Pemanfaatan pisang sebenarnya sudah tumbuh sebagai bentuk kearifan lokal masyarakat di masa lalu. Sayang, hal itu sering kali terlupakan karena banyak orang lebih banyak terfokus pada pemakaian gawai.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·5 menit baca
Di sana pisang, di sini pisang. Ajang Liga Pisang Borobudur membuktikan bahwa pisang, mulai dari buah hingga segenap bagian dari tanamannya, memiliki makna, fungsi, dan kegunaan untuk berbagai kebutuhan dalam kehidupan.
Liga Pisang Borobudur digelar di Lapangan Srigentan, Desa Wringinputih, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, 21-25 Mei 2022. Ajang ini diselenggarakan oleh komunitas Bayang Wayang bekerja sama dengan Eksotika Desa. Komunitas Bayang Wayang adalah komunitas yang memfokuskan perhatian pada pelestarian mainan tradisional di kawasan Borobudur, sedangkan Eksotika Desa adalah komunitas yang menaruh kepedulian pada masalah lingkungan dan budaya.
Maka, sesuai dengan namanya, ajang ini pun ”mengupas habis” manfaat tanaman pisang. Pemanfaatan menjadi bola, misalnya, dilakukan dengan menggulung-gulung daun dan pelepah pisang kering. Gulungan itu sekaligus membungkus gulungan kain sarung di dalamnya, yang membuat bola semakin padat. Bola inilah yang kemudian digunakan dalam pertandingan sepak bola dalam lima hari penyelenggaraan Liga Pisang Borobudur.
Tidak hanya itu, untuk menguatkan nuansa pisang, baik pemain maupun suporter bola mengenakan hiasan kepala dan kostum unik berbahan daun dan pelepah pisang kering. Gawang pun dihias dengan bahan alam yang sama.
Di sudut lain, daun dan batang pisang digunakan anak-anak lain untuk melukis. Dengan menyentuhkannya pada cat air atau cat minyak, bahan alam itu pun bisa berfungsi sebagai kuas.
Semua memang terlihat tidak biasa. Namun, tidak ada yang tersisa kecuali rasa gembira. Sekalipun senang dan sering bertanding sepak bola bersama teman-temannya, Bayu Azka Romadhon (9), siswa SD Wanurejo, mengaku baru kali inilah dia bermain bola sambil mengenakan kostum dengan hiasan unik dan bertanding dengan menendang bola berbahan pelepah pisang.
Namun, semua itu justru makin membuatnya bersemangat bertanding. "Pertandingan rasanya juga makin seru dan berkesan karena penampilan kami pasti unik saat difoto," ujarnya.
Nur Iksan (11), rekan satu tim Bayu, juga mengatakan bahwa pengalaman pertama kali ini menjadi pengalaman yang sungguh berbeda. Tidak sekadar karena mengenakan kostum unik, pengalaman seru pun muncul karena mereka kali ini harus menendang bola berbahan pelepah pisang.
Lapangan yang basah karena semalaman tersiram hujan membuat sarung yang ada dalam gulungan pelepah menjadi lebih berat dibandingkan bola plastik biasa. Oleh karena itu, diperlukan tenaga ekstra untuk menendangnya.
Kendati demikian, hal itu tidak dipermasalahkan oleh anak-anak. "Pertandingan kali ini memberikan tantangan baru bagi kami,” ujarnya.
Indah Wijayanti, salah seorang guru SD Wanurejo, ajang Liga Pisang Borobudur juga memberinya pengalaman pertama merancang hiasan kostum untuk pemain sepak bola dan suporter dengan memakai bahan-bahan alam, yaitu pelepah dan daun pisang. Desain pun dibuat atas inisiatif guru-guru sendiri.
"Kami para guru membuat contohnya terlebih dahulu dan anak-anak meniru membuatnya dengan memanfaatkan bahan pelepah dan daun pisang yang ada di sekitar rumah mereka sendiri,” ujar Indah yang sehari-hari berprofesi sebagai guru agama ini.
Atifa Lestari, salah seorang warga Desa Kebonsari, Kecamatan Borobudur, mengatakan, desain kostum untuk pemain bola dan suporternya dibuat berdasarkan kesepakatan warga, dengan melibatkan anak-anak yang memakainya.
Agar awet dan tidak mudah robek, bahan untuk kostum diputuskan memakai pelepah dan tidak memakai daun.
Makna pisang
Di luar aktivitas menggunakan bagian-bagian dari pohon pisang, di berbagai sudut lapangan juga dipajang beberapa mainan berbahan batang pisang, seperti kuda-kudaan yang biasa dipakai untuk kesenian jatilan serta pistol-pistolan.
Sementara itu, di sudut lain, para ibu duduk dan menyajikan aneka hidangan berbahan pisang. Selain nagasari, makanan ringan berbahan tepung beras dan pisang, kuliner yang disajikan beragam, mulai dari sayur jantung pisang hingga keripik berbahan bonggol.
Di meja lain ditampilkan beragam tatanan aneka bahan pangan untuk contoh sesaji yang biasa dibuat oleh warga desa untuk berbagai kegiatan dan keperluan. Dalam adat tradisi di desa, sesaji biasa dibuat dan dihadirkan dalam ritual doa warga. Dalam hal ini, buah pisang menjadi komponen yang tidak boleh dilupakan dan wajib disertakan.
Selain sebagai bagian dari persembahan hasil bumi, pisang juga dianggap penting karena menjadi simbol dari laki-laki dan buah-buahan lain sebagai simbol perempuan.
Zahri (65), salah seorang sesepuh Desa Wringinputih, mengatakan, seperti banyak terjadi di berbagai daerah, baik di dalam maupun di luar Kecamatan Borobudur, pisang memang sudah sering kali diolah menjadi beragam makanan dan menjadi komponen untuk selamatan atau sesaji ritual.
Adapun khusus untuk di Desa Wringinputih dan desa-desa sekitar, bagian-bagian dari tanaman pisang, di masa lalu, juga acap kali diolah menjadi beragam mainan tradisional, seperti bola atau tiruan senapan.
Kreativitas membuat mainan, menurut dia, secara otomatis muncul karena di masa itu memang belum tersedia banyak ragam mainan untuk anak-anak.
"Semasa saya kecil, bola plastik untuk bermain sepak bola saja belum banyak dijual,” ujarnya.
Karena ketiadaan mainan di warung atau toko terdekat itulah, Zahri mengatakan, dia dan teman-temannya biasa membuat mainan mereka sendiri. Hal itu pun dianggap menjadi solusi yang praktis karena setelah bosan memainkannya, mainan berbahan alam itu cukup dibuang begitu saja.
Panji Kusuman, pendiri Eksotika Desa, mengatakan, pemanfaatan tanaman pisang untuk berbagai kebutuhan, termasuk mainan tradisional, sebenarnya diketahui oleh masyarakat desa. Namun, di masa kini, kemampuan untuk membuat produk dari tanaman pisang tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang istimewa.
"Karena sudah dilakukan oleh nenek moyang mereka di masa lalu, berbagai barang, termasuk permainan tradisional berbahan pelepah pisang misalnya, juga dianggap sebagai produk kuno dan kurang cocok dengan perkembangan zaman saat ini,” ujarnya.
Jiyo Martono, Ketua Panitia Liga Pisang Borobudur yang sekaligus Ketua Komunitas Bayang Wayang, mengatakan, berangkat dari keprihatinan melihat bentuk kearifan lokal pengolahan tanaman pisang yang mulai ditinggalkan inilah, pihaknya bersama Eksotika Desa terdorong menggelar Liga Pisang Borobudur.
”Kami berharap ajang ini (Liga Pisang Borobudur) bisa mendorong semangat masyarakat, terutama anak-anak, untuk kembali mencintai kearifan lokal di desa dan tidak melulu menghabiskan waktu dengan bermain gawai,” ujarnya.
Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Fitra Arda mengatakan, kearifan lokal yang tumbuh dengan memanfaatkan apa yang tersedia di alam, seperti pisang, memberikan dua aspek pembelajaran bagi generasi muda. Selain mengajarkan untuk menghargai budaya leluhur, hal ini juga berdampak positif mengajari kaum muda, termasuk anak-anak, untuk lebih mencintai lingkungan.
Oleh karena itu, ke depan, bentuk-bentuk kearifan lokal berbasis kekayaan alam ini diharapkan dapat terus dikembangkan di desa-desa.
Mari belajar kepada leluhur, mari belajar kepada alam....