Ubur-ubur muncul di perairan Probolinggo dan dianggap biasa terjadi saat pergantian musim. Akademisi menyebut cuaca ekstrem mempercepat peningkatan populasinya.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Koloni ubur-ubur muncul di perairan utara Probolinggo, Jawa Timur, dalam sepekan terakhir. Fenomena ini dinilai biasa terjadi ketika memasuki peralihan musim. Namun, akademisi menyebut cuaca ekstrem juga berpengaruh terhadap populasi hewan tak bertulang belakang itu.
Berdasarkan informasi yang dikumpulkan Kompas, munculnya ubur-ubur terpantau di Probolinggo Raya, termasuk di beberapa titik yang menjadi pusat ekonomi dan wisata, seperti Pelabuhan Tanjung Tembaga dan Pantai Mayangan di Kota Probolinggo, hingga Pantai Bentar di Kecamatan Gending, Kabupaten Probolinggo.
Kepala Bidang Perikanan Tangkap Dinas Perikanan Kabupaten Probolinggo Hari Pur Sulistiono mengatakan, munculnya ubur-ubur sebenarnya biasa terjadi setiap kali menjelang masa pergantian musim akibat perubahan suhu air laut. Ubur-ubur menyenangi suhu yang lebih tinggi dari lingkungan di sekitarnya.
”Munculnya ubur-ubur musiman. Biasa terjadi setiap jelang peralihan musim, baik dari musim hujan ke kemarau maupun dari musim kemarau ke pmusimhujan,” ujarnya saat dihubungi dari Malang, Jumat (13/5/2022).
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, menurut Hari, kemunculan ubur-ubur kali ini sedikit bergeser dari biasanya akibat peralihan musim yang juga mundur. Kondisi ini diperkirakan tidak berlangsung lama, hanya bertahan dalam hitungan pekan setelah itu menghilang.
”Biasanya, kemunculan ubur-ubur paling banyak terjadi saat puncak musim kemarau menjelang musim hujan. Kalau yang saat ini muncul, sepertinya belum banyak,” ujarnya.
Disinggung soal apakah sejauh ini kemunculan hewan dari famili Tripedaliidae itu mengganggu aktivitas nelayan, Hari mengatakan tidak begitu berdampak terhadap nelayan lantaran mereka biasanya terkonsentrasi di titik-titik tertentu yang dekat dengan pantai. Untuk wilayah yang agak ke tengah steril.
Nelayan Probolinggo saat ini tengah menikmati cumi-cumi. Hasil tangkapan cumi-cumi meningkat sejak bulan Januari-Februari lalu tetapi sampai saat ini keberadaannya masih banyak meski ukurannya lebih kecil. ”Cumi-cumi ini juga mundur waktunya. Biasanya musim cumi-cumi terjadi bulan Januari-Februari tetapi saat ini masih ada,” ujarnya.
Dihubungi secara terpisah, akademisi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya, Malang, Dewa Gede Raka Wiadnya, mengatakan, cuaca ekstrem dan meningkatnya suhu permukaan air laut juga bisa berdampak terhadap peningkatan populasi ubur-ubur.
Biasanya, kemunculan ubur-ubur paling banyak terjadi saat puncak musim kemarau menjelang musim hujan.
”Ini bukan saja pergantian musim dari hujan ke kemarau, tetapi juga panas yang cukup ekstrem. Saya juga mendengar informasi dari televisi bahwa di Kuwait saja mendekati 60 derajat celsius suhunya. Udara juga akan memengaruhi peningkatan suhu muka air laut,” katanya.
Suhu permukaan laut yang meningkat, kata Gede, menyebabkan perubahan keseimbangan pada sistem ekologi di laut. Ubur-ubur pun bisa tumbuh lebih cepat, populasi mereka berkembang lebih banyak. Sementara predator alami, seperti ikan kerapu, kini tidak begitu banyak. Oleh karena itu, wajar jika saat ini ubur-ubur kemudian mendominasi perairan.
Menurut Gede, ubur-ubur sebenarnya berasal dari laut lepas. Mereka naik ke permukaan. Di Selat Madura, sebenarnya hewan ini jarang muncul. ”Karena kondisi cuaca ekstrem begitu kuat, maka itu bisa terjadi. Umumnya ubur-ubur muncul di Banyuwangi dan Prigi (Trenggalek),” ujarnya.