Pelarangan Ekspor CPO, Petani Swadaya di Sumsel Rentan Paling Merugi
Pelarangan ekspor minyak kelapa sawit mentah dikhawatirkan akan memberikan dampak besar bagi petani sawit di Sumsel, terutama petani swadaya. Pemprov Sumsel membentuk satgas untuk mengawasi distribusi minyak goreng.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Pelarangan ekspor minyak kelapa sawit mentah dikhawatirkan akan berdampak besar bagi petani swadaya di Sumatera Selatan. Selain harganya yang rawan rendah, hasil sawit petani terancam tidak terserap.
Sebelumnya, hanya berselang 24 jam sejak pengumuman sebelumnya, yakni soal larangan ekspor refined, bleached, deodorized atau RBD palm olein pada tiga pos tarif, pemerintah meralat kebijakan pada Rabu (27/4/2022) malam. Pemerintah memutuskan melarang ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan produk-produk turunannya mulai Kamis (28/4/2022) pukul 00.00.
Kondisi ini rentan berpengaruh pada perekonomian petani sawit di Sumatera Selatan. Berdasarkan data Dinas Perkebunan Sumsel, saat ini, tercatat ada 224.649 petani sawit. Sebanyak 119.870 petani plasma dan 104.779 orang lainnya adalah petani swadaya. Mereka menggarap luas areal kelapa sawit mencapai 1.221.374 hektar dengan produksi CPO mencapai 3.323.670 ton. Sekitar 80 persen hasil CPO dari Sumsel adalah produk ekspor.
”Petani swadaya yang akan terdampak,” kata Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Dinas Perkebunan Sumsel Rudi Arpian, Kamis.
Menurut Rudi, pelarangan ekspor CPO rentan membuat pabrik menolak menyerap tandan buah segar (TBS) petani swadaya. Padahal, TBS yang baru dipanen harus masuk pabrik tidak lebih dari sehari. Jika TBS dibiarkan tetap di pohon, dikhawatirkan bakal merusak siklus berbuah sawit sehingga menurunkan produksi.
Dia menyebut, petani plasma masih relatif beruntung. Alasannya, ada penetapan harga dari Tim Penetapan Harga TBS Sumsel Rp 3.769 per kg untuk sawit tahun tanam 10-20 tahun. Harga itu berlaku untuk pembelian 16 April-30 April 2022. Namun, setelah pelarangan ekspor, bisa jadi akan berpengaruh juga pada harga jualnya kelak.
Dengan beragam potensi kerugian itu, dia berharap, pabrik tetap membeli TBS petani swadaya dengan harga tidak terlalu jauh dengan harga Tim Penetapan Harga TBS Sumsel setiap dua minggu sekali. Pabrik juga diminta segera memasok kebutuhan bahan baku minyak goreng domestik. Tujuannya agar tercapai harga eceran tertinggi Rp 14.000 per kg.
Selain itu, pemerintah diharapkan memberikan solusi atau menerapkan kembali kebijakan kewajiban seluruh pabrik CPO untuk memasok ke dalam negeri (domestic market obligation/DMO). Bila perlu, DMO dinaikkan dari 20 persen menjadi 25 persen dan domestic price obligation (DPO) ditetapkan dengan harga pas.
”Sejauh ini, saya meminta semua pihak tetap tenang. Kebijakan itu dilakukan untuk menurunkan harga minyak goreng sawit domestik yang tengah melambung. Setelah tercapai, semua tentu akan kembali normal,” katanya.
Gubernur Sumsel Herman Deru juga berharap kebijakan (pelarangan ekspor CPO) tidak berkepanjangan, sampai pasokan minyak dalam negeri bisa terpenuhi. ”Kita ingat larangan ekspor batubara. Penerapannya tidak begitu lama, setelah pasokan batubara dalam negeri terpenuhi, semua kembali seperti biasa,” katanya.
Oleh karena itu, dirinya sudah membentuk satgas yang mengawasi proses produksi dan distribusi. Bahkan, harga dari setiap lapisan sudah ditentukan. Produksi harian minyak goreng di Sumsel 1.320 ton per hari. Kebutuhan Sumsel untuk minyak goreng curah sekitar 134 ton per hari.
”Jika ada penyelewengan, tangkap pelakunya,” ujar Herman.
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Sumsel Alex Sugiarto menyampaikan, pelaku usaha kelapa sawit menghormati setiap kebijakan pemerintah terkait industri kelapa sawit. Dirinya paham hal itu dilakukan untuk mewujudkan ketersediaan minyak goreng dengan harga terjangkau. Karena itu, pabrik kelapa sawit juga tidak akan membatasi penyerapan dari petani.
”Namun, pabrik juga tengah tutup karena memasuki hari raya, bukan menolak TBS dari petani,” tegasnya.
Kini, pihaknya terus berkomunikasi dan berkoordinasi dengan asosiasi pelaku usaha sawit baik di sektor hulu maupun hilir. Tujuannya, melaksanakan arahan Presiden sembari tetap menjamin kesejahteraan petani sawit. Apabila pelarangan ekspor CPO dan seluruh turunannya berkepanjangan, dia khawatir bakal berdampak bagi perusahaan perkebunan, pengolahan, usaha pengemasan, hingga petani.