Polemik Larangan Ekspor RBD Olein Cekik Petani Swadaya di Sumsel
Kebijakan larangan ekspor bahan baku minyak goreng, RBD palm olein membuat petani sawit swadaya di Sumsel kian terjepit. Harga tandan buah segar kelapa sawit terperosok hingga 50 persen. Ada salah persepsi di masyarakat.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Harga tandan buah segar kelapa sawit di Sumatera Selatan menurun hingga 50 persen pasca-pengumuman larangan ekspor komoditas bahan baku minyak goreng. Penurunan harga ini memberatkan petani swadaya yang saat ini tengah terimpit biaya hidup dan melonjaknya biaya perawatan kebun.
Wakil Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Sumsel M Yunus, Selasa (26/4/2022), mengutarakan, harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di Sumsel mengalami penurunan yang cukup signifikan dari yang semula mencapai Rp 3.300 per kilogram kini menurun mencapai Rp 1.700 per kg atau bahkan ada yang menyentuh Rp 1.200 per kg.
Situasi ini terjadi tak lama setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan larangan ekspor bahan baku minyak goreng. Berdasarkan surat edaran Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Nomor 165/KB.020/E/04/0Y/2022 disebutkan minyak kelapasawit mentah (CPO) bukanlah komoditas yang dilarang untuk diekspor. Pelarangan ekspor hanya dikenakan pada RBD palm olein (tiga pos tarif).
Walau sudah dijelaskan, harga TBS sudah telanjur merosot. Namun, penurunan harga ini hanya dialami oleh petani sawit swadaya. ”Petani sawit plasma akan tetap mendapatkan harga yang sudah ditetapkan oleh dinas perkebunan, yakni sekitar Rp 3.500 per kg,” kata Yunus.
Padahal, petani sawit swadaya sekarang kian terjepit karena selain harga sawit yang turun tajam, biaya perawatan kebun semakin mencekik. ”Harga pupuk dan pestisida meningkat, sekarang harga TBS di bawah Rp 2.000 per kg. Petani mau makan apa?” ujar Yunus. Pabrik pun sepertinya membatasi penyerapan TBS dengan cara membatasi waktu pengiriman. Itulah yang membuat banyak truk pengangkut sawit yang mengantre.
Walau merugi, petani pasti akan tetap menjual TBS-nya karena jika tidak langsung dijual, TBS tersebut akan segera busuk. Kalau dibiarkan di pohon, akan mengganggu pertumbuhan tanaman sawit itu sendiri. Karena itu, dia berharap agar pemerintah mempertimbangkan kembali situasi ini.
Di Sumsel diperkirakan ada 100.000 petani sawit swadaya dengan jumlah kebun sawit mencapai 400.000 hektar. ”Jika kondisi ini terus dibiarkan, tentu akan berdampak pada perekonomian daerah,” ujar Yunus.
Menurut dia, pelarangan ekspor RBD palm olein tidaklah menjawab permasalahan kelangkaan minyak goreng yang terjadi saat ini. Sebaliknya, petanilah yang semakin tercekik. Polemik ini akan dimanfaatkan oleh pihak tertentu dengan mengambil TBS dengan harga murah kemudian menjualnya dengan harga mahal dalam bentuk CPO.
Dadang, petani Sawit di Kecamatan Air Kumbang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, mengaku kecewa dengan penurunan harga kelapa sawit ini. ”Kami baru saja menikmati kenaikan harga sawit. Kini kembali terpuruk hanya dalam beberapa hari saja,” katanya.
Pria yang sudah 15 tahun bergelut di bidang perkebunan sawit ini mengaku sekarang ini sangat sulit untuk memprediksi harga sawit lantaran cepat sekali berubah. ”Kami sangat bingung dengan kebijakan pemerintah ini,” katanya.
Seharusnya ada penjelasan yang terperinci dari pemerintah pusat tentang kebijakan ini. (Rudi Arpian)
Menurut dia harga TBS Rp 3.000 per kg sudah sangat baik. ”Setidaknya kami masih dapat untung. Jika harga TBS di bawah Rp 2.000 per kg, petani hanya bisa gigit jari karena tidak sebanding dengan biaya perawatan. ”Sawit kami dibayar murah dan banyak potongan baik untuk keuntungan tengkulak maupun untuk ongkos produksi,” ujarnya.
Ketua Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (Gapki) Sumsel Alex Sugiarto mengatakan, perusahaan yang bernaung di bawah Gapki Sumsel tidak pernah membatasi penyerapan TBS dari petani plasma. Harga pun tetap disesuaikan dengan yang telah ditetapkan.
Selain itu, Gapki terus memberikan masukan kepada pemerintah agar kebijakan yang dikeluarkan tidak merugikan petani sawit. ”Kami akan terus memantau perkembangan di lapangan, termasuk dampaknya bagi petani,” ujarnya.
Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Dinas Perkebunan Sumsel Rudi Arpian berpendapat, ada kesalahan persepsi di tengah masyarakat terkait kebijakan presiden. ”Mereka menganggap bahwa yang dilarang adalah CPO, nyatanya adalah RBD palm olein,” katanya.
Polemik inilah yang dimanfaatkan oleh para spekulan untuk memainkan harga dan petanilah yang dirugikan. Seharusnya ada penjelasan yang terperinci dari pemerintah pusat tentang kebijakan ini.
Untuk diketahui, ujar Rudi, sebagian besar sawit di Sumsel diekspor dalam bentuk CPO. Dengan luas lahan sawit 1,2 juta hektar, produksi CPO di Sumsel sekitar 3,3 juta ton per tahun. Sementara turunan berupa RBD diolah di luar negeri. Kesalahpahaman ini harus segera diperbaiki agar polemik ini tidak berkelanjutan.