banyak pencerahan dan perubahan bagi bangsa kita,” kata Gomar.
Rendah hati
Hal lain yang membuat Gomar terkesan adalah sikap Buya yang rendah hati. Dalam bergaul, Buya tak pernah membeda-bedakan latar belakang orang dan jabatannya. Kesederhanaan Buya juga kerap tampak dalam berbagai acara yang mereka gelar bersama. Kerap kali Buya berangkat secara mandiri dengan kereta api. Menuju tempat pelaksanaan acara pun Buya tak ingin dijemput.
”Dia selalu bilang, saya bisa berjalan sendiri. Tidak usah dijemput. Saya rasa itu keteladanan yang luar biasa,” kenang Gomar.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyebut Buya adalah sosok guru bangsa. Pemikirannya telah menjadi suluh bagi bangsa ini, khususnya agar masyarakat senantiasa hidup bersama dalam kerukunan dan perdamaian di tengah keberagaman.
”Meski beliau bukan seorang ningrat, tetapi bisa disebut bangsawan. Dalam artian, beliau selalu berpikir untuk kepentingan bangsanya sampai saat-saat terakhir. Saya kira, kita semua yang mencintai Pak Syafii Maarif perlu melanjutkan ide-idenya dalam kehidupan bersama,” kata Mahfud.
Mahfud menjelaskan, dalam pandangan Buya, kehidupan berbangsa dan bernegara itu harus selalu rukun, bersatu, kompak, dan saling membantu. Hubungan sesama manusia yang saling berbeda ini juga hendaknya tidak membeda-bedakan ikatan primordial. Semua manusia hidup dalam satu napas yang sama, yakni persatuan.
Di samping itu, Mahfud juga menilai Buya sebagai sosok sederhana. Sebab, Buya memutuskan untuk dimakamkan di Pemakaman Husnul Khotimah Muhammadiyah di Kabupaten Kulon Progo, DIY. Padahal, Buya merupakan peraih penghargaan Bintang Mahaputera Utama. Dengan penghargaan tersebut, ia berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.
”Namun, beliau sudah memesan makamnya sendiri. Kita doakan kepergiannya. Di mana pun beliau beristirahat,” kata Mahfud.
Presiden Joko Widodo mempunyai pendapat serupa soal Buya. Bagi dia, Buya adalah guru bangsa yang hidup dalam kesederhanaan. Bahkan, Presiden menyebut Buya sebagai kader terbaik Muhammadiyah. Itu karena kegetolan almarhum menyuarakan keberagaman semasa hidup.
”Beliau adalah guru bangsa. Dan, yang saya lihat, beliau hidup dalam kesederhanaan. Beliau adalah kader terbaik Muhammadiyah yang selalu menyuarakan tentang keberagaman dan selalu menyuarakan tentang toleransi antarumat beragama,” kata Presiden.
Beliau adalah kader terbaik Muhammadiyah yang selalu menyuarakan tentang keberagaman dan selalu menyuarakan tentang toleransi antarumat beragama. (Presiden Joko Widodo)
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir masih mengingat jelas, pada 26 Maret 2022 Presiden dan Menteri Sekretaris Negara Pratikno sempat menjenguk Buya yang baru saja keluar dari rumah sakit. Saat itu, kondisi almarhum tampak segar dan bugar. Sayangnya, takdir berkata lain. Sejak 13 hari lalu, kondisi kesehatan Buya memburuk sehingga butuh ditangani intensif oleh tim dokter dari RS PKU Muhammadiyah serta tim dokter kepresidenan.
Untuk itu, Haedar mengucapkan banyak terima kasih atas segala bantuan yang diberikan segenap pihak. Menurut dia, banyak sekali orang yang telah memberikan bantuan dalam berbagai bentuk, mulai dari penanganan kesehatan hingga doa.
”Karena itu, selain menyampaikan rasa kehilangan, kami juga akan menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Pak Presiden, Gubernur DIY, dan semua pihak yang begitu mencintai beliau dengan segala bantuan dukungan takziah dan doa. Bahkan, tadi jemaah yang menshalatkan beliau bergelombang tiada henti,” kata Haedar.
Haedar menambahkan, pihaknya menemani Buya sampai saat-saat terakhirnya. Ia tiba setengah jam sebelum Buya berpulang. Bagi dia, Buya dipanggil Tuhan dalam kondisi yang benar-benar siap. Yang mengagetkan, pada 24 Februari 2022, Buya meneleponnya untuk memesan makam di Pemakaman Husnul Khotimah Muhammadiyah.
”Beliau dipanggil Allah dengan segala kesiapan yang luar biasa. Seakan-akan beliau sudah merasa saat dan waktunya tiba. Tanggal 24 Februari lalu, beliau kontak saya. Yang mengagetkan perasaan saya, beliau memesan makam,” kata Haedar.
Haedar menuturkan, Buya selalu berpesan agar menjaga keutuhan bangsa, keutuhan Muhammadiyah, dan keutuhan umat. Pemikiran, jejak, dan langkah Buya telah disaksikan semua elemen bangsa. Haedar berharap, segala hal yang dilakukan Buya semasa hidup menjadi amal jariah.
Kepergian Buya Syafii Maarif adalah kehilangan besar bangsa. Di tengah gejala segregasi masyarakat dan munculnya paham-paham puritan yang berpotensi mengoyak keberagaman, teladan hidup Buya untuk memperjuangkan kebinekaan mesti dilanjutkan. Pesan soal keutuhan bangsa mesti digenggam seluruh generasi penerus, tak hanya di Muhammadiyah, tetapi juga seluruh masyarakat. Selamat jalan, Buya....