Eksekusi Tanah di Cigugur, Ruang Hidup Masyarakat Sunda Wiwitan Terancam
Meski tertunda, rencana sita eksekusi tanah di Mayasih, Kelurahan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, masih mengancam masyarakat adat Sunda Wiwitan. Pengadilan memastikan rencana itu tetap berjalan.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
KUNINGAN, KOMPAS — Masyarakat Adat Karuhun Urang atau Akur Sunda Wiwitan terus menolak pencocokan dan sita eksekusi tanah di Blok Mayasih, Kelurahan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Rencana eksekusi dinilai mengancam ruang hidup masyarakat adat. Meski demikian, Pengadilan Negeri Kuningan akan tetap menjalankan rencana tersebut.
Rencana eksekusi tanah itu tertuang dalam surat Pengadilan Negeri Kuningan bernomor W.11.U16/825/HK.02/4/2022 yang menyebutkan pencocokan (constatering) dan sita eksekusi berlangsung Rabu (18/5/2022) pukul 09.00. Sesuai perkara Nomor 1/Pdt.Eks/2022/PN KNG jo Nomor 7/Pdt.G/2009/PN KNG, obyek eksekusi berada di RT 029 RW 010, Cigugur.
Masyarakat Akur Sunda Wiwitan bersama Forum Komunikasi Lintas Iman Cirebon, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, dan Sekretariat Nasional Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika melakukan Gelar Budaya untuk menolak rencana eksekusi. Dengan mengenakan pakaian adat, sejumlah warga bergandengan tangan dan berbaris di depan jalan masuk Blok Mayasih.
Bahkan, massa sempat berbaring di jalan sebagai tanda perlawanan terhadap rencana eksekusi. Sejumlah atraksi budaya turut ditampilkan, seperti tarian angklung buncis dan ritual doa bersama. Selain berorasi, massa aksi juga menyanyikan lagu nasional dan adat berbahasa Sunda. Kegiatan tersebut berlangsung kondusif dengan pengawalan aparat keamanan.
Hingga massa bubar pada Rabu siang, PN Kuningan belum melakukan pencocokan dan sita eksekusi. Namun, menurut Juwita Djatikusumah, girang pangaping (pendamping) Masyarakat Akur Sunda Wiwitan, tanah adat di Mayasih masih terancam dieksekusi. ”Sekalipun (tanah Mayasih) ini sudah dua kali dieksekusi, kami akan hadapi. Ini tanah leluhur kami,” ujarnya.
Menurut dia, sesepuh Sunda Wiwitan, Pangeran Madrais Sadewa Alibasa dan Pangeran Tedjabuwana memberikan hak pengelolaan aset adat, termasuk tanah Mayasih, kepada tokoh masyarakat adat yang kemudian membentuk Yayasan Pendidikan Tri Mulya. Surat pernyataan Pangeran Tedjabuwana pada 1964 dan 1975 menyebutkan aset itu milik komunal, bukan pribadi.
Namun, pada 2009, Djaka Rumantaka, yang masih keturunan Pangeran Tedjabuwana, menggugat tanah di Mayasih. Pengadilan memutuskan Djaka berhak atas lahan sekitar 200 meter persegi itu. Pada 2017, pengadilan akan mengeksekusi tanah tersebut. Namun, eksekusi tidak berjalan seiring aksi penolakan Masyarakat Akur Sunda Wiwitan. Kini, rencana eksekusi mencuat lagi.
Masyarakat Akur Sunda Wiwitan sempat menggugat kembali ke pengadilan. Namun, belum membuahkan hasil. Salah satu kendalanya, mereka tidak dinilai memiliki legal standing (kedudukan hukum) karena belum terdaftar sebagai masyarakat hukum adat (MHA). Pihaknya telah mengajukan penetapan MHA pada April 2020, tetapi Pemkab Kuningan menolaknya.
”Sekarang, ruang hidup kebudayaan kami mau dirampas lagi. Sekarang tidak henti-hentinya tanah adat dirampas dengan mengatasnamakan waris. Mungkin negara bisa merobohkan bangunan ini, tetapi jangan robohkan bangunan kebudayaan kami,” tutur Juwita. Tanah di Mayasih, lanjutnya, selama ini menjadi tempat kegiatan budaya masyarakat Sunda Wiwitan.
Menurut dia, hakim keliru memahami objectum litis atau obyek perkara sebagai sengketa waris. Padahal, lanjutnya, objectum litis-nya merupakan perbuatan melawan hukum yang terjadi pada masyarakat adat. ”Tanah adat Mayasih diduga telah dimanipulasi oleh pihak-pihak yang bekerja sama untuk membelokkan sejarah dan ingin merampas tanah-tanah adat,” kata Juwita.
Djaka Rumantaka mendesak PN Kuningan dan aparat keamanan segera mengeksekusi tanah itu. Menurut dia, tanah di Mayasih bukan milik adat, melainkan haknya sesuai keputusan pengadilan. ”Dari 2009, (eksekusi) sudah berkekuatan hukum. Di sini sudah 11 kali putusan terkait tanah itu dan dimenangkan oleh saya. (Proses hukumnya) sudah sesuai ketentuan,” ujarnya.
Mungkin negara bisa merobohkan bangunan ini, tetapi jangan robohkan bangunan kebudayaan kami,
Juru Bicara Pengadilan Negeri Kuningan Hans Prayugotama terus berkoordinasi dengan aparat keamanan untuk melaksanakan pencocokan dan sita eksekusi di Mayasih. ”Belum ada gagal atau tidak (sita eksekusi). Kalau gagal atau tidaknya kami harus dapat surat resmi dari pihak kepolisian yang tidak bisa mendampingi. Sampai saat ini tidak ada surat,” katanya.
Pihaknya memastikan, rencana sita eksekusi tetap berjalan. Akan tetapi, pihaknya tidak bisa bergerak sendiri tanpa dukungan aparat keamanan. ”Kami harus menjalankan putusan (sita eksekusi) itu apa pun kondisinya. Status tanah itu sesuai dengan putusan adalah hak dari pemohon. Mengenai proses perkara, itu bukan ranah kami,” kata Hans.