Klinik Pijat, Simbol Kesuksesan Difabel Netra Manado
Beberapa difabel netra di Manado sukses mendirikan klinik pijat. Namun, jumlah yang ada sekarang belum bisa menyelesaikan masalah ketenagakerjaan yang membelit para komunitas difabel netra. Peran pemerintah dinanti.
Sambil bersenandung, Djonny Rawung (57) menggelar selembar seprai biru yang harum sehabis dicuci, lalu menyelubungkannya pada sebuah kasur busa. Bantal dan guling ia masukkan satu per satu ke dalam sarungnya. Semua ia lakukan dengan cekatan sekalipun tanpa melihat.
Pada Selasa pagi di pengujung April 2022 itu, Djonny sedang bersiap menyambut seorang pasien di Klinik Pijat Health miliknya di bilangan Teling Bawah, Manado, Sulawesi Utara. Minyak zaitun telah tersedia di satu pojok ruangan. Baunya menguar memenuhi ruangan berdinding tripleks berlapis cat biru langit itu ketika kipas angin dinyalakan.
Tak lama kemudian, yang dinanti tiba juga, seorang pengusaha yang setahun terakhir menjadi pelanggan tetap klinik pijat Djonny. Seperti biasa, pria paruh baya itu mengucapkan salam ketika masuk ke bilik pijat, melepas kausnya, lalu menengkurapkan diri di atas kasur.
Djonny pun mengawali sesi pijat itu dengan membalurkan minyak zaitun pada punggung kliennya, lalu mulai mengurut dan memijat. Setelah sekitar 90 menit, si pasien keluar ruang praktik pijat dengan otot-otot yang tak lagi tegang. ia memberi Djonny Rp 100.000 sebagai imbal jasa, belum termasuk tip.
Baca juga: Bantu Kami Memandang Indah Dunia
Begitulah pekerjaan Djonny, seorang juru pijat difabel netra, selama 37 tahun terakhir. Bermodalkan keahlian pijat olahraga (sport massage) yang ia dapat dari Sasana Rehabilitasi Penyandang Cacat Netra (SRPCN) Tumou Tou Manado, ia membuktikan bahwa disabilitas bukanlah penghalang untuk bisa berpenghasilan dan hidup mandiri.
Klinik Pijat Health adalah buah dari konsistensinya. ”Dulu saya kerja di tempat (klinik pijat) orang dari tahun 1985 sampai 1990. Hasilnya saya kumpul-kumpul sehingga bisa mendirikan klinik pijat sendiri. Itu murni usaha sendiri,” kata Djonny yang kehilangan pengelihatan pada usia 18 tahun.
Setiap hari, dari pukul 09.00 sampai 21.00 Wita, Klinik Pijat Health bisa melayani 15 pasien. Bangunan klinik yang Djonny akui sangat sederhana tak jadi masalah. ”Meskipun seperti kandang ayam, pelanggan selalu ada. Kalau kita pijat dengan baik, orang cocok, mereka akan cari kita lagi,” kata pria kelahiran Minahasa Selatan itu.
Baca juga: Si Votun Jabar, Jembatan Informasi Publik untuk Difabel Netra
Dari hasil jerih payahnya, Djonny mampu membeli tanah dan membangun rumah yang cukup untuk ditinggali kelurga besarnya di Kelurahan Paal IV. ”Kalau mau bilang (penghasilan) cukup, memang cukup, karena saya bisa biayai kuliah tiga anak. Ada yang sarjana pendidikan, ekonomi, dan kesehatan,” katanya dengan bangga.
Djonny juga menjadikan klinik pijat sederhana miliknya itu ladang rezeki bagi tiga sejawatnya yang juga difabel netra. Tarif Rp 80.000 per jam dan Rp 100.000 per satu setengah jam dibagi dua, 60 persen untuk juru pijat dan 40 persen untuk Djonny.
Tak terbayangkan
Kesuksesan di dunia pijat juga telah direngkuh Boyke Onsent (46). Pria asal Gorontalo yang akrab disapa Bobby itu mendirikan Klinik Pijat Nusantara di bilangan Wenang Utara pada 2015 dengan fasilitas mentereng, seperti pendingin ruangan dan pemutar musik, plus pelantangnya.
Klinik pijat itu pun memakmurkan keluarganya. ”Bukan saya bermaksud riya (congkak), tapi dari pijat saya bisa punya dua rumah, bisa punya mobil juga,” kata Bobby ketika dijumpai pada akhir April lalu.
Keadaan ini tak pernah Bobby bayangkan tiga dekade lalu ketika ia kehilangan pengelihatan karena glaukoma pada usia 14 tahun. Ia sempat putus asa dan depresi. ”Selama delapan tahun, saya cuma berdiam di rumah, makan, tidur. Tinggal menunggu hari kapan mau mati,” ujar Bobby sambil terkekeh.
Baca juga: Popon Siti Latipah, Pembuka Pintu Kesetaraan
Semangat hidupnya baru tumbuh lagi setelah ia menjadi klien rehabilitasi sosial di Panti Sosial Bina Netra (PSBN) Tumou Tou Manado pada 1998. Di sanalah ia mulai belajar memijat. Cita-citanya memiliki klinik pijat sendiri tumbuh setelah melihat bebrapa alumnus PSBN mampu menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak dari jasa pijat.
Mimpi itu baru terealisasi 13 tahun setelah Bobby lulus dari PSBN pada 2002. Kini, Klinik Pijat Nusantara melayani 10-20 klien setiap hari, tak terkecuali dari kalangan pejabat daerah. Tarif pijatnya Rp 100.000 per jam, Rp 130.000 per satu setengah jam, dan Rp 180.000 per dua jam.
Bobby memastikan klinik pijatnya bermanfaat bagi para sejawatnya dengan merekrut tiga juru pijat yang telah bersertifikat menjadi karyawan. ”Kalau ada yang berhalangan masuk kerja, saya akan panggil orang lain untuk menggantikan sementara. Jadi, saya bisa tetap membantu teman-teman (difabel netra) yang lain,” katanya.
Belum cukup
Setelah bertahun-tahun malang melintang sebagai juru pijat, Djonny dan Bobby sepakat bahwa industri pijat sangat menjanjikan bagi difabel netra. Itulah mengapa sport massage tak pernah hilang dari daftar pelatihan kerja di pusat rehabilitasi sosial yang melayani difabel netra, termasuk Sentra Tumou Tou (dahulu SRPCN dan PSBN).
Selama 50 tahun sejak 1972, Sentra Tumou Tou telah melatih lebih dari 2.000 difabel netra dari delapan provinsi di timur Indonesia memijat. Klinik pijat difabel netra pun bermunculan di Manado. Pencarian di Google Maps menunjukkan sedikitnya 12 klinik pijat milik difabel netra di tujuh kecamatan di Manado. Beberapa klinik hanya saling berjarak ratusan meter.
Kendati begitu, klinik-klinik pijat tersebut jelas belum cukup untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi semua juru pijat difabel netra di Manado. Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Manado mencatat, 69 dari total 126 warga penyandang disabilitas netra ”mangkal” di jalanan untuk berjualan tisu, kacang, atau keripik.
Hal itu menjadi masalah sosial karena warga kota lebih banyak memberi mereka sedekah. Tanpa menjual satu barang dagangannya pun, para pedagang difabel netra ini bisa mendapatkan Rp 100.000-Rp 200.000 per hari, seperti Latif Toisi (47) yang setiap hari berjualan di Jalan Sam Ratulangi 3, Wenang Utara.
Latif pernah menjadi juru pijat di klinik pijat temannya selepas lulus dari PSBN Tumou Tou pada 1998. Tarif sesi pijat selama sejam adalah Rp 100.000, tetapi ia hanya mendapat Rp 50.000 setelah dibagi sama rata dengan pemilik klinik. ”Itu pun kalau ada pasien. Kalau ndak ada, ya ndak dapat,” katanya pada akhir April lalu.
Latif pun berkesimpulan, jasa pijat difabel netra di Manado adalah industri yang sudah jenuh. Hal ini diamini oleh Simon Pare (47), teman senasibnya. Namun, pengalaman Simon juga menunjukkan lapangan kerja bagi juru pijat difabel netra sulit dicetak karena mereka sulit mengakses permodalan. Kebanyakan dari mereka tak punya agunan ataupun orang yang bisa menjadi penjamin.
Baca juga: Meraba yang Pasti Demi Masa Depan Negara
Menurut Simon, pemerintah sebenarnya bisa mengurai benang kusut ini dengan memberikan bantuan modal atau menyediakan gedung khusus bagi difabel netra untuk praktik pijat. Pemerintah kota juga perlu mendorong hotel-hotel di berbagai penjuru kota untuk merekrut mereka menjadi juru pijat. ”Tapi, mesti hotel yang ramai,” katanya.
Selama ini, keahlian pijat para difabel netra memang belum dilirik berbagai badan usaha jasa swasta milik orang awas. Perkumpulan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sulut, misalnya, tidak mengharuskan anggotanya merekrut penyandang disabilitas.
Klinik pijat milik orang awas yang menjamur di seluruh kota juga belum melaksanakannya. Vicky W, pengelola salah satu panti pijat dan spa di kawasan Lion Plaza Manado, mengatakan, pemerintah tidak pernah memberikan imbauan mereka merekrut juru pijat difabel netra, apalagi mengharuskan.
Di lain pihak, Wali Kota Manado Andrei Angouw menyatakan tak bisa serta-merta mengiyakan permintaan bantuan modal atau gedung yang disuarakan komunitas difabel netra. ”Memang kalau meminta, semua suka meminta. Jangankan yang difabel, yang sehat pun suka meminta,” katanya diikuti tawa.
Menurut Andrei, anggaran pemkot saat ini sedang seret karena pandemi Covid-19. Rencana pendaptan daerah dalam APBD 2022 adalah sekitar Rp 1,64 triliun, sedangkan belanja Rp 1,73 triliun. Terdapat defisit sekitar Rp 91,79 miliar. ”Keuangan kacau balau. Banyak yang kita rasionalisasi karena keuangan tidak memungkinkan,” katanya.
Kendati begitu, ia menyatakan akan mendorong sektor swasta untuk mempekerjakan difabel netra sesuai dengan kewajiban yang diatur Pasal 53 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yaitu sebanyak 1 persen dari total pegawai. Selama ini, pemkot tidak bisa menekan pemberlakuan aturan itu karena perekonomian lesu akibat pandemi.
Janji ini diiringi dengan rencana Andrei untuk melarang para difabel netra berjualan di pinggir jalan di Manado. ”Saya berharap semua bekerja yang produktif. Tugas pemerintah adalah membuat iklim ekonomi dan investasi baik,” katanya.
Belum berubah
Bagi Bobby, banyaknya difabel netra yang berjualan di jalan saat ini menandakan situasi belum berubah sejak 20 tahun lalu. Selepas lulus dari Sentra Tumou Tou pada 2002, ia juga harus berdagang asongan dari warung ke warung yang berjajar di sepanjang Boulevard Piere Tendean, siang dan malam, menjajakan kacang dan keripik demi mengumpulkan modal.
Baru pada 2015 Bobby bisa mendapatkan pinjaman pertamanya, Rp 25 juta, untuk sewa gedung selama setahun. Pinjaman itu bukan dari bank, melainkan dari arisan simpan pinjam difabel netra yang ia bentuk pada 2007.
Jika tak ada perubahan, Bobby khawatir difabel netra menjadi malas berjuang dan memilih bertahan di jalanan. Apalagi, kesempatan kerja menjadi juru pijat begitu terbatas.
Keberadaan panti-panti pijat umum yang mengandalkan para wanita muda sebagai juru pijat, bahkan menawarkan jasa prostitusi, tentu tak akan membantu membawa perbaikan. Pemerintah, kata Bobby, seharusnya memprioritaskan sektor jasa pijat bagi para difabel netra yang rata-rata telah bersertifikat.
”Kalau cewek-cewek yang ’tanda kutip’ ini, kan, sebenarnya bisa usaha lain, seperti salon. Ini perlu ditertibkan. Pemerintah jangan memikirkan keuntungan dari pajak saja,” ujar bendahara Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI) Sulut itu.
Sementara itu, Kepala Sentra Tumou Tou Kamsiaty Rotty mengatakan, pihaknya selalu membuka diri bagi para difabel netra yang ingin belajar memijat atau mengembangkan keahliannya. Sentra Tumou Tou akan mencarikan instruktur untuk meningkatkan daya saing mereka.
”Seiring berubah zaman, pasti berkembang juga teknik memijat. Kalau memang mau meng-update keahlian pijatnya, kami mengundang teman-teman penyandang disbailitas netra ke sini. Kami siap melayani dan melatih sehingga mereka tiak ketinggalan zaman dengan para pemijat di luar sana yang bukan difabel netra,” kata Kamsiaty.
Namun, bagi Ketua Dewan Pengurus Pusat Persatuan Tunanetra Indonesia (DPP Pertuni) Aria Indrawati, tawaran ini tak akan menyelesaikan masalah. Pemerintah seharusnya membukakan pintu bagi difabel netra untuk bisa memiliki profesi lain di luar pijat.
”Banyak tunanetra jadi juru pijat karena memang cuma itu yang diajarkan. Pilihan yang disediakan pemerintah terbatas. Padahal, kalau berkesempatan sekolah tinggi, banyak yang bisa jadi dosen, guru, atau wartawan,” kata Aria, Rabu (25/5/2022), ketika berkunjung ke Manado.