Susah Payah Pemudik Menebus Rindu Pulang ke Kampung Halaman
Momen mudik Lebaran tahun ini menjadi kesempatan bagi jutaan warga untuk menebus rindu dengan keluarga. Para pemudik pun menempuh beragam cara agar bisa mudik, seperti menginap di pelabuhan dan cuti lebih awal.
Oleh
YOLA SASTRA, ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
Momen mudik Lebaran tahun ini menjadi kesempatan bagi jutaan warga untuk menebus rindu dengan keluarga di kampung halaman. Para pemudik pun menempuh beragam cara agar bisa pulang, dari menginap di pelabuhan, cuti lebih awal, hingga berganti-ganti moda transportasi.
Setelah bosan rebahan, Muliati (32) duduk di atas tikar di emperan ruang tunggu terminal penumpang Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Senin (25/4/2022) siang. Dia mengambil telepon pintarnya dan menggulirkan layar untuk mengusir kebosanan. Dua putrinya masih rebahan di atas tikar, tak jauh dari dua koper besar, tiga tas, dan barang bawaan lain.
Sudah dua malam Muliati menginap di Pelabuhan Tanjung Priok. Perempuan berjilbab itu bersama anak-anaknya tiba dari Bekasi, Jawa Barat, sejak Sabtu (23/4/2022) pagi. Mereka hendak mudik dengan kapal ke Kota Baubau, Sulawesi Tenggara.
Saat pertama kali tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, Muliati belum mempunyai tiket. Dia sudah mencoba membeli tiket lewat internet, tetapi tidak dapat. Muliati pun memutuskan datang langsung ke pelabuhan. Setelah menunggu dua hari, dia akhirnya mendapatkan tiket kapal untuk keberangkatan Selasa (26/4/2022) siang.
”Akhirnya bisa mudik, bisa bertemu orangtua di Baubau setelah tiga Lebaran tidak bisa pulang. Nanti suami bakal menyusul kalau masih dapat tiket,” kata Muliati yang telah menyiapkan panci baru sebagai buah tangan untuk ibunya.
Pada Lebaran tahun 2020 dan 2021, Muliati sebenarnya ingin pulang. Namun, keinginan itu terbentur aturan larangan mudik karena pandemi Covid-19. Menurut dia, Lebaran di perantauan terasa sepi, berbeda dengan di kampung sendiri. ”Lebaran sebelumnya bertemu orangtua di layar handphone saja, sedih sekali rasanya. Apalagi ayah dan ibu sudah tua, umur 70-an,” ujarnya.
Maka, begitu aturan larangan mudik ditiadakan tahun ini, Muliati pun memutuskan pulang. Ia rela bermalam di emperan pelabuhan dengan suasana gerah dan dikerubungi nyamuk demi mendapatkan tiket pulang.
Namun, perjuangan ibu rumah tangga itu berlayar ke kampung halaman tak selesai begitu mendapat tiket. Muliati dan dua anaknya masih harus melalui perjalanan melelahkan selama empat hari di kapal.
Keluarga kecil itu juga belum tentu mendapat tempat tidur di atas kapal. Hal itu pernah dialami Muliati beberapa tahun lalu meskipun punya tiket. Bisa-bisa nanti mereka kembali tidur beralas tikar di sepanjang perjalanan. ”Perjalanan nanti memang melelahkan. Namun, capek segera terbayar kalau sudah bertemu orangtua,” ujar Muliati.
Teringat rumah
Kegigihan untuk pulang kampung juga ditunjukkan Suprapto (22) yang hendak mudik ke Kabupaten Way Kanan, Lampung. Dua Lebaran sebelumnya, Suprapto tak pulang kampung akibat kebijakan larangan mudik. Ia merasakan kerinduan yang mendalam terhadap ayah, ibu, saudara, dan keluarga besarnya. ”Senang sekali bisa mudik lagi. Kangen sekali sama keluarga. Sudah dua tahun, lho,” ujarnya saat ditemui di Terminal Kalideres, Jakarta Barat.
Saking rindunya pada keluarga, Suprapto sengaja pulang lebih awal meskipun pabrik plastik tempatnya bekerja belum libur. Ia meminta izin cuti kepada atasannya selama dua pekan. Suprapto khawatir bila pemerintah tiba-tiba mengubah kebijakan mudik.
”Takutnya nanti pas mepet hari H Lebaran tiba-tiba ada larangan mudik lagi. Malah jadi enggak bisa pulang,” ujar pria tamatan SMP itu.
Suprapto mengaku sudah merasakan sedihnya menjalani Idul Fitri jauh dari keluarga. Pada tahun 2020 dan 2021, ia cuma berlebaran di kontrakan bersama satu temannya dan hanya bisa berinteraksi dengan keluarga melalui panggilan video.
”Dua tahun sebelumnya, Lebaran cuma tidur di kontrakan, enggak bisa ke mana-mana. Kalau bisa, waktu itu mau kerja saja untuk mengalihkan pikiran, tapi enggak ada kerjaan. Mau tidur keingat rumah, bangun tidur keingat rumah,” katanya.
Kerinduan untuk mudik juga dirasakan Ihsanuddin (34), guru salah satu pondok pesantren di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Dia rela berganti sejumlah moda transportasi untuk mudik ke kampung halamannya di Makassar, Sulawesi Selatan.
Dari Kuningan, Ihsanuddin awalnya naik bus ke Cirebon, lalu melanjutkan perjalanan menggunakan kereta api ke Jakarta. Setelah itu, dia menuju Makassar dengan pesawat terbang.
Perjalanan belasan jam dan jarak lebih dari 1.300 kilometer itu tak jadi masalah bagi Ihsanuddin karena dia begitu rindu berjumpa keluarga besarnya. Saking semangatnya, istri dan ketiga anak Ihsanuddin sudah lebih dahulu pulang pada Maret lalu ketika pemerintah melonggarkan syarat perjalanan.
Pada Lebaran tahun 2020, Ihsanuddin berlebaran dalam sepi. Ia tidak bisa mudik karena kasus Covid-19 terus menyebar. Pondok pesantren tempatnya bekerja diliburkan. Shalat Idul Fitri digelar di rumah, bukan di masjid. ”Paling ditemani satpam waktu Lebaran,” kenangnya.
Ihsanuddin sempat pulang ke Makassar pada Lebaran tahun 2021 meski persyaratan mudik cukup ketat. Ia pun bahagia bisa berjumpa dengan keluarga besar. Akan tetapi, itu adalah pertemuan terakhirnya bersama ayah mertua dan seorang kakak iparnya. Keduanya meninggal dunia setelah tertular Covid-19.
Kini, Ihsanuddin dan keluarga bisa kembali berkumpul di kampung halaman. Ihsanuddin pun tidak ingin mengabaikan protokol kesehatan. Selain menjalani vaksinasi Covid-19, ia juga tak pernah melepas maskernya saat berbicara dengan orang lain. ”Saya juga minum madu dan vitamin untuk jaga daya tahan tubuh,” ucapnya.