Pengawasan dan Deteksi Dini Menjadi Kunci Menanggulangi PMK
Kembalinya wabah penyakit mulut dan kuku menunjukkan pentingnya kewaspadaan dan penguatan bidang kesehatan hewan.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·3 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Kembalinya wabah penyakit mulut dan kuku di sejumlah provinsi di Indonesia menunjukkan pentingnya kewaspadaan dan penguatan bidang kesehatan hewan. Merebaknya penyakit mulut dan kuku juga berdampak pada kerugian ekonomi, selain dapat memengaruhi penilaian internasional terhadap kesehatan hewan di Indonesia.
Menurut praktisi dan pensiunan penyidik penyakit hewan, Soeharsono, terjadinya kembali wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) di Indonesia mengindikasikan masih lemahnya pengawasan terhadap kesehatan hewan. Indonesia memperoleh pengakuan bebas PMK dari Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) pada 1990 setelah Indonesia berhasil mengatasi PMK pada 1986.
”Dengan munculnya kembali wabah PMK, kerja berat kita akan menjadi sia-sia,” kata Soeharsono yang dihubungi Kompas di Denpasar, Selasa (17/5/2022).
PMK dilaporkan mewabah di wilayah Jawa Timur pada April 2022. Penyakit itu juga dilaporkan ditemukan di wilayah Aceh. Penyakit ini menyerang sapi dengan gejala, antara lain, demam tinggi, air liur berlebihan, lepuh pada rongga mulut dan lidah, dan pincang. Pemberitaan Kompas.id edisi Sabtu (14/5/2022) menyebutkan, PMK meluas dan ditemukan di sejumlah provinsi lain, di antaranya, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Barat, dan Kalimantan Barat.
Ditemui secara terpisah, Kepala Balai Besar Veteriner Denpasar I Ketut Wirata mengungkapkan, PMK juga ditemukan di wilayah Nusa Tenggara Barat. Hal itu berdasarkan hasil pemeriksaan dan pengujian sampel oleh tim Balai Besar Veteriner Denpasar dengan metode tes usap dengan reaksi berantai polimerase (PCR). ”Setelah mendapatkan sampel positif, kami sedang memeriksakan sekuensingnya,” kata Wirata yang ditemui di Kantor Balai Besar Veteriner Denpasar, Selasa (17/5/2022).
Soeharsono menambahkan, PMK dapat menyerang hewan ternak lain selain sapi, seperti kambing, kerbau, domba, dan babi. Dalam artikel opini Soeharsono di harian Kompas edisi Kamis (12/5/2022), PMK dinyatakan menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar sehingga Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) memasukkan PMK ke dalam List A dan harus dilaporkan.
Menurut Soeharsono, PMK lebih fatal pada anak sapi dibandingkan sapi dewasa. Ternak yang terinfeksi virus PMK dapat diberikan obat dan dirawat agar ternak tersebut tidak terkena infeksi sekunder akibat bakteri. Adapun virus PMK pada ternak yang terinfeksi dinyatakan tidak dapat dimatikan sehingga ternak berpotensi menjadi pembawa virus (carrier). Soeharno menyatakan, sejauh ini belum ditemukan bukti penularan PMK terhadap manusia.
Soeharsono mengatakan, untuk mengantisipasi dan mencegah PMK menyebar dan mewabah di daerah yang masih bebas PMK, maka pengawasan lalu lintas hewan harus diketatkan. Daerah-daerah yang masih bebas PMK namun berada di antara wilayah yang sedang wabah PMK, misalnya, Bali, menurut Soeharsono, harus menerapkan kewaspadaan dan bersiaga.
Penerapan biosekuriti peternakan diawasi dan dipastikan. Pemeriksaan kesehatan hewan sebagai deteksi dini menjadi penting dijalankan. ”Impor daging dipastikan dari negara-negara yang sudah bebas PMK,” kata Soeharsono.
Adapun dalam keterangan tertulis dari Persatuan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) Cabang Bali, Ketua PDHI Cabang Bali I Ketut Puja menyatakan, perlu diterapkan langkah disinfeksi terhadap kendaraan angkutan ternak yang masuk ke Bali, terutama kendaraan yang melewati daerah wabah penyakit. Selain itu, dijalankan pula surveilans klinis terhadap PMK, khususnya daerah yang pernah disinggahi ternak dari Jawa atau daerah lain yang sedang mengalami wabah PMK.
Apabila ditemukan tanda-tanda PMK, menurut Puja, maka perlu dikonfirmasikan ke laboratorium. Jika positif, maka perlu dilakukan aksi cepat, misalnya, penutupan daerah dan pelaksanaan pemusnahan (stamping out) berbasis zona. ”Ternak yang sakit harus diobati,” kata Puja, Minggu (15/5/2022).