Polres Sragen berkomitmen merampungkan pengusutan kasus dugaan pemerkosaan terhadap bocah berusia 9 tahun yang terjadi pada 2020. Kurangnya keterangan saksi untuk membuktikan pernyataan korban menjadi kendala.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
SRAGEN, KOMPAS — Kepolisian Resor Sragen menyatakan berkomitmen merampungkan pengusutan kasus dugaan pemerkosaan terhadap bocah perempuan berusia sembilan tahun yang terjadi pada tahun 2020. Kurangnya keterangan saksi untuk membuktikan pernyataan korban menjadi kendala pengungkapan kasus tersebut. Beragam cara untuk melengkapi keterangan pendukung akan diambil demi menghadirkan keadilan bagi korban.
Kasus dugaan pemerkosaan itu dialami seorang bocah berinisial W (10) di Kecamatan Sukodono, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Ia mengalami musibah tersebut saat masih berusia sembilan tahun. Terlapornya ialah tetangga korban, berinisial S. Peristiwa itu terjadi akhir November 2020 dan dilaporkan Desember 2020. Meski pemeriksaan telah berjalan hampir dua tahun, belum ada sosok yang ditetapkan sebagai tersangka.
Kepala Polres Sragen Ajun Komisaris Besar Piter Yanottama menampik apabila kasus itu disebut mangkrak. Sebab, jajarannya telah bekerja keras untuk mengumpulkan keterangan demi mengusut kasus tersebut. Hanya saja, terdapat penghambat yang disebut mempersulit aparat kepolisian menentukan tersangkanya.
”Total kami sudah memeriksa 16 saksi. Tetapi, itu akan kami pilah-pilah. Mana saksi-saksi yang benar-benar memiliki pembuktian. Sekarang, saksi yang memiliki nilai pembuktian untuk mengarah ke pelaku masih sangat minim,” kata Piter di Markas Polres Sragen, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, Sabtu (21/5/2022).
Para saksi yang diperiksa terdiri dari korban, keluarga korban, tetangga korban, hingga sosok terlapor yang diduga menjadi pelaku tindak pidana tersebut. Sejauh ini, adanya peristiwa dugaan pemerkosaan baru disampaikan oleh korban. Saksi-saksi lain belum mengakui dan menyampaikan kesaksian yang mendukung pernyataan korban atas terjadinya peristiwa tersebut.
Namun, menurut Piter, hambatan itu tidak serta-merta menghadapkan pengusutan kasus pada jalan buntu. Masih ada cara-cara lain yang bisa dilakukan untuk menemukan kebenaran atas peristiwa tersebut. Sebab, ada dugaan tindak pidana pemerkosaan yang dapat dibuktikan dari hasil visum korban, yang juga termasuk sebagai salah satu alat bukti dalam kasus tersebut. ”Lagi-lagi, kami akan berusaha mencari perspektif penyidikan yang lain untuk mendapatkan saksi dengan nilai pembuktian maksimal,” katanya.
Piter menyebutkan, kendala lain yang dihadapi ialah adanya rentang waktu antara kejadian dan pelaporan. Pelaporan baru dilakukan satu bulan setelah terjadinya peristiwa. Hal itu mempersulit aparat kepolisian mencari bukti-bukti otentik dari kasus tersebut.
Selanjutnya, Piter menyatakan keinginannya agar kasus tersebut dapat segera terungkap. Sejak empat hari lalu resmi bertugas di Polres Sragen, ia bersama jajarannya kembali membuka alat-alat bukti yang ada dan mengevaluasi langkah penanganan kasus yang selama ini sudah ditempuh. Pihaknya juga mendapat supervisi dari Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jateng untuk mendalami kasus tersebut.
”Kami ingin sesegera mungkin (terungkap), tetapi proses penyidikan harus cermat, teliti, profesional, dan proporsional. Kami berusaha cepat menuntaskan perkara ini, tetapi tidak gegabah. Kami sangat peduli dan berada satu posisi bersama korban,” kata Piter, yang menjabat sebagai Kapolres Sragen sejak Minggu (15/5/2022).
Sementara itu, D (35), ayah korban, menyampaikan, W mulai lelah dengan panjangnya proses pemeriksaan dari kepolisian. Pada Kamis (19/5/2022) lalu, W baru saja dimintai keterangan kembali terkait peristiwa yang dialaminya. Ia menangis karena kondisi psikologisnya belum stabil. Rasa takut selalu muncul apabila ia diminta mengingat-ingat peristiwa tersebut.
D mengharapkan agar kasus yang menimpa putrinya itu dapat segera diselesaikan. Ia akan mengawal kasus tersebut sampai keadilan diperoleh uuntuk sang anak. Intimidasi yang dialaminya tak membuat gentar meski mengancam keselamatannya. Pernah sekali waktu, gerobaknya ditabrak oleh orang tak dikenal. Si penabrak memintanya agar menghentikan kasus hukum yang menyangkut putrinya itu.
”Saya tidak takut. Saya akan berjuang sampai anak saya benar-benar dapat keadilan. Bahkan, dulu pernah saya mau diberi oknum politisi lokal uang senilai Rp 500.000 untuk menutup kasus ini. Saya tolak mentah-mentah. Kehormatan anak saya tak ternilai harganya,” kata D.