Masyarakat Adat Sunda Wiwitan Menolak, PN Kuningan: Eksekusi Lahan Jalan Terus
Pengadilan Negeri Kuningan melakukan pencocokan dan sita eksekusi di Blok Mayasih, Kelurahan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Rabu (18/5/2022). Masyarakat Akur Sunda Wiwitan pun menolak rencana tersebut.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
KUNINGAN, KOMPAS — Masyarakat Adat Kahurun Urang (Akur) Sunda Wiwitan menolak kegiatan pencocokan dan sita eksekusi lahan oleh Pengadilan Negeri Kuningan di Blok Mayasih, Kelurahan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Eksekusi tersebut dinilai melemahkan masyarakat adat. Meskipun demikian, pengadilan memastikan, rencana tersebut tetap berjalan.
Berdasarkan surat Pengadilan Negeri Kuningan bernomor W.11.U16/825/HK.02/4/2022 yang diterbitkan akhir April lalu, pencocokan (constatering) dan sita eksekusi perkara Nomor 1/Pdt.Eks/2022/PN KNG jo Nomor 7/Pdt.G/2009/PN KNG akan dilaksanakan, Rabu (18/5/2022). Perkara sengketa tanah itu berada di Blok Mayasih RT 29 RW 10 Kelurahan Cigugur, Kuningan.
Kasus ini bermula ketika seorang warga menggugat tanah tersebut pada 2009. Padahal, menurut Okki Satria Djati, Girang Pangaping (pendamping) Masyarakat Akur Sunda Wiwitan, obyek tanah eksekusi merupakan lahan adat warisan leluhur yang seharusnya dikelola secara komunal, bukan pribadi. ”Kami di Cigugur menolak eksekusi tersebut,” ujarnya, Selasa (17/5).
Menurut dia, sesepuh Sunda Wiwitan, yakni Pangeran Madrais Sadewa Alibasa dan Pangeran Tedjabuwana telah memberikan hak pengelolaan aset adat, termasuk tanah Mayasih, kepada tokoh masyarakat adat yang kemudian membentuk Yayasan Pendidikan Tri Mulya. Hal ini, antara lain, tercantum dalam surat pernyataan Pangeran Tedjabuwana pada 1964 dan 1975.
Itu sebabnya, lanjut Okki, rencana eksekusi tanah adat Mayasih akan merugikan masyarakat adat. Apalagi, lahan dan bangunan yang dieksekusi merupakan salah satu pusat rumah adat. Obyek sengketa itu juga merupakan rumah warga adat yang ditugaskan membantu kegiatan pelestarian budaya di Paseban Tri Panca Tunggal, bagian cagar budaya nasional.
Okki menilai, hakim keliru memahami objectum litis atau obyek perkara sebagai sengketa waris. Padahal, lanjutnya, objectum litis-nya merupakan perbuatan melawan hukum yang terjadi pada masyarakat adat. ”Tanah adat Mayasih diduga telah dimanipulasi oleh pihak-pihak yang bekerja sama untuk membelokkan sejarah dan ingin merampas tanah-tanah adat,” ungkapnya.
Di pihak lain, Juru Bicara Pengadilan Negeri Kuningan Hans Prayugotama mengatakan, pengajuan eksekusi menunjukkan keputusan terkait itu telah berkekuatan hukum tetap. ”Kalau prosedur menuju proses eksekusi sudah dilakukan semuanya. Sudah ada permohonan, kemudian ditelaah, lalu pemanggilan. Semua sudah dijalankan. Besok kegiatan (constatering) pukul 09.00,” ujarnya.
Pada 2017, rencana eksekusi lahan di Mayasih gagal setelah ratusan warga adat Sunda Wiwitan menggelar aksi dengan berbaring di jalan. Masyarakat Akur Sunda Wiwitan juga sempat melawan melalui jalur litigasi. Namun, belum membuahkan hasil. Salah satu kendalanya, mereka tidak memiliki legal standing (kedudukan hukum) karena bukan masyarakat hukum adat.
Pada 11 April 2020, masyarakat Akur Sunda Wiwitan mengajukan penetapan sebagai masyarakat hukum adat (MHA) kepada pemerintah daerah. Pemkab lalu membentuk Panitia MHA Kuningan. Hasilnya, Bupati Kuningan, melalui surat Nomor 189/3436/DPMD pada 29 Desember 2020, menolak permohonan itu.