Cegah Wabah, NTT Tutup Pintu bagi Sapi Ternak dari Luar Daerah
Pemprov NTT melarang masuknya sapi ternak dan produk turunannya dari luar daerah untuk mencegah wabah penyakit mulut dan kaki.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menyatakan, hingga Senin (9/5/2022), penyakit mulut dan kuku (PMK) belum ditemukan pada sapi ternak di daerah tersebut. Para petugas lapangan diminta memantau kondisi sapi di daerah penghasil sapi nasional itu. Di sisi lain, pengiriman sapi ternak dan produk turunannya dari luar daerah ke NTT untuk sementara dihentikan.
Melky Angsar, Kepala Bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Dinas Peternakan NTT, pada Senin, mengatakan, pihaknya belum mendapatkan laporan mengenai kasus PMK pada sapi ternak. Sejak temuan kasus PMK di Jawa Timur beberapa waktu lalu, petugas lapangan diminta memantau.
Menurut Melky, sapi yang mengalami PMK memiliki ciri-ciri seperti sariawan pada mulut dan lidah. Juga terdapat luka pada bagian kaki. Suhu tubuh ternak itu di atas 40 derajat celsius. Kondisi fisik hewan sangat kurus dan produksi susu minim. ”Jika terjadi penularan di suatu wilayah, angka kesakitan PMK ini sangat tinggi,” ujarnya.
Untuk mengantisipasi masuknya wabah tersebut ke NTT, Pemprov NTT telah menyurati semua bupati dan wali kota di daerah itu agar untuk sementara waktu tidak menerima kiriman sapi dari luar daerah. Hal itu juga berlaku untuk produk turunan. Pelarangan itu berlaku hingga batas waktu yang belum ditentukan.
Langkah itu untuk mencegah masuknya wabah PMK di NTT yang menjadi salah satu sentra ternak sapi nasional. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, populasi sapi di NTT pada 2021 sebanyak 1.248.930 ekor yang tersebar di 22 kabupaten/kota. Secara rutin, sapi dari NTT dikirim ke sejumlah kota di Pulau Jawa dan Pulau Kalimantan.
Goris Sikas (50), peternak sapi di Kabupaten Timor Tengah Utara, mengatakan, kondisi sapi di daerah itu sehat. Tidak ada temuan sapi setempat terkena wabah PMK. Hingga Senin siang, proses perdagangan sapi di sana masih berjalan seperti biasa. Sapi di daerah itu dijual ke Surabaya, Jawa Timur dan Samarinda, Kalimatan Timur.
Kendati demikain, ia dan peternak lainnya mengaku gelisah. Mereka berharap agar tim lapangan dari dinas peternakan datang untuk melihat kondisi sapi di sana. ”Wabah semacam ini bikin kami trauma. Tahun lalu, babi banyak yang mati akibat virus demam babi Afrika. Jangan sampai tahun ini kena ke sapi,” ujarnya.
Ia menambahkan, masalah klasik yang sering dihadapi peternak setiap tahun adalah kekurangan air. Setiap hari mereka harus membeli air untuk memberi minum sapi. Harga satu tangki air dengan ukuran 5.000 liter paling murah Rp 200.000. Banyak peternak yang rugi.
Kepala Kantor Imigrasi Kelas II Atambua KA Halim menambahkan, pihaknya juga berkoordinasi dengan sejumlah lembaga terkait untuk mencegah kemungkinan masuknya ternak dari wilayah Timor Leste. Potensi masuknya ternak itu biasanya melalui perlintasan tradisional dan jalur tikus. ”Ini menjadi atensi kami,” ujarnya.
Menurut informasi yang dihimpun Kompas, pengiriman sapi ilegal dari wilayah Timor Leste ke Indonesia masih terjadi. Ada pihak-pihak tertentu yang terlibat dalam perdagangan gelap itu. ”Kebanyakan sapi dibawa dari wilayah Oecusse (Timor Leste). Sapi dari sana gemuk-gemuk,” kata sumber tersebut.