Meredam Dampak Gejolak Pasar dengan Potensi Kearifan Lokal
Masyarakat pesisir memiliki minyak kelapa, sementara di pedalaman terdapat minyak nabati dari hutan adat. Potensi kearifan lokal membuat warga mandiri sehingga tidak terdampak gejolak minyak goreng beberapa waktu lalu.
Masyarakat pesisir memiliki minyak kelapa, sementara di pedalaman terdapat minyak nabati dari hutan adat dan hewani. Potensi kearifan lokal memungkinkan sejumlah warga mandiri sehingga tidak terdampak gejolak pasar minyak goreng sawit yang sempat terjadi akibat ulah mafia.
Jupriadi (32), warga pesisir di Kecamatan Segedong, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, menunjukkan sebotol minyak kelapa yang diolah ibunya, April lalu. Jupriadi memiliki 800 kelapa di kebun belakang rumahnya.
Kelapa-kelapa di kebun itu biasanya dijual kepada pembeli, sedangkan kelapa yang tidak layak jual diolah menjadi minyak makan. Biasanya yang diolah menjadi minyak makan sebanyak 25 kelapa. Kelapa sebanyak itu setelah diolah menghasilkan minyak makan sekitar lima botol ukuran 460 mililiter.
”Sejak kecil saya dan keluarga tidak pernah susah minyak makan. Lima botol minyak kelapa bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari selama setengah bulan. Dengan adanya minyak kelapa, kebutuhan memasak sehari-hari tidak perlu membeli minyak goreng,” ujar Jupriadi.
Saat warga di Tanah Air pada Maret lalu kesulitan minyak goreng sehingga mengantre dalam operasi pasar minyak goreng, keluarga Jupriadi justru tidak kesulitan. Kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng tidak berdampak kepada mereka.
”Saya sempat heran kenapa orang sampai antre minyak goreng,” ujar Hosniati (40), kakak Jupriadi.
Tumsiroh (70), sang ibu, mengatakan, ia membuat minyak makan dari kelapa sudah sejak muda. Sebelum ada mesin pemarut kelapa, tahap awal mengolah kelapa menjadi minyak makan menggunakan parutan manual.
”Dulu, sambil menjaga anak yang masih kecil, saya mengolah kelapa menjadi minyak makan. Sekarang, sambil membantu anak mengurus kebun dan menjaga cucu, masih bisa membuat minyak makan. Prosesnya satu malam sudah jadi,” kata Tumsiroh.
Demikian juga dengan Jiyem (66), warga lainnya di Kabupaten Mempawah. Ia sudah lama membuat minyak kelapa untuk keperluan sehari-hari. Menurut Jiyem, membuatnya juga mudah. Kelapa diparut, setelah itu diperas diambil santannya.
Setelah dua kali diperas, ditampung di wadah dan ditaburi garam. Kemudian, dibiarkan satu malam sehingga paginya air dan minyak sudah terpisah lalu menjadi minyak makan. Minyaknya diambil dan dimasak agar tidak berbau.
Jiyem memiliki 60 pohon kelapa di kebun. Dalam setahun, ia beberapa kali membuat minyak kelapa. Minyak itu juga kerap dibagi ke tetangga, anak, dan teman-teman yang berminat untuk kebutuhan sehari-hari.
”Saya memanfaatkan sumber daya yang ada. Kelapa yang bagus dijual, sedangkan kelapa yang jatuh sudah lama dan tumbuh tunas diolah menjadi minyak makan,” kata Jiyem.
Saat minyak goreng sawit langka di pasar para Maret lalu, Jiyem tidak terdampak. Bahkan, saat yang lain terdampak gejolak kelangkaan minyak goreng sawit, ia malah biasanya berbagi minyak kelapa. Jiyem tidak perlu mengantre minyak goreng saat bazar.
Nuriyana (34), warga lainnya, mengatakan, ia juga menggunakan minyak kelapa untuk keperluan sehari-hari yang ia olah sendiri dengan proses sederhana. Sejak kecil ia mengonsumsi minyak kelapa. Dalam sekali membuat minyak kelapa, ia menghasilkan 16-20 liter. Nuriyana memiliki 10 pohon kelapa di belakang rumahnya.
”Dalam sebulan bisa dua kali membuat minyak kelapa,” kata Nuriyana.
Nuriyana juga pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Sehari-hari ia memproduksi berbagai macam keripik. Untuk mengolah produk tertentu, ia menggunakan minyak kelapa, misalnya produk pisang aroma. Kelangkaan minyak goreng sawit secara umum tidak berdampak pada usahanya karena ada minyak kelapa.
”Agar minyak kelapa tahan lama dan aromanya tidak berubah, saya memasukkan garam dalam minyak,” ujarnya.
Berdasarkan data Kalbar dalam Angka Tahun 2022, tanaman kelapa di Kalbar pada 2021 seluas 77.732 hektar (ha). Sebanyak 17.409 ha di antaranya ada di Kabupaten Mempawah. Tanaman kelapa di Kabupaten Mempawah terluas kedua setelah Kabupaten Kubu Raya yang memiliki 36.695 ha pohon kelapa.
Hutan adat
Masyarakat di pedalaman Kalbar juga ada yang tidak terdampak gejolak kelangkaan minyak goreng sawit beberapa waktu lalu. Mereka memiliki potensi minyak makan alternatif dari hutan adat. Di Hutan Adat Pikul, Dusun Melayang, Desa Sahan, Kecamatan Seluas, Kabupaten Bengkayang, misalnya, terdapat potensi, salah satunya tanaman tengkawang tungkul (Shorea stenoptera) yang diolah menjadi butter atau minyak tengkawang.
Damianus Nadu (63), warga Dusun Melayang, menuturkan, di daerahnya tidak terjadi kehebohan kelangkaan minyak goreng. Jika minyak dagang tidak ada, ia menggunakan minyak tengkawang. Minyak kelapa juga bisa menjadi alternatif.
”Pilihannya lebih beragam. Kalau pas sedang ingin menggunakan minyak tengkawang, persediaan ada,” kata Nadu.
Menurut Nadu, selain memiliki potensi minyak dari hutan adat, wilayah itu juga dekat perbatasan Malaysia. Di sekitar perbatasan terdapat minyak goreng dari Malaysia dengan harga murah, yaitu Rp 8.000 per kg.
Deman Huri, Direktur Lembaga Intan (Institut Riset dan Pengembangan Hasil Hutan), menuturkan, potensi sumber minyak nabati dari tumbuhan dan lemak hewani sangat besar. Sebelum tren minyak sawit, masyarakat sudah menggunakan minyak dari tumbuhan dan hewani.
Baca Juga: Pejabat Kemendag Tersangka Mafia Minyak Goreng
Lembaga Intan merupakan lembaga yang membantu masyarakat merekonstruksi ulang pengetahuan masyarakat adat yang lebih modern dalam mengelola buah tengkawang.
Salah satu potensi minyak dari hutan adat adalah buah tengkawang. Secara tradisional sangat mudah masyarakat mengolah tengkawang menjadi minyak makan. Sebanyak 2 kg butter jika dicairkan bisa menghasilkan 2,5 liter minyak per hari.
Satu pohon tengkawang bisa menghasilkan 500 kg buah tengkawang serta menghasilkan 130 liter minyak dari satu pohon. Satu keluarga terkadang memiliki 10-30 pohon. Apalagi, di hutan adat daerah tersebut terdapat ribuan pohon tengkawang. Di Hutan Adat Pikul terdapat 3.500 pohon tengkawang, bisa panen 100-350 ton dalam satu hutan adat per panen raya per tahun.
”Hanya saja, cukup banyak yang sudah meninggalkan sumber minyak dari tumbuhan,” ujar Deman Huri.
Selain itu, Kalimantan dialiri ribuan anak sungai yang memiliki potensi perikanan. Dulu masyarakat memanfaatkan minyak patin dan ikan-ikan lain. Hanya saja, sebagian sudah ditinggalkan masyarakat. Potensi kemandirian ekonomi masyarakat besar jika dioptimalkan. Dengan adanya potensi itu, masyarakat tidak terpengaruh dengan krisis minyak.
Pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tanjungpura, Pontianak, Eddy Suratman, menuturkan, keunggulan dari sisi potensi kearifan lokal tersebut salah satu cara melawan mafia. Upaya meningkatkan nilai tambah kelompok menengah ke bawah (industri rumah tangga), salah satu strategi menghindari ”permainan” pihak-pihak tertentu.
Yang harus dilakukan ke depan, mendorong peningkatan kemandiri kearifan lokal seperti yang dilakukan kelompok masyarakat tersebut. Dengan demikian, potensi sumber daya alam dapat digunakan memenuhi kebutuhan mereka.
”Industri rumah tangga perlu dikembangkan. Orangtua kita zaman dulu tidak tergantung dengan minyak goreng pabrik. Kita ini dimanjakan dengan pabrik,” ujar Eddy.
Ke depan aspek tersebut perlu diperkuat dengan regulasi. Dengan demikian, hutan adat bisa dijaga. Kebutuhan masyarakat bisa dipenuhi dengan hutan adat di sekitarnya. Jangan sampai hutan adat menjadi milik orang lain.
Terkait kemandirian masyarakat menyediakan minyak makan, Kepala Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Kalbar Heronimus Hero, dalam kegiatan ”Gelar Pangan Murah”, April lalu, mengatakan, jika semua potensi digerakan, tidak ada kendala. Sebelum minyak goreng sawit ada, masyarakat memang sudah menggunakan minyak kelapa, tengkawang, dan hewani.
Masyarakat yang mengolah minyak makan secara mandiri tersebut sebetulnya kembali pada kearifan lokal. Teknologinya juga sederhana. ”Jadi, banyak pilihan sebetulnya. Namun, masyarakat di perkotaan sumber dayanya terbatas,” kata Hero.
Terkait mendorong kemandirian masyarakat, pihaknya telah mengampanyekan diversifikasi pangan. Selain itu, ada juga dinas lain yang mendorong penambahan nilai tambah sehingga tidak tergantung ke pasar.
Baca Juga: Minyak Goreng Langka di Pontianak, Operasi Pasar Masih Jadi Andalan