Sebagian besar sapi di NTT diberi pakan alami sehingga lebih kebal dari serangan penyakit. Hingga Rabu (18/5/2022), NTT bebas dari PMK.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Hingga Rabu (18/5/2022), belum ada satu pun sapi ternak di Nusa Tenggara Timur yang menderita penyakit mulut dan kuku. Peternak setempat meyakini, sumber pakan alami menjadi kunci ternak memiliki kekebalan tubuh sehingga terhindar dari wabah penyakit. Kualitas daging ternak juga dianggap lebih baik.
Di Desa Tunbaun, Kecamatan Amarasi Barat, Kabupaten Kupang, hampir semua keluarga memiliki sapi ternak. Setiap pagi dan petang, sapi digembalakan di padang rumput sekitar perkampungan itu. Sapi memakan daun-daun yang tumbuh liar seperti lamtoro, rumput gajah, rumput raja, dan kelor. ”Kami tidak pernah campur dengan makanan pabrik,” ujar Ferdi (34), peternak.
Sementara hanya sebagian kecil ternak yang diikat dalam areal tertentu. Untuk pakannya juga menggunakan dedaunan dan rumput liar didatangkan dari hutan. Setiap hari sapi diberi minum air secara rutin. ”Kalau sapi yang beratnya sampai 1 ton, butuh air puluhan liter air. Minum juga tidak ada campuran obat dari toko,” ujarnya.
Kondisi sapi di sana sehat. Tak ada gejala penyakit mulut dan kuku seperti yang terjadi di daerah lain di Indonesia. Banyak sapi di sana sudah siap dijual ke daerah lain menjelang hari raya kurban Idul Adha awal Juli mendatang. ”Kami yakin, sapi kalau dikasih makan yang alami, pasti sehat dan kebal dari penyakit,” katanya.
Gasper Tiran (52), pengusaha sapi di daerah itu, mengatakan, sebanyak 50 ekor sapi miliknya sudah ditawar untuk dikirim ke Pulau Jawa menjelang Idul Adha nanti, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Satu ekor dengan berat sekitar 1 ton dijual dengan harga paling murah Rp 40 juta.
Namun, rencana pengiriman ke Pulau Jawa itu kini terkendala wabah penyakit mulut dan kuku (PMK). Beberapa wilayah di Indonesia menutup pintu bagi masuknya ternak dari luar. Ratusan ekor sapi yang sudah dikirim dari NTT juga kini masih tertahan di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur.
Gasper berharap agar pemerintah mengambil kebijakan untuk memperbolehkan pengiriman sapi dari daerah yang masih bebas dari PMK. Pengiriman itu melalui proses pemeriksaan yang ekstra ketat. ”Dalam satu tahun, kesempatan peternak untuk meraup penghasilan yang cukup itu hanya satu kali, yaitu pada Idul Adha. Jangan sampai momen itu berlalu begitu saja,” ucapnya.
Ia juga keberatan jika pemerintah pusat ingin mengimpor sapi dari Australia demi mencukupi kebutuhan Idul Adha. Sebaliknya, pemerintah diminta memprioritaskan produk sapi dalam negeri. Di kalangan pedagang sapi, isu impor sapi itu mulai diembuskan setelah temuan kasus PKM di Jawa Timur beberapa waktu lalu.
Jawa Timur merupakan lumbung sapi ternak nomor satu di Indonesia. Temuan kasus PMK di daerah itu berpengaruh pada stok daging secara nasional. Temuan PMK ini juga terjadi saat proses jual beli dan pengiriman sapi untuk kebutuhan Idul Adha mulai dilakukan di beberapa daerah. Kini ada dorongan dari pihak tertentu untuk dilakukan impor.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, populasi sapi potong tahun 2020 di lima provinsi dengan jumlah terbanyak berturut-turut, Jawa Timur sebanyak 4,8 juta ekor, Jawa Tengah 1,80 juta ekor, Sulawesi Selatan sebanyak 1,4 juta ekor, Nusa Tenggara Barat sebanyak 1,2 juta ekor, dan Nusa Tenggara Timur 1,1 juta ekor.
Melky Angsar, Kepala Bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Dinas Peternakan NTT melaporkan, hingga Rabu petang ini, belum ada temuan kasus PMK di NTT. Pemantauan ternak dilakukan secara intensif di sejumlah lokasi peternakan. Ternak sapi terbanyak NTT ada di Pulau Timor.
Melky juga setuju dengan pilihan pakan alami oleh peternak. ”Pakan alami lebih bagus. Namun karena jumlahnya terbatas sehingga untuk tambahan bisa diberi pakan toko sebagai tambahan unsur mineral yang tidak ada pada pakan alami seperti lamtoro,” katanya.