Konflik Satwa Masif, Seorang Petani di Aceh Selatan Terluka Diterkam Harimau
Seorang petani di Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh, diterkam harimau saat mengelola kebun. Konflik satwa mengancam keselamatan manusia dan satwa lindung.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
ACEH SELATAN, KOMPAS — Muhajir (47), seorang petani di Desa Seuleukat, Kecamatan Bakongan Timor, Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh, nyaris kehilangan nyawa. Saat sedang memetik cabai di kebunnya, seekor harimau sumatera menerkamnya. Dia selamat, tetapi kakinya luka parah digigit Raja Hutan.
Seorang kerabat korban, Jeri Rahmat, dihubungi pada Sabtu (21/5/2022), menuturkan, mereka bersyukur korban selamat. Jeri ikut melakukan evakuasi Muhajir dan mengantar ke rumat sakit setempat.
Jeri mengatakan, peristiwa itu terjadi pada Sabtu sekitar pukul 10.00. Kala itu korban sedang memetik cabai di kebunnya, tiba-tiba seekor harimau menyerang. Korban berusaha melepaskan diri dari serangan binatang buas itu. Namun, kaki kanan korban terluka digigit oleh harimau.
Korban sempat bergelut dengan harimau. Saat terlepas dari sergapan harimau, korban menyelamatkan diri dengan cara memanjat pohon kemiri. Harimau itu sempat mengejar dan menunggui korban di bawah pohon itu.
Kami telah memasangi perangkap, tetapi sampai sekarang belum berhasil ditangkap. (Hadi Sofyan)
Petani yang melihat korban diserang harimau langsung menghubungi keluarga korban untuk meminta bantuan. ”Saat kami tiba korban sedang berada di dahan pohon kemiri dalam keadaan ketakutan dan darah bercucuran,” kata Jeri.
Kepala Seksi Wilayah II Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Hadi Sofyan mengatakan, konflik harimau di Aceh Selatan cukup masif. Harimau yang menyerang Muhajir telah muncul di kawasan permukiman sejak tujuh bulan lalu.
”Kami telah memasangi perangkap, tetapi sampai sekarang belum berhasil ditangkap,” kata Hadi.
Hadi menambahkan tim BKSDA Aceh tetap siaga di kawasan Trumon Timur untuk mengevakuasi harimau tersebut. Dia juga mengingatkan warga untuk tetap waspada saat beraktivitas di perkebunan.
”Konflik harimau di Aceh Selatan karena ada habitatnya telah banyak beralih fungsi. Penanganan konflik satwa tidak akan selesai jika hanya berharap kepada BKSDA,” kata Hadi.
Konflik harimau paling banyak terjadi di Aceh Selatan. Sejak 2007 hingga kini masih terus terjadi. Kawasan hutan di Aceh Selatan terhubung ke Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang merupakan rumah besar harimau sumatera. Namun, degradasi hutan di zona penanyangga membuat habitat harimau terganggu.
Ditanami kelapa sawit
Salah satu lokasi perambahan adalah kawasan Konservasi Rawa Singkil. Titik-titik yang dirambah kini ditanami kelapa sawit. Padahal, Rawa Singkil merupakan habitat orangutan, harimau, dan ragam jenis burung.
Data dari BKSDA Aceh sejak 2007 hingga 2022, sebanyak tujuh warga Aceh Selatan tewas diterkam harimau. Selain manusia, belasan ekor harimau juga mati. Konflik membuat manusia dan satwa lindung sama-sama terancam.
Adapun di Aceh diperkirakan harimau tersisa 179 ekor yang tersebar di KEL dan Ulu Masen. Namun, data itu terakhir diperbarui pada tahun 2000-an.
Harimau sebagai hewan pemangsa nomor wahid di rimba menjaga tatanan ekosistem. Saat harimau diburu oleh manusia, maka tidak ada lagi predator pemburu hama di hutan.
Selain mati karena konflik, harimau sumatera paling banyak diburu untuk diperdagangkan. Satwa lindung itu dibunuh dengan cara dijerat, diracun, dan ditembak. Beberapa kasus kematian harimau sampai kini belum terungkap.
Sebelumnya Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh Ahmad Sholihin menuturkan perambahan hutan harus dihentikan karena berdampak buruk pada keseimbangan alam. Dampak dari kerusakan hutan dapat memicu konflik satwa dan bencana alam.
Sholihin mengatakan, perbaikan tata kelola hutan harus dibenahi agar kerusakan hutan tidak semakin parah. Salah satu solusi melalui mekanisme perhutanan sosial agar hutan tetap terjaga dan warga terberdayakan.