Pengusaha Ternak di Sumbar Kesulitan Dapatkan Sapi Kurban
Pengusaha peternakan sapi di Sumatera Barat mengaku kesulitan mendapatkan stok sapi kurban akibat wabah penyakit mulut dan kuku. Akibat stok langka, harga sapi kurban naik tinggi dan tidak stabil.
Oleh
YOLA SASTRA
·5 menit baca
PADANG, KOMPAS — Pengusaha peternakan sapi di Sumatera Barat mengaku kesulitan mendapatkan stok sapi kurban akibat wabah penyakit mulut dan kuku atau PMK. Akibat kelangkaan pasokan, harga sapi naik tinggi dan tidak stabil. Sementara itu, perkumpulan insinyur dan sarjana peternakan menilai kebijakan pemerintah menanggulangi PMK sulit dilaksanakan karena tidak jelas dari segi pendanaan.
Hal tersebut mengemuka dalam webinar ”Penyakit Mulut dan Kuku: Dampak dan Upaya Pengendalian”, Selasa (24/5/2022). Webinar yang digelar secara hibrida itu diadakan Fakultas Peternakan Universitas Andalas di Padang, Sumbar.
Manajer Operasional CV Andalas Farm Azmi Alhuda mengungkapkan, akibat wabah PMK, pengadaan sapi kurban dari luar Sumbar terhambat karena pengetatan pengawasan. Pengadaan sapi kurban di pasar ternak di Sumbar paling banyak dari Sumatera Utara sebanyak 70 persen. Selebihnya dari Bengkulu dan Jambi 20 persen serta Nusa Tenggara Barat, Bali, dan sekitarnya sekitar 10 persen.
”Untuk sapi-sapi bali, penyetopan langsung dari daerah Jawa. Untuk sapi di daerah Sumatera, masih ada lalu lintas sapi, tetapi agak terhambat,” kata Azmi dalam paparannya.
Menurut Azmi, perusahaannya tetap melakukan prosedur pengangkutan ternak dari Sumut, yaitu melengkapi surat kesehatan dan izin keberangkatan. Namun, ia menilai, bentuk pengawasan lalu lintas ternak antarprovinsi di Sumbar belum jelas dan tepat. Pencegahan yang hanya pengecekan fisik tidak terlalu tepat mengantisipasi PMK.
Penutupan pasar ternak di Sumbar, lanjut Azmi, juga membuat perusahaan kesulitan mendapatkan stok sapi kurban. Selain itu, harga sapi kurban juga melonjak 15-25 persen dan cenderung tidak stabil di setiap daerah. Hal itu terjadi akibat pembelian panik para pihak yang mengadakan sapi kurban.
”Di daerah lain, umumnya di Jawa, yang terjadi penjualan panik. Karena sapi sakit, petani langsung panik menjualnya ke pedagang. Di Sumbar, yang terjadi pembelian panik. Sampai-sampai panitia kurban di Sumbar cepat menanggapi PMK dengan membeli sapi kecil dengan harga mahal. Maka di setiap daerah harga cenderung tidak stabil,” ujarnya.
Minimnya stok sapi kurban akibat terhambatnya lalu lintas ternak, kata Azmi, juga riskan terhadap populasi di Sumbar. Minimnya sapi kurban jantan membuat panitia kurban cenderung memilih sapi betina. Apalagi harga sapi kurban jantan meningkat lebih dari 25 persen.
Menurut dia, kuantitas penjualan sapi kurban oleh perusahaannya terus berkurang akibat kondisi tersebut. Selain itu, margin keuntungan juga menurun karena harga tinggi. ”Kami berharap dinas lebih tepat dalam menangani PMK ini,” ujarnya.
Pemerintah relatif cepat mengeluarkan kebijakan penanganan PMK. Namun, kebijakan itu tidak diikuti dengan operasionalisasinya di lapangan. (Rochadi Tawaf)
Rochadi Tawaf dari Dewan Pakar Pengurus Besar Perkumpulan Insinyur dan Sarjana Peternakan (PB ISPI) mengatakan, pemerintah relatif cepat mengeluarkan kebijakan penanganan PMK. Namun, kebijakan itu tidak diikuti dengan operasionalisasinya di lapangan.
”Masalah kita mengoperasikannya ini. Kita ingin penyebaran virus tidak terjadi, pemerintah sebut stamping out terbatas. Dananya dari mana? Bagaimana mengoperasikan? Otovet (otoritas veteriner) ada enggak? Wilayahnya siapa mengoperasikan? Ini diperlukan sekarang bagaimana daerah mengoperasikan kebijakan yang cukup baik ini,” kata Rochadi.
Rochadi melanjutkan, banyak laporan kasus yang diterima PB ISPI terkait masalah yang dihadapi peternak dan pengusaha. Pulau Madura, misalnya, masih bebas dari PMK, tetapi peternak tidak bisa mengirim sapi ke Jawa Barat karena tidak boleh keluar sehingga mematikan bisnis di sana.
Sementara itu, Nusa Tenggara Timur juga masih bebas dari PMK. Walakin, banyak kapal memuat sapi terapung-apung karena tidak bisa membongkar muatan di Tanjung Perak, Jawa Timur. Akhirnya, kapal mesti ke Jakarta.
”Siapa yang menanggung itu di Jakarta? Persoalan ini harus dicari jalan keluarnya agar pebisnis usaha peternak tidak mengalami kerugian berlebihan. Ada kebijakan operasional yang harus dibuat sedemikian rupa tanpa menyebabkan kerugian dan penyebaran penyakit lebih luas,” ujarnya.
Rochadi menambahkan, upaya pemusnahan (stamping out) menjadi pilihan utama mengatasi wabah PMK. Walakin, itu sulit dilakukan tanpa ada status jelas terkait wabah PMK. Jika PMK di provinsi tidak disebutkan status kejadian luar biasa (KLB), tidak ada sumber dana untuk ganti rugi dari upaya stamping out itu.
”Kalau di nasional tidak keluarkan status, pemda sebaiknya keluarkan status kejadian ini adalah kejadian apa. Tentu ada kebijakan daerah agar pendanaan bisa dihadirkan. Kendala operasional ini sebetulnya tidak ada dana terkait kondisi KLB ini,” ujarnya.
Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Sumbar Erinaldi mengatakan, untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan kurban, dinas memutuskan tidak melarang lalu lintas ternak. Walakin, dinas memperketat pengawasan dan persyaratan pengangkutan ternak.
”Kami mencoba memperlakukan ternak seperti pelaku wisata masa Covid-19 kemarin. Ada travel bubble. Ternak boleh diperjalankan dengan persyaratan khusus dan dikawal. Travel bubble sapi atau trabas,” kata Erinaldi.
Ia melanjutkan, travel bubble sapi itu mulai diterapkan pekan depan seiring dibukanya kembali pasar ternak regional. Sebelumnya, ada lima pasar ternak regional ditutup selama dua pekan sejak 14 Mei untuk melihat peta penyebaran dan memutus penularan virus PMK.
Pada travel bubble sapi itu, kata Erinaldi, pengangkutan ternak mesti dilengkapi surat keterangan asal dan surat keterangan kesehatan hewan (SKKH). Hewan yang dikirim mesti berasal dari tempat penampungan yang memenuhi standar biosekuritas hewan dan diawasi langsung dokter hewan.
Dinas juga telah menetapkan titik pemeriksaan di delapan titik perbatasan antarprovinsi Sumbar. Setiap kendaraan pengangkutan ternak mesti melapor ke pos pemeriksaaan. Setelah sampai di daerah tujuan, ternak mesti dikarantina tujuh hari. Jika sehat, pusat kesehatan hewan menerbitkan SKKH pascakarantina.
”Pengetatan lalu lintas itu jadi kunci sekarang agar asal ternak jelas, dikarantina di daerah asal, keluarkan surat, ada check point di daerah tujuan, ada karantina. Ini berlaku minggu depan setelah pasar ternak dibuka kembali,” ujarnya.
Terkait status wabah yang belum jelas, Erinaldi mengakui, dana untuk ganti rugi pemusnahan ternak memang belum tersedia. Sejauh ini, dinas memperlakukan PMK seolah-olah sedang endemi. “Kami hanya obati ternak sakit. Kami cari yang sakit, kami obati. Selama ini bisa disembuhkan, penyakitnya tidak fatal,” katanya.
Data Dinas PKH Sumbar, hingga Selasa (24/5/2022) pukul 00.00, jumlah ternak terjangkit PMK sebanyak 810 ekor dengan 136 di antaranya terkonfirmasi positif dari hasil laboratorium. Sejauh ini, ada empat ekor ternak sembuh dan belum ada kasus mati atau potong paksa.